Senin, 25 November 2013

London pun Macet

London pun Macet
Sunaryono Basuki  ;  Alumnus Lancaster University
TEMPO.CO,  25 November 2013
  


Kota metropolitan London yang punya jaringan bawah tanah (underground) sampai ke tepi kota pun tak bebas dari masalah kemacetan lalu lintas. Lihat saja transportasi dengan bus kota di ruas jalan tertentu di pusat kota seperti di Bond Street. Jadi, kalau tidak mau terjebak kemacetan, pakai fasilitas bawah tanah yang bebas dari macet, tapi tidak bebas dari ancaman bom kaum teroris. Kalau pintu masuk bawah tanah dijaga polisi, sebaiknya kita menjauh dan mencari angkot seperti bus, atau kalau banyak uang, naik taksi.

Nyamannya menggunakan fasilitas transportasi ialah kita bisa membeli satu tiket harian dan bepergian ke mana saja. Cuma, untuk bertindak adil kepada pengguna tiket tarif normal yang kebanyakan karyawan yang bepergian dengan bawah tanah, tiket murah itu baru bisa digunakan mulai pukul 10.00 pagi. Kita bisa menggunakan tiket ini untuk bepergian dengan bawah tanah, dengan bus, dan bahkan dengan kereta api biasa yang dapat menjangkau stasiun-stasiun kereta api terjauh di Kota London. Tentu saja dengan fasilitas pengecekan tiket yang tersedia di mana-mana.

Senangnya bepergian di Inggris, kita tidak perlu berpikir untuk turun di stasiun tertentu untuk membeli tiket. Saya pernah bepergian dengan kereta api dari sebuah desa, dan sebagaimana desa-desa lain yang dilintasi kereta api, Desa Marske-by the Sea tidak punya stasiun kereta api. Yang ada hanya sebuah pemberhentian kecil. Begitu naik ke atas kereta, saya ditanya, "Ticket, please." Bukan diminta menunjukkan karcis saya, tetapi lebih bermakna, "Mau pergi ke mana."

Saya menyebutkan stasiun tujuan saya, yakni kota yang jauh. Lalu dengan mesin karcisnya, dia menuliskan alamat tujuan saya, maka keluarlah tiket dan harga tiket. Tiket itu saya gunakan untuk menumpang kereta ini sampai di Stasiun Cleveland yang lebih besar. Dari Cleveland, saya melaju ke London. Dari situ saya menumpang ke stasiun yang lain di London, lalu menuju ke stasiun kereta api di Canterbury, tempat tinggal saya. Semua dengan memegang hanya satu tiket, yang dikeluarkan oleh kondektur kereta dari mesin tiket yang tergantung di lehernya. Saya tidak perlu berhenti di stasiun untuk beli tiket.

Entah perlu berapa (puluh) tahun lagi Indonesia dapat menerapkan sistem tiket semacam ini. Bus Transjakarta memang tak bisa diharapkan dapat mengurai kemacetan di Jakarta. Kita harus tak hanya belajar dari London dan Paris dengan underground dan metro, tapi juga terutama dari negeri tetangga, seperti MRT di Singapura dan Malaysia, yang mampu menyediakan fasilitas transportasi yang nyaman dan aman. Ketika menumpang bus di Singapura, teman saya, Larry Ser, mengatakan bahwa saya tak perlu khawatir kecopetan seperti di Jakarta.

Puluhan tahun ke depan, bila Jakarta sudah punya kereta api bawah tanah, punya monorel dan jumlah bus Transjakarta memadai, maka dapat diharapkan kemacetan di Jakarta diurai. Apalagi bila megaproyek membangun tembok raksasa yang membendung air laut Jakarta agar tak menerjang Ibu Kota selesai, maka warga Jakarta bisa tidur lelap tidak dikejar banjir besar yang datang setiap tahun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar