Kamis, 07 November 2013

Reformasi Kebablasan

Reformasi Kebablasan
Jony O Haryanto   Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
SUARA MERDEKA, 06 November 2013


REFORMASI telah berjalan lebih dari 15 tahun. Namun hasil dari perjalanan itu masih jauh dari harapan para reformis, yang dengan darah dan air mata berjuang keras menjatuhkan rezim Soeharto, yang 32 tahun lebih berkuasa. Media massa tiap hari masih memberitakan kepala daerah, kepala dinas, atau wakil rakyat terjerat kasus korupsi.

Berita terkini tentang tertangkapnya Ketua (waktu itu) Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menghentakkan batin kita ternyata jerat korupsi sudah sedemikian parah. Reformasi juga memunculkan kelompok garis keras yang telah melampaui kewenangan organ pemerintah, dengan menyisir (sweeping) tempat yang dianggap maksiat.

Masyarakat ’’merindukan’’ zaman Soeharto yang tegas terhadap kelompok semacam itu. Minoritas makin terpinggirkan di negeri ini, tercermin dari penyegelan banyak tempat ibadah minoritas di Bogor dan Bekasi Jabar. Pemerintah seakan-akan tutup mata, bahkan muncul pernyataan mengejutkan dari Mendagri yang menyarankan pemda bekerja sama dengan ormas tertentu yang terkenal bergaris keras. Padahal rekam jejak ormas itu sangat tidak berpihak terhadap kaum minoritas.

Tak pelak Menteri menjadi bulan-bulanan di media sosial. Hari-hari terakhir ini kita disuguhi berita kemerebakan demo buruh yang menuntut kenaikan upah minimum provinsi dari Rp 2,2 juta menjadi Rp 3,7 juta. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menetapkan besaran upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta 2014 sebesar Rp 2.441.301,74. Angka itu didapatkan dari penambahan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) 2013 dan pertumbuhan ekonomi rata-rata 2013 dan 2014 sebesar 6,15%.
Buruh langsung menolak karena mereka menghitung nilai itu tidak mencukupi standar hidup layak, termasuk di dalamnya untuk membeli parfum, pulsa, telepon genggam, dan sebagainya. Buruh yang berdemo menuntut diakhirinya era tenaga kerja murah yang mereka anggap eksploitasi. Benarkah upah tenaga kerja kita murah? Hartono Raharjo dalam Kompasiana (18/6/13) melacak perbandingan upah buruh Indonesia dengan negara tetangga.

Hasil pelacakannya adalah upah buruh di Vietnam 80-100 dolar AS sebulan, Laos 75-100, Kamboja 56-100, Bangladesh 40-80, Laos 75-100, Myanmar 17-50 dolar AS sebulan. Lainnya, di China 100-200 dolar AS sebulan, Malaysia 250, Filipina 100-280 dolar AS sebulan dan Indonesia berkisar 100-220 dolar AS sebulan. Dari data itu terlihat upah buruh kita tidaklah rendah.

Apakah logis bila buruh meminta upah Rp 3,7 juta per bulan? Apa dasar perhitungannya? Apakah parfum dan pulsa itu merupakan kebutuhan mutlak? Definisi kebutuhan adalah bila tidak terpenuhi akan menganggu eksistensi sebagai manusia. Namun sangat manusiawi bila buruh menuntut kenaikan upah karena semua orang bekerja untuk mendapatkan uang.

Impor dari China

Namun bila kemudian buruh mogok kerja, bahkan menyerukan mogok kerja nasional maka Apindo sudah berteriak-teriak bahwa pengusaha merugi ratusan miliar rupiah per hari. Saya punya teman pengusaha di Cikarang, yang memperkerjakan sekitar 4.000 karyawan. Sekarang dia sedang berpikir keras untuk menutup pabriknya karena capai melihat demo buruh terus-menerus.

Teman saya lagi mempertimbangkan akan mengimpor saja dari China, dan ia hanya memperkerjakan sekitar 20 karyawan untuk mendistribusikan barang itu.

Jika semua pengusaha kita mengambil langkah seperti dia dapat dipastikan fundamental ekonomi Indonesia terganggu. Sekarang saja calon investor asing berpikir dua tiga kali sebelum berinvestasi di Indonesia mengingat demo buruh yang terus-menerus. Demo itu sudah tidak sehat karena pendemo menyisir dan memaksa buruh lain untuk ikut berdemo. Dengan menggunakan truk besar atau bus, mereka acap menyandera angkutan lain dan melakukan tindakan anarkis.

Benarkah demo itu sebagai hasil reformasi yang kita dambakan? Sadarkah wahai pendemo bahwa Indonesia memiliki kalender merah dan cuti bersama paling banyak dibanding negara lain? Sadarkah para pendemo bahwa dengan mogok kerja maka pengusaha harus membayar uang lembur karena mengejar deadline pengiriman? Benarkah pendemo tersebut mewakili buruh sebenarnya? Atau jangan-jangan memiliki agenda tersendiri dalam aksinya.

Daripada menghabiskan waktu untuk berdemo seyogianya bekerja sebaik mungkin dan meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas berarti keuntungan bagi perusahaan meningkat yang nantinya dibagikan ke karyawan. Seandainya tetap tidak puas dengan UMP yang telah ditetapkan maka pilihan untuk menjadi wiraswasta masih terbuka lebar. Kata orang bijak lebih baik menjadi bos kecil ketimbang ’’hanya’’ karyawan berdasi.

Saya ingin mengutip pernyataan Dahlan Iskan, ’’daripada terus mengeluh, berhentilah bekerja. Masih banyak orang lain yang mau bekerja dan tanpa mengeluh tapi bisa menunjukkan kemajuan.’’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar