Tanggung Jawab
KPK pada Publik
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 23 November 2013
Saya
tergugah membaca tulisan saudara Ma’mun Murod dalam KORAN SINDO tanggal 18
November 2013 karena mengungkapkan keprihatinan terhadap langkah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan kasus Anas Urbaningrum.
Seyogianya pimpinan KPK memberikan klarifikasi
atas tulisan yang bersangkutan kepada publik karena UU KPK memerintahkan
KPK bertanggung jawab kepada publik. Apalagi, posisi Anas Urbaningrum
termasuk mantan tokoh pimpinan parpol. Memang tidak boleh ada perlakuan
berbeda terhadap siapa pun yang menjadi tersangka dan menjalankan tugas dan
wewenangnya secara konsisten sejak penetapan tersangka sampai dengan
penuntutan.
KPK bertanggung jawab kepada publik bukan
hanya penetapan seseorang menjadi tersangka akan tetapi juga alasanalasan
bukti permulaan cukup secara selektif sekalipun merupakan rahasia
penyidikan. Saat ini dalam pemberantasan korupsi tidak ada yang perlu
dirahasiakan lagi jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka karena sumber
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sering
mengungkapkan kepada media tentang kepada siapa saja aliran dana hasil korupsi
menyebar dan KPK dalam proses penggeledahan atau penyitaan dan OTT selalu
diliput oleh media elektronik secara telanjang.
Begitu juga akurasi liputan hasil investigasi
Tempo dalam kasus korupsi yang ditangani KPK tampaknya mencapai 99%
sekalipun KPK selalu mengelak bahwa tidak pernah tahu menahu dan tidak
bertanggung jawab atas kebenaran informasi tersebut. Menilik kasus sprindik
KPK yang bocor beredar di masyarakat tahun lalu dan terakhir ada surat dari
pegawai KPK yang dibacakan Ma’mun Murod di hadapan publik mengenai isi
berita acara pemeriksaan (BAP) yang kemudian tidak jelas rimbanya; sebelum
akhirnya dibantah.
Seyogianya, jajaran pemimpin KPK menyampaikan
klarifikasi kepada publik dan jika perlu melaporkan pada Kepolisian untuk
menelisik siapa penulisnya karena menyangkut nama baik Presiden. Begitu
pula dalam tulisan Ma’mun Murod yang secara gamblang mempertanyakan langkah
hukum KPK terhadap nama Ibas dan Yulianis yang telah disebutkan dalam
proses persidangan.
Setahu saya, bahkan terhadap Yulianis,
pemeriksaan KPK dilakukan di sebuah hotel dengan alasan yang tidak jelas
pernah dikemukakan salah satu pemimpin KPK sedangkan terhadap saksi-saksi
lain, sekalipun terhadap anggota DPR RI yang terhormat, pemeriksaan
dilakukan di KPK. Begitu juga ketika pemeriksaan dilakukan terhadap seorang
Sri Mulyani mantan Menkeu, berbeda ketika pemeriksaan Agus Martowardojo,
mantan Menkeu, yang dilakukan di KPK.
Para pemimpin KPK dan pegawai KPK terikat pada
lima asas kinerja KPK di antaranya asas keterbukaan, akuntabilitas, dan
asas proporsionalitas. Tampaknya berbagai perlakuan hukum KPK di atas,
asas-asas tersebut telah diabaikan bukan hanya tebang pilih.
Dalam keterbatasan jumlah penyidik KPK (56
orang) saat ini tentu kita harus bijak memandang kinerja KPK bahwa tidaklah
mungkin berbagai kasus korupsi yang kompleks saat ini dapat dengan cepat
ditangani KPK belum lagi masih ada perkara korupsi di daerah yang ditangani
KPK dan tidak dikoordinasikan dan disupervisi KPK kepada kejaksaan
setempat.
Namun di sisi lain, pemimpin KPK harus
memahami keterbatasan ini dan secara bijak tanpa berpretensi negatif
terhadap kejaksaan dan kepolisian, bekerja sama bahu membahu menyelesaikan
perkara korupsi dan tuntas karena tugas dan wewenang utama KPK adalah
koordinasi dan supervisi (Pasal 6 huruf a dan b UU KPK) bukan sematamata
penindakan.
Bahkan, tugas dan wewenang pencegahan dan
monitoringsama sekali tidak muncul ke permukaan sehingga dapat dipahami
jika persoalan korupsi di hilir terus memuncak karena masalah di hulu tidak
tertangani dengan baik oleh KPK.
Sedangkan, dalam kasus-kasus mega-korupsi di
Indonesia telah dipersiapkan dan direncanakan sejak perencanaan pembangunan
nasional sampai pada penyusunan program dan proyek serta pelaksanaannya.
Menyadari kondisi korupsi sistemik dan luar biasa ini, UU KPK telah
memerintahkan dan membatasi wewenang KPK dalam menangani korupsi yaitu
hanya menyangkut penyelenggara negara, nilai di atas 1 miliar rupiah dan
menarik perhatian masyarakat (Pasal 11 UU KPK). Dalam praktik KPK juga
menangani perkara korupsi di bawah nilai satu miliar rupiah.
Penegakan hukum khusus pemberantasan korupsi
sistemik dan luar biasa harus dilandaskan pada strategi makro yang bersifat
visioner untuk Indonesia 10 tahun atau 25 tahun ke depan. Salah satu
strategi ini adalah harus selalu berpijak pada misi KPK yaitu mengembalikan
kerugian keuangan negara secara signifikan dan nyata bagi pundi-pundi
keuangan negara.
Karena itulah kerugian keuangan negara dalam
UU Pemberantasan Korupsi telah ditetapkan sebagai salah unsur mutlak tindak
pidana korupsi (Pasal 2 dan Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999). Misi
pemberantasan korupsi yang utama bukanlah efek jera karena efek jera tidak
memiliki makna berarti bagi penyelamatan keuangan negara. Sehingga menjadi
tidak benar pendapat sementara ahli dan perorangan bahkan pimpinan KPK
bahwa efek jera lebih utama dari menyelamatkan keuangan negara.
Secara filosofis, mengembalikan keuangan
negara bertolak dari keadilan restorative sedangkan efek jera dengan hukuman
bertolak pada keadilan retributive; UU Pemberantasan Korupsi Tahun 1999
bertolak pada dua model keadilan tersebut. Namun, faktanya sejak
pembentukan UU KPK, kerugian negara mencapai lebih dari seratus triliun
rupiah termasuk dari illegal mining, illegal fishingdan illegal logging,
kerugian keuangan yang dapat dikembalikan tidak lebih dari Rp50 triliun
rupiah setiap tahun.
Fakta tersebut menunjukkan terjadi kepincangan
atau ketidakseimbangan antara efek jera yang tidak juga pernah jera pada
penyelenggara negara dan uang yang seharusnya dapat dikembalikan. Saya
melihat, dengan tidak bermaksud mengecilkan keberhasilan KPK, penanganan
perkara korupsi saat ini tidak lebih dari ”entertainment” kepada masyarakat
yang tengah menderita karena korupsi sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia
tengah serius memberantas korupsi dan memiskinkan koruptor.
Untuk tujuan terakhir bahkan lebih jauh, telah
dipertontonkan ”aib-aib tersangka
korupsi” yang telah berada di luar kepatutan dan kesusilaan sehingga yang
terjadi adalah seorang tersangka korupsi telah menjadi ”zombie” jauh sebelum dinyatakan bersalah oleh pengadilan
tipikor. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar