Sabtu, 23 November 2013

Menyoal Kriminalisasi Dokter

Menyoal Kriminalisasi Dokter
Sardjana  ;   Direktur Institut Indonesia Sehat Jakarta
REPUBLIKA,  22 November 2013



Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah peribahasa yang tepat disandang oleh dr Dewa Ayu Sasiari Prawani SpOG, dr Hendry Simanjutak SpOG, dan dr Hendy Siagian SpOG, yang ditangkap tim kejaksaan Manado karena dugaan malapraktik. Bagaikan gayung tak bersambut, organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia ( POGI), serta pihak RS Prof Dr Kandou Manado sepakat menuntaskan kasus duagaan malapraktik, namun para penjaga pilar hukum ber sikukuh untuk menjerat ketiga dokter dengan Pasal 359 KUHP jis Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP atau subsider Pasal 359 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal.

Ada apa? Sebab, bahasa kedokteran tak gampang dimengerti kalangan umum, termasuk para penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Penelitian-penelitian ilmu kedokteran tidak pernah 100 persen dimengerti oleh mereka, begitu juga mereka tidak akan paham arti kesembuhan, jika dokter sudah melakukan sesuai dengan prosedur dan hasilnya lain, itu di luar kuasa dokter. Dokter hanya bisa ikhtiar dan Allah yang menentukan.

Istilah kelalaian medis makin populer seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran. Demikian pula istilah malapraktik yang pada umumnya diartikan berkaitan dengan profesi kedokteran (medical malpractice). Kedua istilah tersebut membingungkan dan sukar dibedakan, pakar kedokteran pun sering rancu mencampur-adukkan negligence dianggap sinonim saja dengan professional negligence.

Dalam literaturnya yang disadur dari Mason Smith, Creghton mengatakan, penggunaan kedua istilah itu sering dipakai bergantian seolah-olah artinya sama. "Malpractice is a term wich is increasingly widely used as a sinonim for medical negligence." Gunting tertinggal di perut setelah operasi, selang kateter tertinggal di perut, dan keracunan gas CO2 sehingga tewas lebih tepat disebut kelalaian medis. Tetapi, sebenarnya pengertian medical malpracticelebih luas dari medical negligence

Kelalaian memang termasuk malapraktik, tetapi di dalam malapraktik tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Malapraktik dalam arti luas dibedakan antara tindakan yang dilakukan dengan sengaja yang dilarang UU serta bermotif tertentu dan tindakan yang dilakukan tidak dengan sengaja yang tidak bermotif tertentu. Kelalaian medis atau medical negligence atau culpa merupakan pengertian normatif. Bagaimana tolok ukur menilai kelalaian tersebut? Para pakar kedokteran sepakat memberikan tolok ukur kelalaian yang dikenal sebagai 4-D, yaitu duty, dereliction of that duty, direct caution, damage.

Apa yang dimaksud duty? Kewajiban profesi dokter mempergunakan segala ilmu dan kepadaiannya untuk penyembuhan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi medik. Hubungan dokter-pasien termasuk ikatan berusaha. Itu berarti dokter tidak dapat dipersalahkan jika pengobatannya ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan, asalkan sudah memenuhi syarat-syarat standar profesi. 

Sementara itu, dereliction of that duty ialah penyimpangan yang dilakukan dokter, dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar. Namun, penyimpangan itu tidak diartikan sempit. Hal tersebut disebabkan dalam ilmu kedokteran terdapat kelonggaran untuk perbedaan tindakan. Untuk menentukan terdapat penyimpangan atau tidak, harus ada fakta-fakta yang meliputi kasus itu dengan bantuan ahli dan sanksi ahli.

Direct caution dan damage bekaitan sangat erat. Untuk dapat dipersalahkan, harus ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya, dan tidak ada tindakan atau peristiwa sela di antaranya. Semakin banyak gugatan, kalangan dokter merasa semakin ketakutan. Dampak selanjutnya, tarif dokter semakin mahal untuk berjaga-jaga jika ada tuntuntan di kemudian hari. Sekarang ini, sudah tidak ada lagi perusahaan asuransi yang bersedia mengklaim profesi dokter kebidanan dan kandungan karena tuntutannya terlalu mahal.

Dari keempat tolok ukur tersebut, perlu digarisbawahi bahwa standar baku yang resmi belum ada di Indonesia, walaupun sudah memiliki UU Kesehatan. Idealnya, setiap bagian disiplin ilmu kedokteran di rumah sakit (RS) mempunyai standar baru yang resmi, atau setidaknya RS memiliki sebuah standar prosedur baku yang harus digunakan secara nasional untuk penyakit yang paling banyak ditemukan di institusi RS.

Merujuk ke negara maju, standar prosedur mutlak untuk mengevaluasi tindakan dokter dalam menangani pasien. Tetapi, perlu diingat, di sana, dokter dituntut pasien adalah hal yang lumrah. Bahkan, mereka cenderung mencari-cari kesalahan tindakan dokter dalam melayani pasien. 
Tetapi, ada positifnya, yakni dokter menjadi lebih hati-hati dan mutu pelayanan menjadi lebih bagus. Jadi, sebenarnya pekerjaan rumah kita saat ini ialah membuat standar profesi baku yang bersifat resmi dan nasional, untuk dijadikan kiblat bagi semua dokter praktik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar