BANGUNAN ekonomi Indonesia
ambruk tatkala badai krisis menimpa negeri ini pada 1997-1998. Fondasi
ekonomi konglomerasi berbasis KKN itu hancur begitu Rp 600 triliun dana
para konglomerat terbang ke luar negeri. Tak ada pilihan kecuali minta
bantuan kepada IMF.
Indonesia bisa bertahan berkat
kerja keras petani, nelayan, peternak, petambak, perajin, petenun, tukang,
guru, pedagang, perawat, usaha mikro, dan koperasi. Realitas itu
menyadarkan semua pihak bahwa jati diri ekonomi Indonesia sesungguhnya
adalah ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi konglomerasi.
Namun, globalisasi ekonomi di
bawah rezim neoliberalisme justru semakin mengimpit perekonomian kita.
Indonesia ibarat rumah tanpa daun jendela: modal dan produk asing bebas
masuk-keluar. Aset-aset ekonomi strategis didominasi asing. Pertumbuhan
investasi mempercepat perusakan hutan dan daerah pesisir, menyulut konflik
agraria di mana-mana. Kekayaan sumber daya alam pun terkonsentrasi pada
segelintir orang.
Semua tertutup pertumbuhan
ekonomi yang menembus 6 persen sejak 2005. Pemerintah berbangga diri
merujuk semua indikator ekonomi makro yang positif. Kelas menengah
bertambah besar. Investasi terus bertumbuh pesat dan konsumsi meningkat
tajam. Pendapatan negara (APBN) terus memecahkan rekor hingga mencapai Rp
1.500 triliun tahun 2013 (Rp 1.663 triliun dalam RAPBN 2014).
Akan tetapi, mengapa kita
kembali panik ketika krisis menerpa tahun 2008? Mengapa pula hari-hari ini
kita cemas menghadapi guncangan ekonomi Amerika? Sampai kapan rakyat terus
menderita akibat kenaikan harga BBM, harga barang, dan biaya hidup? Sampai
kapan kita berdaulat dalam bidang ekonomi, memiliki keamanan pangan,
energi, devisa?
Jawabannya karena pertumbuhan
berbasis investasi kapital dan stabilitas pasar finansial sejak 2004
sebetulnya mitos. Jenis pertumbuhan seperti ini amat rapuh terhadap guncangan
krisis karena berorientasi keuntungan jangka pendek di pasar modal dan
finansial. Jenis pertumbuhan ini tidak pernah menghasilkan kesejahteraan
rakyat jangka panjang karena tidak terjadi pertumbuhan total faktor
produksi berupa penyerapan tenaga kerja.
Jati diri kita
Kerapuhan perekonomian nasional
bersumber pada persoalan mendasar, yaitu pergeseran fondasi ekonomi
Pancasila ke ekonomi kapitalisme neoliberalisme, ekonomi konglomerasi.
Padahal, jati diri ekonomi NKRI adalah ekonomi kerakyatan berbasis sumber
daya alam (agraris dan maritim).
Ekonomi kerakyatan berorientasi
pada nilai-nilai fundamental ideologi dan dasar negara Pancasila (ekonomi
Pancasila), seperti keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Kerangka
bangunan ekonomi kerakyatan ialah Pasal 33 UUD 1945 (Ayat 1, 2, dan 3).
Untuk melaksanakan tugas
konstitusional tersebut, kewenangan dan tanggung jawab negara sangat besar
dan menentukan komponen sosial-ekonomi dasar, seperti standardisasi
harga-harga, upah minimum, jasa layanan sosial (pendidikan, kesehatan
masyarakat, jaminan sosial), mencegah praktik monopoli, jaminan pelestarian
lingkungan, partisipasi ekonomi rakyat, perlindungan nilai-nilai lokal, dan
penghargaan etika.
Paham negara kesejahteraan
(welfare state) dalam Pancasila yang dijabarkan dalam UUD 1945 lahir dari
pergulatan sejarah bangsa di bawah kolonialisme-imperialisme, kesadaran
akan sumber daya alam yang melimpah, kondisi riil sosial-ekonomi mayoritas
rakyat Indonesia yang miskin dan hidup di desa-desa, serta budaya
masyarakat Nusantara yang agraris, maritim, dan gotong royong. Dengan
demikian, pengabaian terhadap nilai-nilai moral Pancasila dan tiga patokan
dasar UUD 1945 berarti pengingkaran terhadap jati diri ekonomi NKRI.
Fondasi yang rapuh menyebabkan
struktur bangunan ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi
dunia. Ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas berbasis sumber daya
alam. Industri hilir berjalan lambat. Industri produsen barang modal dan
bahan baku minim. Daya saing rendah karena infrastruktur dan teknologi
tepat guna minim dan tidak merata.
Selain itu, aset-aset ekonomi
strategis 70 persen dikuasai asing sehingga sangat rentan jika terjadi arus
balik modal ataupun repatriasi laba perusahaan. Defisit perdagangan kita
semakin melebar karena besarnya impor minyak akibat kesalahan pengelolaan
energi nasional. Dampak dari semua itu, pengangguran bertambah, devisa
tergerus, dan nilai rupiah melemah.
Kita memang tidak bisa
menghindari liberalisasi ekonomi dunia. Yang harus dan bisa kita hindari
adalah ketergantungan pada ekonomi global: investasi asing, produk asing,
teknologi, dan tenaga asing. Satu-satunya cara adalah mengembalikan
kedaulatan dan kemandirian ekonomi dengan menegakkan jati diri ekonomi
nasional. Itu sangat bisa kita lakukan karena modal kita luar biasa: kaya
sumber daya tambang, lautan dan hutan yang luas, jumlah penduduk besar, dan
demokrasi yang terus bertumbuh.
Akan tetapi, semua itu masih
bersifat potensial. Untuk mengaktualisasikan potensi atau modal-modal besar
itu, kita membutuhkan modal besar yang lain, yaitu nasionalisme ekonomi
yang dilandasi spirit patriotisme. Dalam era globalisasi, nasionalisme juga
mengental di negara-negara maju, seperti Eropa, AS, Jepang, Australia,
hingga China dan Korea Selatan. Wujudnya adalah proteksi ekonomi dalam
negeri.
Wujud nasionalisme ekonomi
Indonesia pertama-tama adalah meletakkan ekonomi Pancasila dan ekonomi
kerakyatan di garda terdepan pembangunan ekonomi domestik sekaligus
mengatasi berbagai dampak globalisasi ekonomi. Dalam ekonomi kerakyatan,
rakyat, seperti petani, nelayan, buruh, tukang, serta usaha mikro dan
menengah, menjadi subyek sentral dan aset pembangunan.
Dengan ekonomi kerakyatan,
pertanian dan perikanan kita akan dikenal sebagai pemasok pangan dan energi
dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar