BANYAK orang mengatakan,
profesi dokter adalah profesi mulia. Profesi yang kehadirannya
dibutuhkan masyarakat setiap saat sehingga tidak selayaknya beraksi mogok.
Etika, disiplin, bahkan sumpah
dokter pun berkata demikian. Maka, peristiwa pemogokan dokter yang dipicu
kasus di Manado, Sulawesi Utara (yang mungkin baru pertama kali ini),
tentu membuat prihatin dan harus menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Kronologi
Tahun 2010 dr A mengoperasi
persalinan Ny Y dan kemudian meninggal. Hasil otopsi menunjukkan bahwa Ny Y
mengalami emboli udara saat proses melahirkan. Emboli menyumbat aliran
darah yang menuju ke jantung dan paru.
Perhimpunan profesi setempat telah
mengujinya dan Pengadilan Negeri Manado membebaskan dr A. Namun, di
tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) menyatakan, dr A bersalah dan
menghukum penjara 10 bulan.
Dampaknya adalah pada Senin, 18
November 2013 , dokter berdemo. Kemudian para dokter kandungan
atau spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG) melanjutkan mogok
selama tiga hari.
Sebagai ilustrasi banding,
puluhan tahun silam seorang dokter di sebuah puskesmas di Pati, Jawa
Tengah, menyuntik pasien, terjadi syok anafilatik dan meninggal. Oleh
Pengadilan Negeri dokter tersebut dinyatakan bersalah. Namun, MA kemudian
menyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari hukum.
Dalam tata kelola regulasi
praktik dokter, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dibuat untuk
melindungi pasien, meningkatkan mutu pelayanan, dan adanya kepastian hukum.
Namun, para dokter sebenarnya
sudah berupaya mengatur agar pelayanan kepada pasien diberikan dengan baik
dan benar. Majelis Etik dibentuk untuk mengkaji etik dokter yang relatif
kabur.
Kemudian dibentuk pula Majelis
Disiplin yang bertugas mengkaji ”pelanggaran” disiplin oleh dokter
terhadap standar profesi (kewenangan, kompetensi), standar pelayanan
kesehatan (sesuai kondisi status rumah sakit), dan standar prosedur
penanganan jenis penyakit. Dalam hal ini telah disusun dan
disosialisasikan UUPK, peraturan pemerintah, permenkes, Konsil
Kedokteran.
Mengapa pengadilan pengaduan
pelanggaran standar semestinya lewat Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI)? Karena redaksional, prosedural, dan substansial
kasus sering bersifat teknis sehingga sulit dipahami hakim perdata
ataupun pidana umum. MKDKI ibaratnya MA-nya dokter dengan sanksi
terberat pelanggaran disiplin berupa pencabutan izin praktik. Dengan
demikian, pelanggaran disiplin profesionalisme tidak tepat masuk kategori
malapraktik.
Maka, IDI mengusulkan sanksi
disiplin dalam UUPK yang hukumannya pidana dihapuskan. Demikian dan istilah
standar diusulkan menjadi pedoman.
Meski demikian, dokter tetap
dapat dipidanakan bila, misalnya, melakukan pelecehan seksual atau
aborsi. Yang bersangkutan bisa diserahkan ke pengadilan dengan
hukuman pidana. Inilah malapraktik yang konotasinya kesalahan atau
kejahatan.
Di sisi lain setiap pasien
meninggal tidak boleh dikonotasikan sebagai malapraktik, tetapi
dikategorikan dalam kemungkinan adanya pelanggaran disiplin profesional.
Ini berdasarkan asumsi bahwa tidak ada dokter yang dengan sengaja ingin
mencelakakan pasien.
Ilmu dan pelayanan kedokteran
sebenarnya upaya penyembuhan anugerah karena dalam prosesnya melibatkan
Allah. Ilmu kedokteran dan dokter dengan demikian memiliki keterbatasan,
jauh di bawah keagungan ketidakterbatasan Allah. Pada kasus yang memicu
aksi mogok pekan ini, syok anafilaktik akibat emboli air ketuban adalah
pengentalan darah saat operasi. Ini adalah kondisi yang tak dapat
diprediksi dan diantisipasi.
Demikian pula halnya penanganan
pasien dengan latar belakang penyakit lain atau kondisi tubuh rapuh atau
berusia lanjut, yang dapat meninggal bukan karena penyakit
terkininya.
Perawatan terminal
Di sisi lain, perawatan terminal
yang bertujuan mengurangi penderitaan merupakan tugas mulia dokter,
tidak boleh dituntut hukum penyiksaan, pembunuhan terselubung ataupun
terencana, praktik di luar kompetensi, atau melanggar hak mati.
Pelayanan dokter harus
berorientasi patient safety; karenanya
diperlukan informed consent,
baik lewat komunikasi lisan, bahasa tubuh, maupun tertulis, secara timbal
balik sesuai cara budaya dan bahasa populer setempat, yang mencakup
penyakit, prosedur tindakan, dan risikonya. Hal ini tentu tidak mudah bagi
kedua belah pihak; sehingga tidak-layaklah kesepakatan informed consent tertulis
dipermasalahkan. Munculnya demo dan mogok dokter karena menyangkut masalah
mendasar, substansi masa depan praktik dokter, bahkan layanan
kesehatan secara umum. Melengkapi pembelajaran kasus ini apakah MA
sudah berkonsultasi dengan MKDKI?
Semoga mogok dokter ini untuk
yang pertama dan terakhir. Harapannya, seluruh bangsa, baik dokter,
masyarakat, maupun para penegak hukum, semakin cerdas dan bijaksana bersama
menuju kemajuan bangsa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar