Hari-hari belakangan
ini hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia terganggu lagi.
Beberapa bulan yang lalu, isi kampanye PM Tony Abbott tentang tiga langkah
penanganan gelombang perahu imigran ilegal ke Australia dianggap melanggar
kedaulatan Indonesia.
Berita tentang
krisis diplomasi antara Indonesia dan Australia menjadi head linedi hampir
semua media Australia. Forum Dialog di Universitas Griffith yang berupaya
membangun hubungan baik antarkedua negara melalui jalur people-to-people tertutup oleh
berbagai artikel dan komentar tentang akibat skandal spionase.
Indonesia ancaman?
Indonesia yang kuat
maupun Indone sia yang lemah adalah ancaman bagi Australia. Perasaan ini
sudah terbangun di kalangan Pemerintah Australia sejak Indonesia berdiri
(Fitriani 2012). PM Menzies sangat khawatir terhadap agresivitas Indonesia
dalam national building, terutama
karena kebijakan Mandala dan Trikora Presiden Sukarno.
Menurut the
Australian, yang mengutip ahli intelijen Profesor Desmond Ball, negara ini
sudah mematai-matai Indonesia sejak masa PM Menzies (1946- 1966). Sumber
yang sama menyatakan, saking khawatirnya, PM Menzies pernah memesan pesawat
tempur F-III Striker Bomber yang mempunyai kemampuan menjatuhkan bom nuklir
ke Jakarta. Untuk melindungi keamanannya, Australia memanfaatkan payung
keamanan AS.
Namun, banyak kelompok di Australia justru menganggap Indonesia sebagai
peluang bisnis yang menggiurkan. Dengan jumlah penduduk 10 kali negara tersebut
dan kelompok menengah yang royal, Indonesia adalah pasar istimewa bagi
produk Australia. Dalam berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan negara itu,
tecermin posisi Australia yang dilematis: di bidang keamanan sangat bergantung
pada AS, tapi di bidang ekonomi sangat bergantung pada Asia.
Besarnya kepentingan
mendorong Australia untuk menumbuhkan soft
power terhadap Indonesia tecermin dari bantuan luar negerinya.
Indonesia adalah penerima bantuan luar negeri terbesar Australia, termasuk
di antaranya 500 beasiswa S2 dan S3 per tahun. Kedua negara juga
menandatangani Perjanjian Lombok tahun 2008 yang berisi kerja sama
pertahanan dan keamanan dengan tujuan melindungi kepentingan bersama dan
kepentingan nasional masing-masing.
Selain itu,
Australia sangat berkepentingan memperhatikan perkembangan apa pun di
Indonesia. Belakangan ini, terdapat dua hal yang membuat negara ini sangat
gamang: upaya menanggulangi imigran yang datang dengan kapal dan Pemilihan
Presiden 2014 di Indonesia. Masalah imigran yang dianggap gelap ini sudah
memecah belah rakyat Australia dan menimbulkan tekanan besar kepada
pemerintah negara tersebut.
Australia sangat
membutuhkan kerja sama dengan Indonesia untuk dapat mencegah lebih banyak
lagi kapal pembawa imigran masuk ke perairannya. Sebulan yang lalu kasus
ini sudah memanaskan hubungan kedua negara karena dalam kampanye Abbott
mencanangkan tiga kebijakan yang ditolak Indonesia: mengembalikan kapal ke
Indonesia sebelum mendarat di Australia, membeli semua kapal nelayan
Indonesia supaya tidak digunakan imigran menyeberang ke Australia, dan
menempatkan intelijen di Indonesia untuk mengawasi gerakan imigran gelap.
Selain
pemerintahnya, rakyat dan komunitas bisnis Australia juga gamang menunggu
siapa yang akan menjadi Presiden Indonesia dalam pemilu tahun depan. Bagi
negara ini, SBY adalah Presiden Indonesia yang paling bersahabat. Mereka sangat
khawair bila penggantinya terlalu nasionalis dan anti-Barat.
Krisis diplomatik
yang terjadi sekarang dan kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia
beberapa hari belakangan ini menimbulkan kepanikan dalam Pemerintah
Australia. PM Abbott mengadakan pertemuan khusus dengan parlemen, sementara
media terus-menerus memberitakannya di halaman depan. Selama ini
hubungan kedua negara di tingkat government-to-government
dianggap sudah baik, yang dianggap kurang adalah hubungan people-to-people.
Dokumen yang
dibocorkan Snowden menguak kepalsuan dan kemunafikan.
Menurut media Australia, yang dibocorkan ini baru 1 persen. Namun, di
tengah krisis ini, kita perlu tetap bersikap rasional dan tentu saja
mengambil pelajaran. Pertama, perlu menjaga jarak, bahkan dengan negara
yang dianggap bersahabat sekalipun. Kedua, Indonesia sebaiknya melakukan
hubungan internasional secara etis; tidak perlu ikut menyadap.
Ketiga, perkuat
komunikasi dan koordinasi dalam merencanakan dan menjalankan kebijakan luar
negeri; instansi-instansi yang berwenang jangan sampai dipecah belah oleh
kekuatan luar. Keempat, bukan thousand
friends, zero enemy, melainkan kepentingan nasionallah yang harus
menjadi pedoman kebijakan luar negeri. Kelima, bila memang harus,
sikap tegas perlu dilakukan, tapi harus konsisten dan mempertimbangkan
kepentingan nasional jangka panjang. Kita bisa memilih, kalaupun tidak bisa
berteman, sebaiknya tidak menjadi lawan Australia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar