Anda pernah marah? Menurut saya,
marah adalah rasa yang manusiawi. Marah bisa disebabkan kejadian eksternal
dan internal. Anda bisa marah terhadap seseorang atau kejadian tertentu,
atau kecemasan pada masalah pribadi, atau trauma tertentu.
Pernah
tahu kemarahan seseorang yang terjebak di tengah kemacetan atau ketika
jadwal pesawat tertunda?
Atau
ibu yang melihat anak yang dikasihinya berbohong; suami yang mengetahui
istrinya berselingkuh; pemimpin yang menyadari karyawannya berkhianat
terhadap perusahaan; atau seseorang yang oleh sebuah akun anonim di media
online, namanya diseret-seret dalam konspirasi kotor dan tercela?
Saat
ini penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap para pejabat dan
“orang penting” Indonesia pada 2009 tengah membangkitkan kemarahan Presiden
Yudhoyono, anggota parlemen, dan sebagian masyarakat. Aksi protes di depan
kantor Kedutaan Australia di Jakarta pun bermunculan.
Diplomasi
Indonesia dan Australia mulai terganggu. Duta Besar Indonesia untuk
Australia diminta kembali ke Indonesia. Presiden juga mencabut kerja sama
diplomasi menyangkut upaya mengatasi penyelundupan manusia ke Australia.
Memang
hingga sekarang presiden masih “tenang-tenang” terhadap dana bantuan (aid)
Australia yang lumayan besar jumlahnya bagi Indonesia. Namun, jika tak ada
perubahan sikap pemerintah Australia terhadap masalah ini, wajar jika
masyarakat mulai memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja
terjadi.
Hal
penting tentang marah adalah mengekspresikan, menekan, dan menenangkan
kemarahan. Anda mungkin pernah mendengar seseorang dikatakan “sedikit
marah”, sementara yang lain: “sangat marahhhh”.
Ekspresi
kemarahan bisa menyangkut tindakan pribadi atau tindakan terhadap di luar
diri (orang lain). Ukuran inilah yang kemudian dilekatkan dengan batas
“kewajaran” atau “kenormalan” yang bisa diterima akal sehat dan nurani.
Sebagai
contoh, Anda bisa marah ketika sebuah akun anonim menulis hal buruk tentang
Anda. Tapi, adakah gunanya Anda mengolok-olok anonimitas sebagai salah satu
prinsip perlindungan saksi dan korban?
Ekspresi
kemarahan yang ekstrem, jika tak segera ditekan dan ditenangkan, bisa
sangat merusak. Contohnya, Anda tentu miris mengetahui seseorang membunuh
istri yang dinikahi secara siri hanya karena sang istri menuntut status
hukum sebagai istri yang sah menurut undang-undang.
Secara
sederhana orang awam bisa berpikir, “Semarah apa pun, semestinya jangan ada
nyawa mesti hilang.” Karena tindak pidana pembunuhan, orang-orang menjadi
marah.
Sebelum
si orang-orang yang marah ini melakukan tindakan yang melanggar hukum
berikutnya, segeralah hukum ditegakkan guna mewujudkan keadilan. Lewat
mekanisme pencapaian keadilan, yang salah satu esensinya adalah penegakan
hukum, kemarahan dapat diredam.
Soal
diplomasi Australia, siapa pun bisa menilai kemarahan Presiden Yudhoyono.
Sama halnya ketika publik juga dapat menilai presiden saat namanya
dikait-kaitkan dengan Bunda Putri.
Atau
ketika ratusan buruh migran perempuan kita diancam hukuman mati di negeri
seberang. Atau saat kedaulatan kita terhadap ekonomi, pangan, hutan,
agraria, diacak-acak agenda asing yang memaksakan tumpukan utang yang kian
melilit tanpa visi kedaulatan.
Ilmu
psikologi memiliki teori seputar kapan seseorang memerlukan terapi
anger-management atau pengelolaan kemarahan. Menurut saya, kecakapan
mengelola kemarahan diperlukan sama halnya dengan mengelola kebahagiaan.
Di
sini dilatih bagaimana seseorang tahu mengapa marah, apa masalah, dan apa
alternatif penyelesaian masalah yang bisa ia ajukan. Dengan kata lain,
bagaimana seseorang mengekspresikan, menekan, dan menenangkan kemarahan.
Bagi
seorang pemimpin, kecakapan mengelola kemarahan merupakan salah satu hal
yang sangat penting. Karena tiap orang bisa marah, sadar atau tidak, dalam
masyarakat ada semacam harapan bagaimana seorang pemimpin mengelola
kemarahan.
Orang
bahkan bisa menjadi sangat kecewa jika menurut ukurannya, pemimpin yang
normalnya marah, ternyata tidak marah. Sebaliknya, orang bisa menjadi marah
ketika pemimpin yang dipandangnya senormalnya tidak marah, justru marah
terlalu besar.
Pada
pundak pemimpin diletakkan harapan untuk menuntun rakyatnya pada kebaikan.
Pemimpin yang sadar akan hal ini, tidak akan membiarkan dirinya dikuasai
kemarahan. Sebaliknya ia mampu mengendalikan, tenang, dan memancarkan
solusi. Kekuatannya adalah pada kesadaran diri, hati nurani, dan daya
kritis yang terpelihara.
Kemarahan
yang menghasilkan perusakan pastinya tidak berguna. Lebih dari itu,
kemarahan jenis ini bisa mengarah pada penyesalan yang menggerogoti dan
menyakiti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar