Australia bukan negara uber power, merefleksikan tindakan
yang mementingkan diri sendiri, penuh permusuhan, munafik, dan mendominasi.
Indonesia juga bukan middle
power dan berharap sesama negara demokrasi akan diperlakukan pada
posisi yang sama. Ini refleksi terhadap perseteruan RI-Australia mengenai
penyadapan.
Ironisnya, kemarahan yang
menjadi hak Indonesia atas Australia tidak diikuti tindakan afirmatif,
apalagi dijalankan melalui prosedur diplomasi yang mengejawantahkan bahwa
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga dengan jumlah penduduk
beragama Islam terbesar di dunia. Kepala negara condong bergerak sendiri
dengan menteri luar negeri yang menjadi corong.
Terlepas dari ketersinggungan
kita atas ulah Australia, harus ada kesepakatan bersama—khususnya pejabat
yang merumuskan, mengendalikan, dan menjalankan politik luar negeri—jika
globalisasi ekonomi dan revolusi teknologi informasi membuat sulit
menghentikan pegawai pemerintahan memberikan atau menjual rahasia milik
negara.
Harus dipahami juga kalau cara
berdiplomasi bergeser akibat kemajuan teknologi. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, dalam kemarahannya atas Australia, menggunakan Twitter dan
menulis, ”@SBYudhoyono 19 Nov I
also regret the statement of Australian Prime Minister that belittled this
tapping matter on Indonesia, without any remorse. *SBY*”
Sayangnya, pergeseran akibat
kemajuan teknologi komunikasi informasi, termasuk penerapan langsung dalam
diplomasi kebijakan luar negeri, sering tidak diikuti etika dan ciri alami
teknologi komunikasi itu sendiri. Twitter adalah aplikasi yang sifatnya
pribadi dan tidak mewakili kepentingan orang banyak. Apalagi atas nama
kepala negara yang sering mewakilkan pada stafnya untuk berkicau.
Pengisap debu
Ada beberapa hal yang patut
disorot atas insiden penyadapan yang dilakukan pihak Australia. Pertama,
masalah keamanan teknologi informasi di Indonesia tidak pernah menjadi
perhatian pejabat negara dan para eksekutif perusahaan yang rawan akan
berbagai penyadapan, baik berbasis suara maupun teks.
Hingga kini, Indonesia tak
memiliki rumusan, baik di tingkat strategi maupun taktis, untuk melindungi
pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi informasi. Penyadapan yang
dilakukan Australia adalah bentuk spionase baru, termasuk bagaimana
menggunakan teknologi maju untuk mengumpulkan informasi intelijen.
Kedua, posisi Indonesia di
persilangan dinamika regional dan global menjadikan negara ini di tengah
derasnya arus informasi sebagai sasaran penyadapan intelijen, baik kawan
maupun lawan. Kita terkejut dengan penyadapan atas ponsel Presiden
Yudhoyono. Bayangkan jika ada pesawat nirawak asing mengintai diam-diam di
atas rumah para pejabat tinggi negara dan menyadap berbagai informasi
rahasia negara.
Ketiga, kemajuan teknologi
telekomunikasi informasi secara masif dalam jargon ”big data” menyebabkan
berbagai badan intelijen di dunia menggunakan kemajuan teknologi elektronik
sebagai ”pengisap debu” yang mengambil data dan informasi apa saja yang
bisa diambil. Insiden pesawat mata-mata AS EP-3 yang melakukan pengintaian
pada April 2001 mengisyaratkan adanya perubahan penggunaan teknologi
pengintaian memanfaatkan gabungan digitalisasi dan avionik.
Pesawat tanpa awak bisa kapan
saja masuk ke Indonesia, tidak memiliki tanda pengenal, membawa banyak
sekali peralatan spionase elektronik, dan tidak hanya menyadap percakapan
ponsel saja.
Di masa depan, cara kita
menggunakan kemajuan teknologi komunikasi informasi seperti Twitter harus
disinkronkan dengan cara berdiplomasi. Masifnya penggunaan jejaring digital
melalui beragam medium, termasuk ponsel dan tablet seperti iPad, harus
memiliki pola pengamanan yang memadai, seperti melarang membawa perangkat
teknologi ke dalam rapat kabinet seperti yang dilakukan banyak negara.
Sejak tahun 1948, Badan Keamanan
Nasional AS (NSA) menciptakan sistem spionase global disebut ECHELON,
bekerja sama dengan Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Stasiun
pengintaian ditempatkan di negara-negara ini dan negara lain menangkap
komunikasi satelit, gelombang mikro, seluler, dan serat optik. Setelah kode
sandi dibuka komputer NSA, analis meneruskan berbagai pesan ke badan
intelijen yang membutuhkannya.
Ini adalah kenyataan yang tak
bisa dihindari. Pilihan kita adalah bergabung dengan Jerman dan Brasil yang
mengedarkan rancangan resolusi ke komite Sidang Umum PBB, menyerukan
diakhirinya pengintaian elektronik, pengumpulan data, dan penerobosan
privasi secara kotor. Ini adalah langkah awal.
Untuk Partai Liberal yang
berkuasa di Australia serta politisi dan pejabat lainnya, mempertahankan
kebebasan membutuhkan upaya memajukan kebebasan itu sendiri. Namun,
kebebasan itu jangan disalahartikan untuk mencemooh konsensus mencapai
tujuan akhir. Hidup bertetangga memerlukan itikad baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar