"Suaminya walikotaku yang
sekaligus adiknya gubernurku ditangkap KPK. Bendaharanya kumpulan ulamaku
yang sekaligus wakil kami di DPR juga ditangkap KPK. Penjaga gawangnya
puncak keadilan negeriku yang berpendidikan strata tiga hukum juga
ditangkap KPK. Al Fatihah.."
Begitu tertulis status Facebook Agus Setiawan, seorang
teman saya yang berdomisili di Banten setelah tersiar berita terkait
penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi kita, Akil Mochtar. Dan, bacaan
al-fatihah di akhir statusnya tersebut tentu saja merupakan bentuk
kehancuran akut atas moralitas pejabat tinggi kita - hingga Mas Agus pun
sampai menghadiahi mereka dengan doa 'sapu jagad', Surah Al-fatihah.
Fenomena semacam ini tentu bukanlah suatu hal yang aneh
di negeri yang sudah aneh ini. Bahwa Gubernur dan Bupati kerap menjadi
jabatan giliran antar-sanak saudara, semacam arisan keluarga. Periode
sekarang dijabat oleh sang Bapak. Periode selanjutnya sang Istri,
selanjutnya anaknya, kemudian menantunya, dan sebagainya. Para pengamat
politik menyebut fenomena ini sebagai Politik Dinasti (atau Dinasti
Politik?), di mana praktik semacam itu pastinya akan dilaknat oleh para
pejuang demokrasi. Karena, memang ajaran demokrasi tidak memberi ruang
untuk arisan keluarga dalam posisi pejabat publik. Demokrasi yang disokong
oleh individualisme tidak mungkin akur dengan corak politik dinasti yang
mengkebiri kebebasan politik masyarakat.
Kaitan dengan ini, beberapa waktu lalu, saya menyimak
pendapat dari
budayawan Radhar Panca Dahana dalam acara Soegeng Sarjadi
Syndicate yang disiarkan oleh Stasiun TVRI. Menurutnya, kasus Akil dan Atut
ini bukanlah soal yang penting dalam konteks kehidupan bernegara kita.
Kalaupun ini dimaknai sebagai hancurnya landasan hukum
bernegara dengan robohnya fondasi etika para elite pemerintahan, namun
sebenarnya ancaman yang paling mengerikan adalah hancurnya kehidupan negeri
yang ditandai dengan sekaratnya sub-sub kebudayaan masyarakat kita. Dan,
Bung Radhar pun meyakini bahwa ada atau tidak adanya negara bagi rakyat itu
bukanlah soal penting, tapi yang lebih penting adalah kemandirian negeri.
Menurutnya, jangan samakan negara dengan negeri.
Bangunan Moralitas
Jika formalisme ketatanegaraan yang disangsikan Bung
Radhar itu memang sangat beralasan, setidaknya bisa kita rasakan dari
kegagalan negara dalam mengelola segala pemerintahannya. Konkritnya,
mandulnya institusi negara (baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif)
dalam melaksanakan konstitusi, UUD 1945 dan Pancasila. Dan, secara
mendasar, sebenarnya kegagalan dimaksud adalah keterbatasan formalisme
dengan landasan hukumnya yang tidak ditopang oleh bangunan moralitas yang
kuat, kekuatan etika yang kokoh.
Seperti pula pandangan penulis buku Negara Paripurna,
Yudi Latif dalam siaran Soegeng Sarjadi Syndicate bahwa kasus Akil sebagai
ketua lembaga paling berwibawa, Mahkamah Konstitusi yang tertangkap tangan
oleh KPK adalah bukti bahwa penegakan hukum kita tidak dilandasi oleh
kapasitas etika yang memadai. Sebagaimana hukum itu adalah buah dari pohon
etika yang berakar pada kedalaman tanah moralitas. Dan, dari waktu ke waktu,
kita sudah teramat susah untuk tidak menyaksikan tanah moralitas pejabat
publik yang busuk. Tanah yang sudah tercemar oleh racun korupsi, kolusi,
nepotisme.
Hari ini, hampir tidak ada pejabat kita yang orientasi
tindakannya berpihak pada kepantasan, kalau tidak tepat dibilang
kesederhanaan. Bahkan banyak para pemimpin agama, ustadz, kiai-kiai yang
memasang tarif untuk berdakwah. Hal tersebut jauh berbeda dengan para
pemimpin kita di masa revolusi dulu. Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus
Salim, Safroeddin Prawiranegara, Pak Hoegeng, atau yang paling dekat adalah
sosok Gus Dur. Dari mereka kita bisa melihat moralitas yang mengedepankan
kepantasan serta kepatutan. Tidak malah bergaya hidup glamour di tengah
penderitaan rakyatnya.
Ketika kebangkrutan moralitas pejabat kita kian hari
makin membudaya, menjadi semakin miris karena masyarakat pun menjadi
semakin apatis. Bahkan menganggap perilaku kaum hedonis sebagai hal yang
lumrah. Lihat saja, tayangan infotainment yang menampilkan gaya hidup mewah
selebriti malah menjadi acara kegemaran. Tayangan humor yang tidak cerdas,
yang hanya bermuatan remeh-temeh, cengengesan, ratingnya semakin melonjak,
alias menjadi acara televisi favorit. Boleh jadi, itulah potret psikis
masyarakat yang sudah apatis terhadap kelangsungan bangsa ini. Semuanya mau
lari pada hiburan, untuk melarikan diri dari keruwetan hidup.
Di akhir tahun 2013 ini, secara politik tentulah bangsa
ini harus menghadapi rutinitas lima tahunan. Di televisi-televisi sudah
bermunculan tokoh-tokoh yang tersenyum dan melambai-lambaikan tangan di
hadapan kita, seperti menjanjikan kehidupan berbangsa yang lebih baik. Di
pohon-pohon, tembok-tembok, atau di tiang-tiang kabel listrik, berderet
gambar-gambar yang diberi tajuk "Pilihlah Kami", tentu dengan
keterangan mencoblos nomor urut mereka.
Menyitir kembali ujaran Bung Radhar bahwa negara itu
boleh tidak ada, tapi negeri harus tatap hidup, relevansi kontekstualnya
adalah siapa pun yang menjadi pemerintah, penguasa, atau yang menjadi
penentu kebijakan negara itu tidak penting. Hal yang sangat penting adalah
produknya, kebijakannya, apakah berpihak pada rakyat atau tidak. Semoga
saja pemilihan umum yang akan datang terpilih pejabat publik yang punya
integritas kuat untuk berpihak pada rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar