|
REFORMASI
telah berjalan lebih dari 15 tahun. Namun hasil dari perjalanan itu masih jauh
dari harapan para reformis, yang dengan darah dan air mata berjuang keras
menjatuhkan rezim Soeharto, yang 32 tahun lebih berkuasa. Media massa tiap hari
masih memberitakan kepala daerah, kepala dinas, atau wakil rakyat terjerat
kasus korupsi.
Berita
terkini tentang tertangkapnya Ketua (waktu itu) Mahkamah Konstitusi Akil
Mochtar menghentakkan batin kita ternyata jerat korupsi sudah sedemikian parah.
Reformasi juga memunculkan kelompok garis keras yang telah melampaui kewenangan
organ pemerintah, dengan menyisir (sweeping)
tempat yang dianggap maksiat.
Masyarakat
’’merindukan’’ zaman Soeharto yang tegas terhadap kelompok semacam itu.
Minoritas makin terpinggirkan di negeri ini, tercermin dari penyegelan banyak
tempat ibadah minoritas di Bogor dan Bekasi Jabar. Pemerintah seakan-akan tutup
mata, bahkan muncul pernyataan mengejutkan dari Mendagri yang menyarankan pemda
bekerja sama dengan ormas tertentu yang terkenal bergaris keras. Padahal rekam
jejak ormas itu sangat tidak berpihak terhadap kaum minoritas.
Tak
pelak Menteri menjadi bulan-bulanan di media sosial. Hari-hari terakhir ini
kita disuguhi berita kemerebakan demo buruh yang menuntut kenaikan upah minimum
provinsi dari Rp 2,2 juta menjadi Rp 3,7 juta. Gubernur
DKI Jakarta Joko Widodo menetapkan besaran upah minimum provinsi (UMP) DKI
Jakarta 2014 sebesar Rp 2.441.301,74. Angka itu didapatkan dari penambahan
komponen kebutuhan hidup layak (KHL) 2013 dan pertumbuhan ekonomi rata-rata
2013 dan 2014 sebesar 6,15%.
Buruh langsung menolak karena mereka menghitung nilai itu
tidak mencukupi standar hidup layak, termasuk di dalamnya untuk membeli parfum, pulsa, telepon genggam, dan sebagainya. Buruh yang berdemo menuntut
diakhirinya era tenaga kerja murah yang mereka anggap eksploitasi. Benarkah
upah tenaga kerja kita murah? Hartono Raharjo dalam Kompasiana (18/6/13)
melacak perbandingan upah buruh Indonesia dengan negara tetangga.
Hasil
pelacakannya adalah upah buruh di Vietnam 80-100 dolar AS sebulan, Laos 75-100,
Kamboja 56-100, Bangladesh 40-80, Laos 75-100, Myanmar 17-50 dolar AS sebulan.
Lainnya, di China 100-200 dolar AS sebulan, Malaysia 250, Filipina 100-280
dolar AS sebulan dan Indonesia berkisar 100-220 dolar AS sebulan. Dari data itu
terlihat upah buruh kita tidaklah rendah.
Apakah
logis bila buruh meminta upah Rp 3,7 juta per bulan? Apa dasar perhitungannya?
Apakah parfum dan pulsa itu merupakan kebutuhan mutlak? Definisi kebutuhan
adalah bila tidak terpenuhi akan menganggu eksistensi sebagai manusia. Namun
sangat manusiawi bila buruh menuntut kenaikan upah karena semua orang bekerja
untuk mendapatkan uang.
Impor dari China
Namun
bila kemudian buruh mogok kerja, bahkan menyerukan mogok kerja nasional maka
Apindo sudah berteriak-teriak bahwa pengusaha merugi ratusan miliar rupiah per
hari. Saya punya teman pengusaha di Cikarang, yang memperkerjakan sekitar 4.000
karyawan. Sekarang dia sedang berpikir keras untuk menutup pabriknya karena
capai melihat demo buruh terus-menerus.
Teman
saya lagi mempertimbangkan akan mengimpor saja dari China, dan ia hanya
memperkerjakan sekitar 20 karyawan untuk mendistribusikan barang itu.
Jika
semua pengusaha kita mengambil langkah seperti dia dapat dipastikan fundamental
ekonomi Indonesia terganggu. Sekarang saja calon investor asing berpikir dua
tiga kali sebelum berinvestasi di Indonesia mengingat demo buruh yang
terus-menerus. Demo itu sudah tidak sehat karena
pendemo menyisir dan memaksa buruh lain untuk ikut berdemo. Dengan menggunakan
truk besar atau bus, mereka acap menyandera angkutan lain dan melakukan
tindakan anarkis.
Benarkah
demo itu sebagai hasil reformasi yang kita dambakan? Sadarkah wahai pendemo
bahwa Indonesia memiliki kalender merah dan cuti bersama paling banyak dibanding
negara lain? Sadarkah para pendemo bahwa dengan mogok kerja maka pengusaha
harus membayar uang lembur karena mengejar deadline
pengiriman? Benarkah pendemo tersebut mewakili buruh sebenarnya? Atau jangan-jangan
memiliki agenda tersendiri dalam aksinya.
Daripada
menghabiskan waktu untuk berdemo seyogianya bekerja sebaik mungkin dan
meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas berarti keuntungan bagi
perusahaan meningkat yang nantinya dibagikan ke karyawan. Seandainya tetap
tidak puas dengan UMP yang telah ditetapkan maka pilihan untuk menjadi
wiraswasta masih terbuka lebar. Kata orang bijak lebih baik menjadi bos kecil ketimbang ’’hanya’’ karyawan berdasi.
Saya
ingin mengutip pernyataan Dahlan Iskan, ’’daripada
terus mengeluh, berhentilah bekerja. Masih banyak orang lain yang mau bekerja
dan tanpa mengeluh tapi bisa menunjukkan kemajuan.’’ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar