Respon Politik Hipersemiotik atas Kasus Penyadapan
W Riawan Tjandra ; Pengajar FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Pernah Visiting Scholar di Flinders Law School, Adelaide, South
Australia
|
KORAN SINDO, 28 November 2013
Aksi spionase suatu negara seharusnya dilawan dengan aksi
kontraspionase seperti aksi diplomasi juga dilawan dengan diplomasi.
Terbongkarnya kasus penyadapan yang sempat dilakukan intelijen Australia
selama 15 hari pada 2009 semasa Australia di bawah kepempimpinan PM Kevin
Rudd cukup mengguncang publik di Indonesia.
Pascapengungkapan kasus penyadapan intelijen
Australia, Defence Signals Directorate( DSD) yang kini bernama Australian
Signals Directorate akibat pembocoran informasi dari whistleblower asal AS, Edward Snowden, kepada Australian Broadcasting Corporation
(ABC) dan harian Inggris, The
Guardian, gerakan anti-Australia semakin meluas di negeri ini. Itu
diawali dengan reaksi keras Presiden SBY sebagai akibat kemarahannya
merespons informasi dari kedua media massa tersebut yang menyatakan bahwa
nama Presiden SBY, istri Presiden, dan sembilan orang dalam lingkaran
kekuasaannya menjadi target penyadapan Australia.
Reaksi keras tersebut tentu juga dipicu
respons dari PM Australia Tony Abott yang dinilai tidak bersedia meminta
maaf atas tindakan intelijen Negeri Kanguru tersebut yang terbongkar
pascapembocoran informasi oleh Edward Snowden. Hingga saat ini Indonesia
memang sedang berjuang bersama Brasil dan Jerman untuk mengajukan petisi
kepada PBB agar bersedia mengeluarkan aturan baku dan mengikat pada level
internasional yang dapat memberikan sanksi tegas terhadap aksi penyadapan
intelijen antarnegara.
Meskipun hukum nasional RI antara lain Pasal
40 UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi mengatur penyadapan baik yang
dilakukan WNI maupun WNA dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara,
itu masih terbentur regulasi internasional yang mengatur soal hubungan
diplomasi antarnegara. UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) memang membuka peluang dilakukan penyadapan. Namun, itu
hanya berlaku bagi aparat penegak hukum dalam rangka penyidikan di
antaranya kepolisian dan KPK.
Publik seperti dikomando untuk mendukung
langkahlangkah yang mengarah pada peninjauan ulang relasi diplomatik
RI-Australia. Pernyataan SBY di muka publik seakan-akan mampu merekonstruksi
energi “nasionalisme” dengan menyamaratakan kebijakan sebagian politisi
Australia di bawah rezim partai berkuasa dengan pandangan bangsa Australia
yang menyikapi kasus penyadapan itu secara beragam.
Hasil jajak pendapat dari harian terkemuka
Australia, Sidney Morning Herald
(SMH), menunjukkan bahwa sekitar 62% dari 10,717 responden di Negeri
Kanguru itu justru setuju agar Pemerintah Australia meminta maaf kepada
Pemerintah RI atas kejadian penyadapan yang baru terungkap saat ini
meskipun kejadian itu sesungguhnya dilakukan selama 15 hari pada 2009
semasa Australia di bawah rezim PM Kevin Rudd yang menjabat pada 2007–2010.
Alangkah berbedanya energi “nasionalisme”
sebagian elite tersebut dalam menyikapi berbagai praktik korupsi politik
yang kini menjerat pilarpilar triaspoliticadinegeri ini. Dalam pandangan
filsuf Baudrillard, reaksi sangat keras terhadap terbongkarnya kasus
penyadapan oleh dinas rahasia Australia pada 2009 itu terkesan telah
menjadi sebuah reaksi yang melampaui realitas (hiperrealitas) dan bahkan
bisa menjadi sebuah tanda yang menopengi realitas sesungguhnya (malefice atau sorcery).
Deretan peristiwa pengungkapan berbagai kasus
korupsi politik bisa mengalami antiklimaks akibat dipicu sebuah
“nasionalisme” yang dibangun di atas fondasi pasir: menciptakan lawan
bersama sambil mendongkrak kembali legitimasi sang politisi. Beragam
realitas politik yang terjadi di Negeri Kanguru seperti sikap mayoritas
publik. Australia yang mengecam tindakan penyadapan itu, reaksi keras
oposisi Australia terhadap respons politik rezim berkuasa di negara itu,
dan sejenisnya telah dikaburkan oleh hipersemiotika yang melampaui
representasi pertanda.
Politisi di dua negara bisa saling menumpangi
realitas kasus penyadapan menjadi sebuah realitas kedua dengan referensi
kepentingan politik masing-masing (simulacrum
of simulacrum). Tindakan menghentikan relasi diplomatik dengan
referensi hipersemiotika politik semacam itu justru mengorbankan
kepentingan bangsa yang lebih luas dari dua negara. (Elite politik) dua negara
perlu menyelesaikan kasus penyadapan itu dengan kepala dingin dan bijak.
Beberapa fenomena di atas menggambarkan kompleksitas permasalahan politik
di dalam negeri Australia yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam
mengambil kebijakan politik di Indonesia.
Obama tidak kesulitan untuk meminta maaf
kepada Pemerintah Jerman karena aksi penyadapan itu dilakukan semasa
jabatan efektifnya sebagai presiden. Hal yang berbeda dengan terbongkarnya
kasus penyadapan oleh intelijen Australia yang terjadi dalam rezim
kepemerintahan yang berbeda. Ini semestinya juga menjadi variabel
pertimbangan penting saat akan mengambil langkah politik bilateral dengan
Australia.
Respons hipersemiotik dalam kebijakan luar
negeri untuk membungkus persoalan dalam negeri Indonesia yang semakin pelik
akan mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih luas atas nama syahwat
(elite) politik dalam negeri yang ingin mendongkrak kembali popularitas
yang kian memudar dengan membangun fondasi pasir ”nasionalisme” para elite
politik! ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar