Kamis, 28 November 2013

Mengakselerasi Bisnis Perbankan Syariah

Mengakselerasi Bisnis Perbankan Syariah
Susidarto  ;   Praktisi Perbankan
SUARA KARYA,  28 November 2013



Target aset perbankan syariah pada akhir 2013 sebesar Rp 268 triliun tampaknya akan sulit terwujud. Terlebih, belakangan ini, kondisi perekonomian Indonesia tengah tertekan, yang berdampak pada industri perbankan secara keseluruhan. Maklum, per September 2013, aset bank syariah dan unit usaha syariah (Bank Umum Syariah/BUS) baru mencapai Rp 227 triliun. Adapun pembiayaan yang dukurukan mencapai Rp 177 triliun sedangkan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun sebesar Rp 174 triliun.

Aset industri perbankan syariah baru mencapai 4,9 persen dari total aset perbankan konvensional. Industri perbankan syariah sendiri tumbuh sekitar 35% secara tahunan. Pertumbuhan tertinggi justru didukung oleh unit usaha syariah (UUS) yang tumbuh secara tahunan sebesar 50-60%. Dengan dukungan kuat dari bank induknya, UUS justru bisa mencapai target rencana bisnisnya. Saat ini ada sekitar 11 bank syariah, dan 24 UUS di Indonesia. UUS artinya masih bergabung dengan bank induknya, belum memisahkan diri (spin off) menjadi bank syariah.

Berdasarkan fenomena itu, terlihat jelas bahwa pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia masih belum sepesat yang dibayangkan. Dilihat dari perbandingan pertumbuhan antara bank syariah dengan UUS dari BUS terlihat jelas, masalah network (jejaring) kantor cabang menjadi kendala yang harus dipecahkan oleh perbankan syariah. Menyadari masalah ini, Bank Indonesia (BI) sebagai regulator perbankan syariah mencoba mencari solusi, dan yang akan dikeluarkan adalah aturan mengenai leveraging perbankan syariah.

Leveraging

Adalah Direktur Kepala Group Penelitian Perkembangan dan Regulasi Perbankan Syariah BI, Ahmad Buchori yang menjelaskan persoalan ini. Aturan ini menegaskan bahwa perbankan syariah bisa menggunakan jaringan kantor induknya untuk melayani masyarakat atau sebagai office chanelling, mirip yang sudah terjadi di kalangan BUS dengan UUS-nya. Inti aturan ini, agar BUS atau bank syariah dapat memanfaatkan jaringan konvensional milik induknya. BI menargetkan, regulasi mengenai masalah ini akan dapat terbit akhir 2013 atau setidaknya akan mulai berlaku tahun 2014.

Misalnya, sebuah bank syariah yang sudah memiliki kantor cabang di Bandung ingin menarik dana pihak ketiga (DPK) di luar wilayah Bandung, tetapi masih di Jabar. Bank syariah tersebut dapat menggunakan jaringan bank induknya yang konvesional untuk melayani pengumpulan DPK yang berada di luar wilayah Bandung, seperti Sukabumi, Bogor, hingga Cianjur. 
Bahkan dalam aturan yang akan dirilis ini, bank syariah yang menggunakan jaringan kantor cabang bank konvensional induknya, tak perlu mempekerjakan pegawainya dalam melayani masyarakat.

Pelayanan tersebut dapat dilakukan oleh pegawai kantor dari bank konvensional, yang merupakan jaringan induk bank syariah tersebut. Syaratnya sederhana, harus ada kantor cabang induknya terlebih dahulu. Selain menarik DPK, aturan ini juga akan membolehkan bank syariah atau BUS menggunakan jasa konsultasi milik bank konvensional induknya. Jasa konsultasi tersebut biasanya digunakan jika terkait dengan pembiayaan berskala besar seperti pembiayaan korporasi, infrastruktur dan pembiayaan besar lainnya.

Penggunaan jasa konsultasi tersebut karena selama ini bank syariah belum memiliki banyak pengalaman menangani pembiayaan berskala besar. Selama ini bank syariah banyak menangani pembiayaan UMKM. Oleh sebab itu, kalau menangani pembiayaan debitur kakap, bisa bekerja sama dengan induknya. Kunci utama dalam regulasi ini adalah koordinasi antara BUS dengan induknya, dan juga hubungan sister company antara bank syariah dengan bank induknya.

Aturan ini setidaknya merupakan respon BI terhadap perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia. Bahwa untuk akselerasi bisnis perbankan syariah dibutuhkan network (jejaring kantor cabang). Kalau mengandalkan pertumbuhan organik bank syariah, maka pertumbuhan jejaring ini akan menjadi kendala tersendiri. Padahal, BI belakangan tengah gencar mengenalkan branchless banking atau jejaring bank tanpa kantor cabang. 
Perkembangan ini mirip dengan branchless banking di perbankan umum.

Beberapa bank, sampai akhir tahun ini tengah melakukan uji coba branchless banking. Mereka bisa beroperasi tanpa kantor cabang baru, namun dengan menjalin kerja sama dengan pihak ketiga sebagai kepanjangan tangan dari perbankan, bisa berupa koperasi, kantor pos atau yang lainnya. Kecenderungan perbankan ke depan memang semacam itu. 

Perbankan syariah juga bisa mempercepat akselerasinya dengan bekerja sama dengan kantor cabang bank induknya. Dengan demikian, industri perbankan syariah diperkirakan akan dapat tumbuh pesat, layaknya bank konvensional. Regulasi ini juga akan menumbuhkan budaya bank syariah minded sebagai salah satu prasyarat akselesasi pertumbuhan.

Upaya ini juga sebagai bagian dari usaha memelekkan masyarakat akan perbankan syariah (literacy keuangan syariah). Harap maklum. Sampai sedemikian jauh perkembangan perbankan syariah di Tanah Air, ternyata masih banyak anggota masyarakat yang buta terhadap perbankan syariah. 

Padahal, ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Maka, untuk bisa semakin menjangkau banyak kalangan agar menggunakan jasa perbankan syariah, salah satunya adalah dengan memperluas jejaring kantor cabang. Jadi, leveraging perbankan syariah dimaksudkan sebagai upaya untuk menggaet pasar yang lebih luas lagi.

Akhirnya, industri perbankan konvensional dan perbankan syariah memang harus saling bekerja sama menggarap pasar domestik dan manca negara yang lebih luas lagi. Di antara keduanya memang harus dicarikan sinergi yang saling melengkapi sehingga tercipta kerja sama yang saling win-win, bahkan sinergis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar