DALAM waktu yang relatif
singkat, kurang dari satu generasi, reformasi politik telah berhasil
menyebarkan kekuasaan yang semula terpusat.
Proses check and balances bisa berlangsung lebih baik, buah
dibentuknya badan-badan baru; Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi,
dan 13 komisi negara independen. Otonomi meningkat di daerah-daerah,
peluang karier politik dan kepemimpinan publik terbuka di banyak tempat.
Kemajuan ini membuka ruang baru
untuk berkiprah dan kita menyaksikan banyak orang berusaha maksimal meraih
kekuasaan melalui lembaga-lembaga baru tersebut. Sayangnya, proses meraih
kekuasaan banyak yang tak beretika, yang demi tujuan menghalalkan segala
cara.
Ketika kekuasaan itu diraih,
secara etis seharusnya sepenuhnya digunakan untuk mempercepat
pencapaian tujuan negara; meliputi kemajuan yang pesat di segala bidang,
meningkatkan kesejahteraan rakyat, memantapkan persatuan bangsa, serta
memperkuat dan meningkatkan kewibawaan negara. Sangat tidak beretika jika
kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan pribadi dan atau golongan serta
untuk melanggengkan kekuasaan.
Perlu keteladanan
Kasus Akil Mochtar sangat
menyedihkan. Mantan Ketua MK itu melakukan cela yang sempurna: di samping
menerima suap dan merekayasa keputusan MK yang bersifat final dan mengikat,
juga kecanduan narkoba.
Dari segi penempatan sembilan hakim
MK, dengan masing-masing tiga orang diajukan lembaga legislatif/DPR,
pemerintah, dan lembaga yudikatif/MA, sudah baik dilihat dari sisi
penyebaran kekuasaan. Kita memerlukan kehadiran pemerintahan dan DPR yang
sama-sama kuat bersama MA yang tepercaya untuk menegakkan hukum yang
berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Menilik kejadian yang baru saja
terjadi, sulit dipercaya bahwa MK bisa menghindari conflict of
interest jika di MK ada unsur-unsur partisan. Walaupun sangat sedikit,
ada orang dari partai yang setelah mendapatkan tugas negara menjadi tidak
partisan, mengikuti prinsip Manuel Luis Quezon: ”my loyality to my party end when my loyalty to my country begin”.
Sementara ada juga orang nonpartai yang cara berpikirnya partisan.
UU MK yang mengatur adanya tiga
hakim MK yang dipilih DPR, seharusnyalah partai-partai politik memilih
orang-orang yang mampu jadi hakim yang tangguh dan nonpartisan. Amat
berbahaya kalau penempatannya justru merupakan representasi atau penugasan
partai.
Logika politik dan logika hukum
itu berbeda. Hukum berprinsip menegakkan kebenaran dan keadilan, sementara
doktrin politik adalah asas manfaat; sehingga hal yang salah, sepanjang itu
bermanfaat, secara politik bisa dibenarkan. Masalahnya adalah bermanfaat
bagi siapa? Negara akan kacau kalau semua lembaga hukum diisi orang-orang
partisan.
Saya juga mencatat, praktik
penggunaan kekuasaan oleh MK sejauh ini belum memberikan keteladanan
etis. Meski diperbolehkan secara hukum, apakah etis MK melakukan uji
materi atas UU MK dengan membatalkan ketentuan pengawasan hakim MK oleh
Komisi Yudisial? Setiap pemilik kekuasaan tak selayaknya menggunakan
kekuasaannya untuk menguntungkan dirinya. Jika pasal itu dipandang MK
kurang baik, jangan MK yang melakukan pembatalan, tetapi mintalah DPR mengubah
UU MK tersebut.
Pada tingkat tokoh-tokoh yang
telah menjadi hakim konstitusi, praktik seperti ini tidak patut terjadi.
Etika memang lebih halus daripada hukum. Yang melanggar hukum, pastilah
melanggar etika. Yang melanggar etika, belum tentu melanggar hukum.
Sebagai sandingan, Presiden AS
Barack Obama memiliki hak menaikkan gaji semua pegawai federal, termasuk
dirinya. Namun, karena etika, SK kenaikan gaji yang baru-baru ini
ditandatanganinya langsung berlaku untuk semua pegawai
federal, kecuali untuk presiden. Baru presiden berikutnya yang
menikmati putusan tersebut. Ini contoh bagaimana kekuasaan tidak
boleh digunakan untuk sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri.
Penyimpangan juga pernah
diperlihatkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang pernah
menyuruh KPU menganulir/mengubah keputusan KPU yang jadi ranah Bawaslu.
Sebenarnya kewenangan DKPP adalah mengawasi etika komisioner KPU dan
Bawaslu dan memberi sanksi kepada yang bersangkutan serta tidak boleh
mencampuri keputusan KPU yang menjadi ranah Bawaslu.
Perlu sikap kritis
Di Indonesia, kita juga sering
terkejut setiap kali ada penyimpangan baru dan karena berlangsung
terus-menerus akhirnya dianggap biasa dan lalu membentuk norma baru. Kita
tidak boleh membiarkan terjadinya penyimpangan hanya karena telah menjadi
kebiasaan.
Diperlukan masyarakat yang
kritis terhadap perkembangan zaman, korektif terhadap penyimpangan yang
terjadi serta konstruktif untuk memperbaiki keadaan sebagai suatu
konsekuensi dari sikap yang kritis dan korektif. Tiga sikap tersebut pada
gilirannya akan membawa perubahan masyarakat ke arah kemajuan dengan cara
yang tertib dan damai.
Melihat perkembangan yang ada,
saya khawatir bahwa bagi banyak orang, nama baik tak lagi menjadi hal yang
utama. Banyak yang selepas sidang pembacaan vonis masuk penjara bisa
tersenyum dan melambaikan tangan kepada wartawan tanpa rasa malu. Setelah
kembali di masyarakat pun, karena banyaknya uang, menjadi sosiawan,
dihormati oleh orang banyak. Sementara pekerja sosial yang lurus dan bersih
memperoleh penghormatan yang kalah darinya.
Pernah seorang tokoh bekas
narapidana, dan bekas anggota DPR, dalam hearing di Komisi X DPR
yang diliput luas oleh pers menyatakan bahwa Presiden RI yang akan datang
boleh eks narapidana kasus kriminal; yang membuat kaget banyak orang. Ini
sungguh suatu sarkasme politik yang sangat tidak bertanggung jawab,
sekaligus pendidikan politik yang amat buruk, yang memunculkan di permukaan
sikap politik yang tidak anggun.
Dengan penuh keprihatinan, kita
melihat di panggung politik yang bermain adalah tipu daya dan sandiwara
serta keangkaramurkaan. Menurut hemat saya, jika setiap lembaga melakukan
tugasnya masing-masing secara baik dan beretika dan setiap usaha
meraih kekuasaan dilakukan dengan beretika, penyebaran kekuasaan yang
dibangun pada era reformasi ini akan menghasilkan pencapaian tujuan negara
yang signifikan. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar