Seperti sering saya
katakan, setiap kali pulang kampung saya selalu diajak rerasan mengenai
segala hal, dianggap saya tahu segala hal. Padahal, siapa artis-artis
sinetron paling populer sekarang pun, saya tidak tahu. Seandainya berpapasan
di mal, mereka di depan hidung saya telanjang sekalipun, saya tak akan
mengenali. Para pekerja rumah tangga dan sanak-saudara di kampung dijamin
lebih tahu dari saya.
Salah satu sepupu saya sangat suka bicara
politik. Cita-citanya jadi lurah. Dia bertanya kenapa para koruptor banyak bolo-nya. Bolo artinya teman, kelompok
(kalau tidak ingin menyebut gerombolan), sekutu. Dilanjutkannya dengan
berujar sendiri, kenapa kalau melihat pengacara bicara di televisi, katanya
kepalanya jadi mumet, pusing, dunia serasa jungkir balik. Para pengacara
juga dikomentarinya sebagai sangat mewah. Cincin dan arlojinya bertatah
berlian.
”Mumet
ndasku nek weruh pengacara ngomong,” ucapnya.
Itulah yang saya nikmati di kampung.
Bahasa mereka otentik, spontan, sarkas. Kadang saya terbawa ngawur.
”Kamu tahu Veblen?” tanya saya.
”Sopo
kuwi?” ia bertanya dalam bahasa Jawa, artinya siapa dia.
”Pemikir. Kamu mau jadi lurah harus tahu.
Tahun 1800-an ketika di Jawa zaman tanam paksa, dia sudah bikin buku, The
Theory of Leisure Class,” jawab saya.
”Saya tidak perlu bahasa Inggris.
Orang-orang kampung tidak ngerti. Saya cuma pengin jadi lurah ndeso,
bukan presiden. Bahasa Jawa saja,” sergahnya.
Dengan bahasa Jawa saya katakan padanya,
bahwa dasar pemikiran Veblen sederhana, yakni orang mengukur kemakmuran dan
kekuasaan berdasar uang. Dalam istilah Veblen, ”pecuniary
power” (yang ini tidak
saya terjemahkan, karena jujur saya tidak tahu apa terjemahannya paling
tepat. Biar saja dia bingung). Itu sebabnya mengapa koruptor banyak bolo-nya.
”Semua kecipratan uang...” komentarnya.
Ya, jawab saya. Sedangkan pengacara harus
tampil mewah, karena itu tanda dia telah sukses, telah laku. Kalau belum
laku, jadi LSM.
Saudara saya tertawa terkekeh-kekeh.
”Pertama memberi, kemudian mengambil...”
ucapnya. Diam-diam saya akui kecerdasannya.
”Kamu tahu philanthropy?”
tanya saya. Dia menggelengkan kepala. Saya terangkan, philanthropy adalah semangat untuk
memberi. Nah, semangat itu kadang dimanipulasi, memberi terlebih dahulu,
belakangan mengambil lebih banyak. Mekanisme politik di Indonesia berjalan
seperti itu. Siapa pun yang ingin menjadi pegawai negeri, wakil rakyat,
penguasa, akan mengobral janji serta uang, sebelum nantinya mereka
mengambil lagi berlipat-lipat banyaknya, sampai triliunan.
Semenjak sukses, kemakmuran, serta
kekuasaan dasarnya uang, maka perolehan uang dengan sendirinya harus
diperlihatkan. Ini berlaku untuk
siapa saja, dari pendangdut, pengkhotbah, CEO, penguasa, dan lain-lain.
Wujudnya bisa rumah mewah, mobil mewah, termasuk tubuh yang dijadikan
etalase kemakmuran. Mereka bungkus tubuh dengan barang-barang bermerek dan
perhiasan gemerlapan.
”Padahal kalau mati itu semua tak
dibutuhkan,” kata dia, mengutip nasihat klise.
”Itu soal pelepasan. Pertanyaannya, mana
lebih mudah, mencari atau melepaskan?”
Ia berpikir sejenak.
”Kayaknya lebih mudah mencari. Apalagi
kalau melihat nasihat para pembangkit motivasi di televisi. Pesertanya
mendengar sambil berteriak-teriak girang dan penuh semangat. Untuk jadi
kaya kemudian bahagia sepertinya gampang banget,” ucapnya.
Pembicaraan di kampung bisa merembet ke
mana-mana seperti itu. Sama sekali tidak sistematik dan terpola seperti di
kalangan akademik, ataupun di antara pemikir-pemikir pintar di ruang-ruang
seminar.
”Bagaimana tidak disebut lebih mudah
mencari. Orang miskin diajari tinggal mengemis, antre meminta bantuan
langsung tunai,” katanya melanjutkan.
”Kamu ikut antre?” tanya saya.
”Tidak,” jawabnya. ”Aku ingat kata-kata
penyair, yang suka kamu ucapkan dulu.”
”Apa itu?” saya sudah lupa pernah
mengucapkan apa padanya.
”Gagah dalam kemiskinan...” ia mengutip
Rendra.
Saya tertawa. Mudah-mudahan dia jadi
lurah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar