Sabtu, 30 November 2013

Bisik-Bisik Tetangga

Bisik-Bisik Tetangga
Ahmad Taufik  ;  Dosen STIKOM Bandung
TEMPO.CO,  29 November 2013
  


Judul di atas mengingatkan kita akan lagu penyanyi dangdut Elvie Sukaesih. Dan relevan dengan heboh penyadapan Australia terhadap percakapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Penyadapan bukanlah barang baru. Zaman dulu terkenal istilah "tembok bisa mendengar". Begitulah yang terjadi pada masa negara otoriter atau di bawah kekuasaan militer, sehingga suara-suara kritis, senyap. Itulah cara pembungkaman yang pernah terjadi di bawah rezim Soeharto. Dalam senyap itulah berkembang pers bawah tanah, bisa berupa cetak tanpa izin, radio, atau televisi dengan frekuensi liar. 

Istilah "tembok bisa mendengar" juga berlaku di dalam penjara, sehingga tak banyak narapidana bicara macam-macam. Karena omongan yang sampai ke telinga sipir, bisa berakibat hukuman, bisa berupa pengasingan, atau kesulitan berbagai urusan. Tak salah jika tahanan politik pun senyap saat mendekam dalam penjara.

Dalam politik, kriminalitas curi dengar itu disebut penyadapan. Apa pun cara dan teknologinya, itu cuma perbuatan primitif. Mulanya dari pengakuan informan lalu melaporkan kepada pihak yang ingin melakukan tindakan. Lalu penyadapan lewat telepon biasa. Pernah, polisi menggunakan pembicaraan atau pesan dalam pager sebagai barang bukti dalam sidang peradilan.

Perkembangan selanjutnya, dalam kasus Nazaruddin atau Metta Dharmasaputra (lihat buku Saksi Mata), pesan pendek dalam BlackBerry atau telepon seluler menjadi alat bukti dan pengembangan kasus. Yang paling heboh, saat penyadapan Anggodo yang disiarkan secara luas di depan sidang di Mahkamah Konstitusi. Bahkan hal itu berakibat menyeret sejumlah orang ke pengadilan, seperti pejabat polisi Susno Duaji, serta berdampak dipecatnya dua komisioner LPSK.

Dalam film-film spionase, sadap-menyadap adalah hal biasa, antar-individu, lembaga, atau negara. Namun banyak negara berang saat Julian Assange menyebarkan bocoran sadapan lewat WikiLeaks. Seperti Assange, hal yang sama terjadi pada Edward Snowden, ahli komputer bekas pegawai intelijen Amerika (CIA) yang kini diburu pemerintah Amerika Serikat.

Penyadapan kini menjadi heboh, lantaran SBY tersinggung. Padahal yang disadap bukanlah barang baru, percakapan pada 2009. Pastinya, penyadapan tidak hanya dilakukan Australia, tapi juga negara-negara lain yang melihat Indonesia sebagai negara strategis dan berpotensi menjadi ancaman. Mereka adalah Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia.

Namun penyadapan oleh Australia itu dijadikan alat untuk membangkitkan sentimen kebangsaan. Bahkan lewat kelompok yang selama ini terkenal intoleran. Apalagi diketahui Australia merupakan penyokong utama dana anti-terorisme. Teganya SBY, yang kekuasaannya tinggal beberapa bulan lagi, memanfaatkan isu ini.

Memang ada pelanggaran etika dalam diplomatik. Tapi bukankah lebih penting berbuat untuk memberantas kemiskinan, korupsi, atau mengurusi pendidikan dan kesehatan ketimbang mengurusi ketersinggungan pribadi? Kalaupun ada yang disadap dari SBY, nyatanya kini terbongkar berbagai korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Terutama yang berhubungan dengan Australia: korupsi impor sapi dan dana terorisme (lihat tayangan dateline di TV Australia, karya David O'shea, Inside Indonesia War and Teror).

Semoga penyadapan ini bukan sekadar bisik-bisik tetangga dan cuma jadi desas-desus; bisa menjadi sesuatu yang berguna, jika jelas masalah yang disadap. Nah, tugas jurnalismelah untuk membuatnya menjadi terang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar