BEBERAPA bulan lagi menjelang Pemilu 2014, situasi
sosial politik Indonesia masih membingungkan. Korupsi besar-besaran selama
tahuntahun terakhir belum juga terselesaikan dengan tuntas.
Ketidaksabaran masyarakat tecermin dalam berbagai kerusuhan dan
komentar-komentar tajam yang mengiringi karena merasa opini publik tidak
dihiraukan. Terusmenerus dipertanyakan, siapa-siapa bertanggung jawab dan
seluas apa jaringannya. Padahal bila kita renungkan, kekacauan ini antara
lain akibat proses reformasi dan transformasi; suatu proses pembelajaran
yang tidak bisa kita hindari. Kepada kita semua, tanpa kecuali, dimintakan
komitmen moral untuk menangani.
Akhir pekan lalu, di depan temu Forum Lektor Regional
Jawa Timur di Universitas Brawijaya, Malang, Ketua Umum partai politik
NasDem, Surya Paloh, menyatakan bahwa kemandirian dan kecerdasan bangsa
bisa ditumbuhkan lewat pendidikan politik. Untuk itu, komitmen moral
diharapkan dari forum lektor tersebut.
Memang selama ini banyak yang memilih berdiri di pinggir
karena kisruhnya persaingan politik. Mungkin ada persepsi bahwa dunia
politik hanya diperuntukkan bagi politisi. Padahal sebenarnya untuk
pembenahan situasi, semua forum diharapkan ikut serta. Bila kita melalui
perjuangan bersama berhasil mengatasi penjajahan ratusan tahun demi
tegaknya kemerdekaan, lalu pada tahap kedua membenahi perekonomian yang
amburadul dengan semangat pembangunan yang kita usung bersama pula, mengapa
karut-marut masa reformasi tidak bisa kita benahi bersama? Dimintakan
kesadaran bersama, walaupun terutama oleh kalangan politik karena fungsinya
sebagai penjamin dan pelindung demokrasi.
Transisi menuntut pengorbanan
Transisi menuju perkembangan berikutnya selalu menuntut
pengorbanan. Itu kita alami dalam transisi dari Orde Lama ke Orde Baru,
lalu ke Orde Reformasi. Cepatlambatnya proses transisi dan pulihnya ketertiban
situasi tergantung pada tinggi-rendahnya pendidikan masyarakat, termasuk
pendidikan politiknya. Itu antara lain menjelaskan mengapa Indonesia
menjadi negara jajahan selama ratusan tahun; karena masyarakatnya belum
berkembang seperti sekarang dan mayoritas belum sadar akan pentingnya
pendidikan.
Kesadaran tentang perlunya perkembangan dimiliki
kelompok terdidik yang berpandangan jauh ke depan, yang berprakarsa
memelopori perubahan. Merekalah para pemimpin. Kita beruntung memiliki
kelompok founding fathers yang memungkinkan tegaknya kemerdekaan. Kesadaran
mereka atas perlunya pendidikan bagi masyarakat melahirkan keputusan untuk
menyisihkan 20% anggaran negara bagi pendidikan nasional.
Transisi dari negara dijajah menjadi negara merdeka
memerlukan pula kemampuan manajemen ketatanegaraan. Ini barangkali yang
paling sulit dalam proses tersebut. Yang diperlukan bukan hanya tingkat
pendidikan yang memadai, tetapi juga keterampilan untuk mengatasi situasi
sosial-politik dan ekonomi rakyat. Timbul rangkaian krisis manajemen sesuai
perkembangan situasi.
Mengenai manajemen, Prof D Daryl Wyckoff (1924-1972)
dari Harvard Business School,
pernah menggunakan analogi Bermuda Triangle untuk melukiskan betapa
fatalnya masa transisi bagi perusahaan kecil yang tiba-tiba membengkak dan
meluaskan operasinya. Dalam masa transisi timbul krisis manajemen, “The Bermuda Triangle of Management“.
Terjadi kesalahan-kesalahan fatal yang membuat perusahaan ambruk, tetapi
tidak jelas diketahui letak kesalahannya. Seperti kita tahu, Bermuda
Triangle telah mencemplungkan banyak pesawat terbang yang melintasinya dari
Eropa ke Amerika. Tempat musibah itu dianggap daerah transisi yang gawat,
namun para ahli penerbangan sulit mengetahui dengan pasti unsur-unsur
misterius yang menyebabkannya.
Dalam suatu ceramahnya di depan alumni Harvard Business School di Manila
pada Juni 1980, Profesor Wyckoff menyatakan banyak perusahaan sukses di
Asia ambruk karena kompleksitas usaha yang meningkat. Tantangan itu harus
dihadapi dengan manajemen gaya baru.
Isi ceramah Prof Wyckoff bisa menjadi rujukan untuk
transisi dari negara yang biasa dikuasai dan diurus asing tibatiba harus
diurus sendiri. Tantangan, skala dan kompleksitas tata kenegaraan dirasakan
makin meningkat sesuai dengan kemajuan bangsa maupun perkembangan dunia.
Ini menuntut para pemimpin untuk tidak henti-hentinya memperbarui sistem
manajemen negara agar sesuai dengan perkembangan demokrasi.
Kesadaran politisi
Komitmen moral tentu memerlukan kesiapan untuk
menjalankan manajemen perubahan. Seberapa luas ada kesadaran tentang itu?
Dalam rangka kampanye politik menuju Pemilu 2014, idealnya ada usaha untuk
menggerak kan komitmen moral, khususnya di kalangan terdidik yang sejauh
ini terkesan bersifat menunggu. Malahan ada sinyalemen bahwa golput dari
kelompok inilah yang jumlahnya terbesar. Mereka memilih berdiri di pinggir
karena nurani dan pemikiran mereka tidak mampu menggapai apa sebenarnya
yang diinginkan kalangan politisi, yang mungkin saja tidak sadar benar apa
yang mereka inginkan. Apakah kemenangan demi nemenuhi keinginan mereka atau
demi kekuasaan semata? Atau kemenangan mereka perjuangkan untuk
menyampaikan aspirasi yang mencerminkan kehendak rakyat?
Beberapa bulan menuju Pemilu 2014 menjadi tantangan bagi
kaum politisi untuk membuktikan kejujuran niat baiknya. Bukan malahan
dengan mempertunjukkan kelihaian mengakali rakyat demi keuntungan pribadi
maupun kelompok, seperti yang dipertontonkan secara dramatis sebagian
oknumnya sejauh ini. Pemilu 2014 diharapkan bisa menjadi peristiwa pertobatan
bagi politisi curang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar