Sabtu, 30 November 2013

Posisi Guru di Hari Guru

Posisi Guru di Hari Guru
Sulardi  ;   Dosen Universitas Muhammdiyah Malang
SUARA KARYA,  25 November 2013
  


Tanggal 25 November adalah Hari Guru. Harus dipahami bahwa telah terjadi pergeseran nilai atas sosok dan profil guru. Saat ini, para guru mogok mengajar, guru demonstrasi menuntut perbaikan merupakan hal yang biasa. (Pada masa Orde Baru jelas hal tersebut tabu dan tidak mungkin). Problematika seputar guru sesungguhnya telah menjadi problem nasional yang berkepanjangan, dari masalah kesejahteraan guru yang tidak sebanding dengan beban yang harus dipikul di pundak guru, hingga profesionalisme guru yang terus diperdebatkan.

Dengan adanya UU Guru dan Dosen bukan berarti masalah guru selesai. Sebab, UU ini tak ayal akan memunculkan masalah baru, misalnya, organsisasi profesi guru apakah bisa independen atau harus masuk organisai tunggal bentukan negara. Problem lain yang harus segera ditangani adalah serifikasi profesi guru, apakah hal tersebut bisa dilakukan segera dengan standar yang betul-betul terjamin kualitasnya ataukah sekedar selembar surat yang harus 'dibeli' oleh para guru.

Temuan Rektor Universitas Negeri Malang terhadap pengujian berkas portofolio, banyak terjadi kecurangan, salah satunya ada guru yang menaruh amplop berisi uang di berkas portofolionya (2007), tentu ini hal yang memprihatinkan, sekaligus pertanda hal tersebut biasa dialami oleh para guru saat mengurus kepangkatan ataupun yang lainnya. Ini mengingat selama ini acapkali guru harus membayar secara tidak resmi untuk kenaikan pangkatnya, dan atau saat guru dipromosikan menjadi kepala sekolah atau penilik sekolah.

Masalah mendasarnya, selama ini guru telah dijadikan korban kebijakan di negara ini. Potret guru sengaja dicetak buram, keburaman itu dibingkai dengan image bernama "pahlawan tanpa tanda jasa". Gelar pahlawan tanpa tanda jasa inilah yang mebuat guru dan masyarakat di negara ini ternina bobok, sehingga masyarakat di luar kesadarannya memahami guru sebagai profesi yang nrimo, dalam kekurangan dan kesederhanaan. Guru menjadi sosok yang siap menderita, menerima apa pun kebijakan dari pemerintah, guru harus sederhana, guru harus tanpa pamrih dalam menjalankan tugasnya. Image inilah yang sesungguhnya harus segera dicabut. Guru adalah guru, pahlawan adalah pahlawan.

Gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang melekat pada profesi guru itulah yang menyebabkan guru menjadi terhegeomoni dalam bingkai kegagahan yang tak berdaya. Profesi guru terpenjara dalam kata indah 'pahlawan tanpa tanda jasa'. Secara demikian, guru menjadi sosok yang seolah dirinya resi, yang dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi memikirkan materi, - bondo donya, harta duniawi -, sehingga menjadi tidak pantas bila ada guru yang hidupnya bermewah-mewah.

Guru disamakan dengan guru dalam cerita pewayangan, yang tugasnya mengajari para ksatria agar berada di jalan yang benar, tanpa dipikirkan kebutuhan hidup dunianya. Guru dalam pewayangan dicitrakan guru yang sederhana, bijak, waskita, tanpa pamrih. Sosok inilah yang mau dilekatkan pada para guru-guru di Republik ini.

Sesungguhnya harus dipahami, guru di Republik ini berada di alam nyata. Guru adalah guru, bukan resi dalam dunia pewayangan. Guru di Republik ini adalah guru yang masih menginginkan terpenuhinya kebutuhan hidup lainnya di luar keinginan mencerdaskan anak didiknya. Maka, sudah saatnya bangsa dan masyarakat di negeri ini menempatkan guru dalam deretan profesi yang terhormat lainnya, seperti dokter, apoteker, pengacara, hakim, jaksa, arsitek, peneliti, wartawan, dan profesi lainnya. Sehingga, guru dihargai karena profesinya sebagai guru, sebagaimana kita menghormati dan menghargai dokter, arsitek yang profesional di bidangnya, pengacara yang piawai menangai perkara, dan profesi-profesi lainnya secara profesional. Menghormati guru bukan hanya karena kesederhanannya dan pengabdiannya yang tak kenal waktu dan lelah.

Oleh sebab itu, marilah para guru guru itu dibebaskan dari predikat 'pahlawan tanpa tanda jasa'. Sebab, gelar ini hanya menghadirkan kesadaran semu, yang hanya melahirkan ilusi ilusi indah bagi guru, yang seolah guru siap menderita, siap tidak kaya - untuk tidak mengatakan miskin -, toh guru adalah pahlawan, sebagai pahlawan pastilah tidak boleh berpamrih. Guru dan masyarakat di negeri ini harus dibangunkan dari mimpi 'guru sebagai sosok pahlawan'.

Guru adalah guru, profesinalisme guru semestinya diletakkan pada ukuran bagaimana kemampuan guru dalam mencerdaskan anak didiknya. Oleh sebab itu, sudah saatnya guru memiliki wibawa secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan intelektual di hadapan masyarakat, siswa, dan orangtua siswa tentunya.

Wibawa yang dimiliki oleh guru, akan menempatkan sosok guru yang dinilai, dihargai, dihormati sebagai sosok yang secara profesional pantas mendapatkan ya. Bukan karena kasihan, dan bukan karena hanya kesederhanaanya, dan juga bukan karena gelar 'pahlawan tanpa tanda jasa' yang melekat.

Dengan terbebasnya guru dari predikat semu, yaitu pahlawan tanpa tanda jasa, suatu saat nanti akan muncul guru yang benar-benar menjadi pahlawan, seperti halnya dokter, tentara, hakim, jaksa, advokat, yang mencurahkan hidupnya untuk mengabdi demi kepentingan peradaban dan tumpah darahnya yang kemudian pantas mendapat gelar menjadi pahlawan, seperti pahlawan-pahlawan lainnya yang kita kenang sebagai pahlawan. Jadi, posisi guru adalah profesi, yang semestinya profesional.

Secara manusiawi guru ada yang nakal, ada yang jahat juga. Oleh sebab itu, marilah kita bersama memposisikan guru sebagaimana profesi yang lain, tanpa memaksakan diri sebagai 'pahlawan tanpa tanda jasa'. Dengan demikian, kelak akan muncul 'Ki Hadjar Dewantara' abad modern yang mengabdikan diri pada dunia pendidikan. Selamat ulang tahun, Bapak-Ibu Guru Republik Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar