Quo Vadis
(Reposisi) Australia?
Fajar Riza Ul Haq ; Sekretaris Jenderal DPP BARINDO
|
KORAN
SINDO, 29 November 2013
Indonesia
adalah mitra strategis Australia di Abad Asia bersama China, Jepang, India,
dan Korea Selatan. Pernyataan itu termaktub jelas bahkan berulang kali
muncul dalam dokumen putih “Australia di Abad Asia” yang dikeluarkan
pemerintah Australia pada Oktober 2012.
Salah satu kunci strategi Negeri Kanguru ini ialah memaksimalkan segala
daya guna memperkuat dan memperluas hubungan diplomatik dan kerja sama
dengan negara-negara Asia atas dasar kepercayaan, saling menghargai, dan
saling memahami (2012:251). Pada konteks inilah, Indonesia dipandang sangat
penting dalam peta geopolitik dan geoekonomi Australia, tidak terkecuali
dari sisi kepentingan keamanan.
Namun terbongkarnya kegiatan penyadapan oleh lembaga pemerintah Australia
terhadap Presiden, Ibu Negara, dan sejumlah pejabat tinggi RI pada tahun
2009 itu, otomatis mempertanyakan komitmen dokumen putih Australia.
Presiden SBY tidak bisa menyembunyikan kekecewaan mendalamnya. Penarikan
Duta Besar Indonesia di Canberra dan pembekuan sejumlah kerja sama
strategis oleh Presiden SBY menjadi bola panas. Banyak kelompok masyarakat
marah karena Perdana Menteri Tonny Abbott enggan meminta maaf.
Mereka memprotes Kedutaan Besar Australia di Jakarta bahkan ada yang
membakar bendera Australia dan Amerika. Tim Lindsey menyebut kasus
penyadapan ini sebagai ujian terhadap jalinan persahabatan antara kedua
negara yang sudah terbina sangat baik sebagaimana diulasnya dalam The Age
(21/11). Menurut analis dari Universitas Melbourne ini, Indonesia tidak
semata-mata negara jiran yang berpengaruh, namun juga kunci bagi masa depan
Australia di abad ke-21.
Kerja sama penanganan terorisme dan pencari suaka berada di tubir masalah.
Tak pelak, memulihkan kepercayaan Pemerintah Indonesia terhadap Australia
menjadi tugas krusial pemerintahan Abbott karena isu ini sudah menyangkut
kepentingan nasional. Kegagalan Abbott memberikan respons permulaan yang
bisa mendinginkan suasana seakan mengonfirmasi kecemasan beberapa pengamat
mengenai kebijakan luar negeri Australia saat Partai Liberal berkuasa
menggantikan Partai Buruh.
Paradigma Lama
Penulis melihat ada ketidakselarasan antara perspektif persahabatan dalam
dokumen putih dengan paradigma keamanan yang masih dianut pemerintah
Australia. Semangat kelahiran dokumen “Asia di Abad Asia” tidak bisa
dipisahkan dari pergulatan identitas dan upaya reposisi Australia di tengah
kemunculan kekuatankekuatan ekonomi baru di Asia. Kritik tajam pernah
dilontarkan Kishore Mahbubani (2012), Australia harus segera sadar dan
membuka mata bahwa takdir geopolitik dan geografinya berada di Asia.
Keanggotaannya di PBB mewakili rumpun Eropa Barat dan Group Lain merupakan
buah anakronisme sejarah. Australia dan Selandia Baru harus mendekatkan
diri ke komunitas ASEAN bahkan belajar menjadi bagian dari Asia. Abad ke-21
merupakan momentum reposisi dan redefinisi identitas Australia ketika peta
kekuatan politik global berubah dari unipolar ke multipolar. Sebenarnya
dokumen yang diterbitkan pada masa pemerintahan Julia Gillard tersebut
mencerminkan perspektif baru bahkanlangkahreposisikebijakan politik luar
negeri Australia.
Wajah Australia yang meng- Asia. Bahasa Indonesia diajarkan di institusi
pendidikan mereka bersama bahasa-bahasa Asia lainnya. Secara reguler,
pemerintah Australia mengirimkan rombongan pejabat dari lintas departemen
untuk mengunjungi dan bertukar pikiran dengan para pemimpin politik dan
tokoh kelompok sipil diIndonesia, Malaysia, Thailand, India, dan China.
Pertukaran tokoh pemuda dan pemudi Muslim Indonesia dan Australia salah
satu contoh program yang berhasil merekatkan hubungan people to people pelbagai
komunitas di antara kedua negara.
Kepemimpinan Partai Buruh di bawah Kevin Rudd dan Julia Gillard telah
membawa hubungandiplomatikkeduanegara pada level terbaik. Bocoran Edward
Snowden mengenai operasi penyadapan pemerintah Australia telah menguak lubang
yang justru berpotensi mementahkan keseriusan reposisi Australia.
Kemungkinan lebih buruk adalah aktivitas ini bisa membahayakan keamanan
Australia sendiri. Operasi ini sendiri telah berlangsung cukup lama sebagai
bagian kerja sama intelijen dari kelompok “Five Eyes” yang terdiri dari
Amerika, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
Pada awalnya, sebuahkerja sama pertukaran informasi intelijen antara
Amerika dan Inggris untuk kepentingan Perang Dingin pada tahun 1946,
sebelum akhirnya menyertakan tiga negara lainnya. Sebuah penelitian tahun
2009 mengenai persepsi pemimpin ormas Islam di Indonesia terhadap kebijakan
politik luar negeri Australia mengidentifikasi negara ini sebagai sekutu
Amerika. Sentimen anti- Barat yang sempat diekspresikan beberapa kelompok
Islam dalam aksi protes kemarin terhadap Australia tidak bisa dianggap
angin lalu.
Fasisme, baik yang berakar pada nasionalisme buta maupun ekstremisme agama,
akan menjadi tantangan bagi keamanan Australia jika gagal memenangkan
pikiran dan hati negeri tetangganya. Adanya ketimpangan antara perspektif
dokumen putih dan paradigma keamanan Australia seperti diungkap di atas,
mencerminkan kompleksitas yang sedang dihadapi sebuah negara yang selama
ini menyandarkan akar sejarahnya pada entitas Barat.
Ketidakpekaan Australia untuk tidak mengubah paradigma keamanan nasionalnya
seiring meredupnya hegemoni global Amerika dan munculnya kekuatan-kekuatan
baru di level regional akan menimbulkan ketidakpastian pada upaya
reposisinya. Sikap Australia untuk tetap menjaga hubungan kuatnya dengan
Amerika sembari menjalin persahabatan dengan negara-negara Asia merupakan
pilihan strategis, namun akan sangattidaketisjika memainkan politik belah
bambu atas nama kepentingan keamanannya.
Ancaman terorisme lintas negara hanya bisa ditangkal secara bersama dan
berjejaring di atas prinsip kepercayaan dan menghormati kedaulatan
masingmasing. Mungkin ini salah satu hikmah yang dapat dipetik dari
terganggunya hubungan diplomatik pemerintah Indonesia dan Australia. Namun,
hendaknya kelompok-kelompok masyarakat jangan sampai terperosokpada
nasionalismebuta. Hubungan yang kokoh antar komunitas di antara kedua
negara akan mampu menjadi jembatan bahkan perekat di tengah dinamika
surutnya hubungan bilateral kedua negara. Jadi, quo vadis reposisi
Australia?
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar