Sabtu, 30 November 2013

Mengoreksi Relasi Pilkada dan Korupsi

Mengoreksi Relasi Pilkada dan Korupsi
Richo Andi Wibowo  ;  Dosen Hukum Administrasi Negara UGM, Peneliti di Institute of Constitutional and Administrative Law, Utrecht University, Belanda
SINAR HARAPAN,  29 November 2013
  


“The easy way out usually leads back in.” (Senge, 1990)

Sudah saatnya bangsa Indonesia lebih berhati-hati dalam mencari solusi permasalahan bangsa. Jalan keluar yang ditawarkan harus dipastikan berdasarkan kerangka pikir bersifat holistik serta berorientasi pada penyembuhan akar masalah.

Belum lama ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis data terbaru mengenai mengguritanya korupsi di daerah. Tercatat sejak tahun 2005 hingga Oktober 2013, 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi.

Menyikapi itu, Kemendagri membuka wacana ke publik agar mekanisme pilkada kembali ke konsep tidak langsung, kepala daerah kembali dipilih wakil rakyat di DPRD. Alasannya, pemilihan kepala daerah langsung dianggap berbiaya tinggi.

Kemendagri menganggap mekanisme politik ini mendorong praktik jual beli suara yang dilakukan antara pasangan calon dengan masyarakat pemilih. Kemendagri yakin, tingginya biaya di atas menyebabkan kepala daerah terpilih lebih berhasrat melakukan korupsi, guna mengembalikan modal politik mereka.

Secara sekilas, argumentasi Kemendagri di atas memang tampak logis. Namun, Kemendagri terkesan menilai faktor pendorong korupsi di daerah hanya terletak pada masyarakat pemilih saat pilkada. Padahal, patut diyakini terdapat aneka faktor pendorong korupsi lain.

Lebih dari itu, dengan “menyalahkan” masyarakat pemilih, berarti Kemendagri mengabaikan realita bahwa kepala daerah adalah individu yang berdaulat dalam menentukan tindakannya, baik untuk bersikap korup maupun tidak.

Integritas dan Sistem

Di satu sisi, adalah benar masyarakat kerap menentukan pilihan mencoblos berdasarkan amplop yang diberikan tim pasangan calon. Masyarakat cenderung mencoblos pasangan calon yang memberi uang. Jika pasangan calon yang bermain politik uang lebih dari satu, mereka cenderung memilih yang memberi paling besar.

Dalam hal ini, benar apa yang dikatakan Mochtar Lubis tiga setengah dasawarsa lalu (1977), masyarakat Indonesia memang munafik. Masyarakat tidak sepakat dengan perbuatan korupsi, tapi bila menguntungkan, mereka mau terlibat/mendukung praktik korupsi tersebut (Hehamahua, 2011).

Namun, praktik jual beli suara tetap tidak akan terjadi bila seluruh pasangan calon menolak melakukan politik uang. Sayangnya, hasrat berkuasa para pasangan calon kerap demikian tinggi. Mereka sering menghalalkan segala cara untuk menang, termasuk membeli suara pemilih.

Sikap di atas kemudian dibaca sebagai peluang investasi oleh para pengusaha nakal. Mereka menalangi keinginan pasangan calon untuk membeli suara pemilih. Sebagai imbalannya, jika sang mereka menang, sistem pemerintahan akan diselewengkan untuk memenuhi kepentingan pengusaha.

Sebelum pengusaha melakukan investasi, tentu mereka telah melakukan kalkulasi. Mereka yakin investasi mereka akan kembali membawa keuntungan. Artinya, bila aktivitas ini jamak terjadi, mengindikasikan ada yang salah dengan sistem pemerintahan kita.

Potret buram di atas menegaskan Kemendagri tidak sepatutnya menyalahkan pilkada langsung. Problem integritas tidak hanya melanda masyarakat pemilih, tetapi (setidaknya) juga melanda pasangan calon serta pengusaha nakal. Problem integritas ini berbaur dengan lemahnya sistem pemerintahan, sehingga mudah diselewengkan.

Pertanyaan Kritis

Mengingat realita permasalahan ternyata lebih kompleks, tawaran solusi Kemendagri untuk mengubah mekanisme pilkada terkesan menyederhanakan masalah sebagaimana pemikiran Senge di awal tulisan ini. Jalan keluar yang mudah biasanya tidak memecahkan masalah, tetapi hanya membuat kita kembali ke posisi semula (berjalan di tempat).

Solusi Kemendagri tidak menyinggung upaya peningkatan integritas. Akibatnya, wajar jika kemudian diajukan pertanyaan, bagaimana jika solusi Kemendagri hanya membuat praktik suap sekadar berpindah dari pasangan calon “menyuap masyarakat” menjadi “menyuap anggota DPRD”?

Hal ini penting untuk dijelaskan. Jangan sampai publik berpendapat, output yang membedakan antara gagasan pilkada langsung dengan pilkada via DPRD hanya terletak pada siapa yang mendapat “kue” dan seberapa besar “irisan kue” tersebut diperoleh.

Lebih dari itu, menjadi relevan untuk menanyakan dampak pilkada via DPRD. Apakah sistem pemerintahan di daerah akan menjadi semakin kuat atau semakin rentan untuk diselewengkan?

Patut diduga, kemungkinan yang belakangan disebutlah yang justru akan tercipta. Pilkada tidak langsung membawa implikasi eksekutif tidak lagi bertangung jawab langsung kepada rakyat, tetapi kepada DPRD sebagai pihak yang memilih. Dengan demikian, mekanisme checks and balances berpotensi terganggu. Pendulum kekuatan lebih condong ke lembaga perwakilan daerah.

Mengurai lebih lanjut dari kerangka pikir Abdullah dan Asmara (2006), implikasi negatif dari hal ini adalah anggota DPRD akan bersikap lebih oportunistis dalam mendesain APBD. Anggaran daerah akan diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan/atau kelompok anggota DPRD, serta perilaku ini akan lebih sulit dicegah oleh eksekutif.

Baik kiranya jika Kemendagri meninggalkan wacana pilkada via DPRD, untuk kemudian fokus untuk mencari solusi (i) peningkatan integritas para pemangku kepentingan yang terlibat pilkada, serta (ii) perbaikan sistem pemerintahan daerah.

Namun, jika Kemendagri bersikeras melanjutkan wacana pilkada via DPRD, perlu dijawab aneka pertanyaan kritis di atas. Termasuk membuktikan tidak akan terjadinya dampak negatif yang dikhawatirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar