AGAK di luar dugaan,
Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI Rate jadi 7,5 persen. Kenaikan
suku bunga kali ini tampaknya tidak dimaksudkan untuk meredam inflasi,
seperti yang lazim dilakukan. Inflasi year
on year Oktober 2013 cukup
terkendali 8,32 persen. Sedikit turun dari 8,4 persen pada bulan sebelumnya.
Pesan yang ingin disampaikan BI adalah, dengan kebijakan ini, mereka
berupaya mengurangi defisit transaksi berjalan yang masih 8,4 miliar dollar
AS pada triwulan III-2013, atau turun dari 9,9 miliar dollar AS pada
triwulan II.
Bagaimana transmisi kedua
variabel tersebut? Jika suku bunga naik, hasrat untuk berkonsumsi
(propensity to consume) akan berkurang, demikian pula hasrat investasi.
Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi (I) akan mengurangi
permintaan agregat (aggregate demand). Karena struktur industri kita
sensitif terhadap barang dan jasa impor, selanjutnya impor barang dan jasa
akan berkurang. Pengurangan ini akan menurunkan defisit perdagangan dan
defisit transaksi berjalan.
Efektifkah kebijakan
ini? Bisa jadi demikian, karena dalam situasi krisis ekonomi global yang
mulai dirasakan transmisinya ke Indonesia, tingkat kepercayaan para pelaku
ekonomi juga mulai goyah. Ekspresinya, mereka mulai mengerem konsumsi. Dua
industri yang biasanya bisa menjadi indikator bergairah atau tidaknya
perekonomian adalah industri otomotif dan properti.
Sejauh ini, pada
industri otomotif belum ada tanda-tanda itu. Kemampuan para produsen
melakukan inovasi, misalnya dengan produksi mobil yang irit dan murah,
serta sepeda motor yang hemat, berhasil menumbuhkan penjualan. Penjualan
mobil tahun ini diperkirakan 1,2 juta unit, sedangkan sepeda motor kembali
ke level 8 juta unit.
Namun, untuk sektor
properti, mulai ada tanda-tanda melemah. Di beberapa kota besar (terutama
Jakarta dan Surabaya) mulai dikeluhkan gejala ”gelembung properti”, harga
properti melambung tinggi, tetapi kemudian pemilik kesulitan menjualnya
kembali jika diperlukan. Aset ini menjadi berkurang derajat likuiditasnya.
Meski demikian, asalkan para pengembang jeli mencari segmen pasar dan lokasi
yang tepat, sebenarnya industri properti masih terbuka ekspansi, mengingat
masih banyak keluarga yang belum memiliki rumah pertama.
Upaya mengerem
pertumbuhan ekonomi tak hanya oleh Indonesia. China mulai menyadari bahwa
pertumbuhan ekonomi tinggi hingga dua digit (periode 2001-2008) membawa
beberapa dampak negatif. Sektor properti terlalu menggelembung sehingga
rawan meletus. Upah buruh naik, harga tanah di kota-kota industri sepanjang
pantai timur naik drastis. Jika tidak dikendalikan, itu akan merusak daya
saing China di kemudian hari.
Solusinya, pertumbuhan ekonomi diperlambat.
Itulah sebabnya, perekonomian China tahun ini diperkirakan tumbuh 7,6
persen-7,8 persen. Kendati demikian, level pertumbuhan ini tetap yang
tertinggi di dunia.
Yang menarik, dua
lembaga multilateral, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia,
sejak Oktober 2013 meramal Indonesia akan mengalami koreksi pertumbuhan
ekonomi ke bawah. Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi 2013 hanya 5,6
persen dan tahun depan (2014) 5,4 persen. Sementara IMF meramal pertumbuhan
5,3 persen (2013) dan 5,5 persen (2014).
Proyeksi itu rasanya
terlalu rendah. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi masih 5,8 persen. Pada
triwulan IV-2013, biasanya kementerian dan lembaga ngebut mengejar target absorpsi anggaran.
Hal yang sama juga pada perusahaan-perusahaan swasta. Datangnya musim
liburan akhir tahun dan Natal juga memberi energi belanja yang lebih
sehingga mendorong permintaan agregat.
Tahun 2014, tahun
pemilu, akan menumbuhkan asa memiliki presiden dan pemerintahan baru yang
lebih kuat. Ujungnya, tumbuh sentimen positif yang bisa memacu investasi.
Ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Proyeksi Bank Pembangunan Asia
(ADB) lebih realistis. Mereka meramal pertumbuhan ekonomi 5,7 persen (2013)
dan 6,0 persen (2014).
Proyeksi lembaga-lembaga
finansial dunia cukup beragam, misalnya Goldman Sachs 5,4 persen (2013) dan
5,5 persen (2014), HSBC (5,6 dan 5,5 persen), ING (5,9 dan 7 persen), DBS
(5,8 dan 6 persen), Economist Intelligence Unit (5,1 dan 5,4 persen),
Citigroup (5,7 dan 5,3 persen), Nomura (5,5 dan 5,7 persen), ANZ (5,5 dan 6
persen), Barclays Capital (5,4 dan 5,5 persen), Credit Suisse (5,7 dan 5,5
persen), dan yang paling parah JP Morgan (5,5 dan 4,9 persen). Saya
cenderung sependapat dengan ADB dan DBS.
Apakah suku bunga masih
akan naik lagi pada Desember 2013? Bisa ya, bisa tidak. Bisa ya jika BI
tidak melihat jalan lain untuk menstabilkan rupiah yang saat ini di level
Rp 11.600 per dollar AS. Stabilisasi rupiah merupakan tujuan terpenting,
melebihi prioritas lainnya. Di sisi lain, BI tetap harus berhitung,
kenaikan suku bunga lebih lanjut hanya akan memicu kenaikan suku bunga
kredit sehingga menyengsarakan dunia usaha.
Ada tanda kebijakan
kenaikan suku bunga ini masih dilanjutkan. Alasannya, mengantisipasi
kenaikan suku bunga di AS. Jika suku bunga AS naik (kini suku bunga acuan
The Fed hanya 0,25 persen), akan rawan terjadinya aliran modal keluar dari
Indonesia.
Namun, tahun depan kita
punya modal inflasi yang lebih rendah. Harga minyak mentah dunia hingga
tahun depan rasanya masih akan bergerak di antara 100 dollar AS per barrel
(minyak West Texas Intermediate) hingga 110 dollar AS (Brent), ditambah
lagi pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM (mesti subsidi sudah di atas
Rp 300 triliun), maka inflasi pun akan turun ke level 5,5 hingga 6,5
persen. Dalam kondisi ini, mestinya BI menurunkan BI Rate.
Keinginan BI agar
penyaluran kredit pada industri perbankan hanya tumbuh 15-17 persen tahun
depan, saya rasa terlalu konservatif. Pertumbuhan kredit selevel itu hanya
akan memacu pertumbuhan ekonomi 5,5 persen. Jika ingin pertumbuhan ekonomi
sekitar 6 persen, pertumbuhan kredit mestinya antara 18 hingga 20 persen.
Kita tidak harus
mengikuti jejak China untuk mengerem pertumbuhan ekonomi karena situasinya
berbeda. Data pengangguran terakhir China adalah 4 persen, atau jauh lebih
rendah daripada Indonesia yang sekitar 6 persen. Artinya, bagi Indonesia
masih lebih urgen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tercipta
kesempatan kerja baru daripada menaikkan BI Rate terus-menerus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar