Sabtu, 30 November 2013

Australia : Kawan atau Lawan?

Australia : Kawan atau Lawan?
Evi Fitriani  ;  Ketua Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
REPUBLIKA,  28 November 2013
  


Hari-hari belakangan ini hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia terganggu lagi. Beberapa bulan yang lalu, isi kampanye PM Tony Abbott tentang tiga langkah penanganan gelombang perahu imigran ilegal ke Australia dianggap melanggar kedaulatan Indonesia. 

Berita tentang krisis diplomasi antara Indonesia dan Australia menjadi head linedi hampir semua media Australia. Forum Dialog di Universitas Griffith yang berupaya membangun hubungan baik antarkedua negara melalui jalur people-to-people tertutup oleh berbagai artikel dan komentar tentang akibat skandal spionase. 

Indonesia ancaman?

Indonesia yang kuat maupun Indone sia yang lemah adalah ancaman bagi Australia. Perasaan ini sudah terbangun di kalangan Pemerintah Australia sejak Indonesia berdiri (Fitriani 2012). PM Menzies sangat khawatir terhadap agresivitas Indonesia dalam national building, terutama karena kebijakan Mandala dan Trikora Presiden Sukarno. 

Menurut the Australian, yang mengutip ahli intelijen Profesor Desmond Ball, negara ini sudah mematai-matai Indonesia sejak masa PM Menzies (1946- 1966). Sumber yang sama menyatakan, saking khawatirnya, PM Menzies pernah memesan pesawat tempur F-III Striker Bomber yang mempunyai kemampuan menjatuhkan bom nuklir ke Jakarta. Untuk melindungi keamanannya, Australia memanfaatkan payung keamanan AS.

Namun, banyak kelompok di Australia justru menganggap Indonesia sebagai peluang bisnis yang menggiurkan. Dengan jumlah penduduk 10 kali negara tersebut dan kelompok menengah yang royal, Indonesia adalah pasar istimewa bagi produk Australia. Dalam berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan negara itu, tecermin posisi Australia yang dilematis: di bidang keamanan sangat bergantung pada AS, tapi di bidang ekonomi sangat bergantung pada Asia. 

Besarnya kepentingan mendorong Australia untuk menumbuhkan soft power terhadap Indonesia tecermin dari bantuan luar negerinya. Indonesia adalah penerima bantuan luar negeri terbesar Australia, termasuk di antaranya 500 beasiswa S2 dan S3 per tahun. Kedua negara juga menandatangani Perjanjian Lombok tahun 2008 yang berisi kerja sama pertahanan dan keamanan dengan tujuan melindungi kepentingan bersama dan kepentingan nasional masing-masing.

Selain itu, Australia sangat berkepentingan memperhatikan perkembangan apa pun di Indonesia. Belakangan ini, terdapat dua hal yang membuat negara ini sangat gamang: upaya menanggulangi imigran yang datang dengan kapal dan Pemilihan Presiden 2014 di Indonesia. Masalah imigran yang dianggap gelap ini sudah memecah belah rakyat Australia dan menimbulkan tekanan besar kepada pemerintah negara tersebut. 

Australia sangat membutuhkan kerja sama dengan Indonesia untuk dapat mencegah lebih banyak lagi kapal pembawa imigran masuk ke perairannya. Sebulan yang lalu kasus ini sudah memanaskan hubungan kedua negara karena dalam kampanye Abbott mencanangkan tiga kebijakan yang ditolak Indonesia: mengembalikan kapal ke Indonesia sebelum mendarat di Australia, membeli semua kapal nelayan Indonesia supaya tidak digunakan imigran menyeberang ke Australia, dan menempatkan intelijen di Indonesia untuk mengawasi gerakan imigran gelap.

Selain pemerintahnya, rakyat dan komunitas bisnis Australia juga gamang menunggu siapa yang akan menjadi Presiden Indonesia dalam pemilu tahun depan. Bagi negara ini, SBY adalah Presiden Indonesia yang paling bersahabat. Mereka sangat khawair bila penggantinya terlalu nasionalis dan anti-Barat. 

Krisis diplomatik yang terjadi sekarang dan kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia beberapa hari belakangan ini menimbulkan kepanikan dalam Pemerintah Australia. PM Abbott mengadakan pertemuan khusus dengan parlemen, sementara media terus-menerus memberitakannya di halaman depan. Selama ini hubungan kedua negara di tingkat government-to-government dianggap sudah baik, yang dianggap kurang adalah hubungan people-to-people.

Dokumen yang dibocorkan Snowden menguak kepalsuan dan kemunafikan.
Menurut media Australia, yang dibocorkan ini baru 1 persen. Namun, di tengah krisis ini, kita perlu tetap bersikap rasional dan tentu saja mengambil pelajaran. Pertama, perlu menjaga jarak, bahkan dengan negara yang dianggap bersahabat sekalipun. Kedua, Indonesia sebaiknya melakukan hubungan internasional secara etis; tidak perlu ikut menyadap. 

Ketiga, perkuat komunikasi dan koordinasi dalam merencanakan dan menjalankan kebijakan luar negeri; instansi-instansi yang berwenang jangan sampai dipecah belah oleh kekuatan luar. Keempat, bukan thousand friends, zero enemy, melainkan kepentingan nasionallah yang harus menjadi pedoman kebijakan luar negeri. Kelima, bila memang harus, sikap tegas perlu dilakukan, tapi harus konsisten dan mempertimbangkan kepentingan nasional jangka panjang. Kita bisa memilih, kalaupun tidak bisa berteman, sebaiknya tidak menjadi lawan Australia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar