Kota
metropolitan London yang punya jaringan bawah tanah (underground) sampai ke tepi kota pun tak bebas dari masalah
kemacetan lalu lintas. Lihat saja transportasi dengan bus kota di ruas
jalan tertentu di pusat kota seperti di Bond Street. Jadi, kalau tidak mau
terjebak kemacetan, pakai fasilitas bawah tanah yang bebas dari macet, tapi
tidak bebas dari ancaman bom kaum teroris. Kalau pintu masuk bawah tanah
dijaga polisi, sebaiknya kita menjauh dan mencari angkot seperti bus, atau
kalau banyak uang, naik taksi.
Nyamannya menggunakan fasilitas transportasi ialah kita bisa membeli satu
tiket harian dan bepergian ke mana saja. Cuma, untuk bertindak adil kepada
pengguna tiket tarif normal yang kebanyakan karyawan yang bepergian dengan
bawah tanah, tiket murah itu baru bisa digunakan mulai pukul 10.00 pagi.
Kita bisa menggunakan tiket ini untuk bepergian dengan bawah tanah, dengan
bus, dan bahkan dengan kereta api biasa yang dapat menjangkau
stasiun-stasiun kereta api terjauh di Kota London. Tentu saja dengan
fasilitas pengecekan tiket yang tersedia di mana-mana.
Senangnya bepergian di Inggris, kita tidak perlu berpikir untuk turun di
stasiun tertentu untuk membeli tiket. Saya pernah bepergian dengan kereta
api dari sebuah desa, dan sebagaimana desa-desa lain yang dilintasi kereta
api, Desa Marske-by the Sea tidak punya stasiun kereta api. Yang ada hanya
sebuah pemberhentian kecil. Begitu naik ke atas kereta, saya ditanya,
"Ticket, please." Bukan diminta menunjukkan karcis saya, tetapi
lebih bermakna, "Mau pergi ke mana."
Saya menyebutkan stasiun tujuan saya, yakni kota yang jauh. Lalu dengan mesin
karcisnya, dia menuliskan alamat tujuan saya, maka keluarlah tiket dan
harga tiket. Tiket itu saya gunakan untuk menumpang kereta ini sampai di
Stasiun Cleveland yang lebih besar. Dari Cleveland, saya melaju ke London.
Dari situ saya menumpang ke stasiun yang lain di London, lalu menuju ke
stasiun kereta api di Canterbury, tempat tinggal saya. Semua dengan
memegang hanya satu tiket, yang dikeluarkan oleh kondektur kereta dari
mesin tiket yang tergantung di lehernya. Saya tidak perlu berhenti di
stasiun untuk beli tiket.
Entah perlu berapa (puluh) tahun lagi Indonesia dapat menerapkan sistem
tiket semacam ini. Bus Transjakarta memang tak bisa diharapkan dapat
mengurai kemacetan di Jakarta. Kita harus tak hanya belajar dari London dan
Paris dengan underground dan metro, tapi juga terutama dari negeri
tetangga, seperti MRT di Singapura dan Malaysia, yang mampu menyediakan
fasilitas transportasi yang nyaman dan aman. Ketika menumpang bus di
Singapura, teman saya, Larry Ser, mengatakan bahwa saya tak perlu khawatir
kecopetan seperti di Jakarta.
Puluhan tahun ke depan, bila Jakarta sudah punya kereta api bawah tanah,
punya monorel dan jumlah bus Transjakarta memadai, maka dapat diharapkan
kemacetan di Jakarta diurai. Apalagi bila megaproyek membangun tembok raksasa
yang membendung air laut Jakarta agar tak menerjang Ibu Kota selesai, maka
warga Jakarta bisa tidur lelap tidak dikejar banjir besar yang datang
setiap tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar