Menyambut FFI 2013

Menyambut FFI 2013 Kemala Atmojo  ;   Juri Film Pendek FFI 2013

TEMPO.CO,  23 November 2013

Festival Film Indonesia (FFI) 2013 tak lama lagi, tepatnya Sabtu, 7 Desember 2013, akan digelar di Semarang. Semestinya acara ini tak hanya menjadi ajang apresiasi dan kompetisi, tapi juga arena diskusi. Ada banyak hal yang bisa dibicarakan demi kemajuan film nasional. Beberapa di antaranya: Pertama, dampak meluasnya penggunaan Internet dan era digital. Kita tahu, era digital tidak saja menghantam industri media cetak, tapi juga melanda industri film. Dalam industri perfilman, era digital ini pertama-tama menghantam produsen pita seluloid di luar negeri. Kemudian secara masif mengubah pola produksi, usaha post-production, jasa penggandaan, dan kemudian teknologi penayangan film di bioskop.      Namun kemajuan teknologi ini juga menciptakan peluang baru. Bagi industri ekshibisi (bioskop), mengganti peralatan proyektor adalah sebuah keniscayaan. Saat ini, nyaris tak ada lagi film, baik lokal maupun internasional, yang diproduksi dengan menggunakan pita seluloid 35 mm. Untuk film asing, barang yang didatangkan pun tidak lagi berupa gulungan pita dalam kaleng, melainkan sudah berupa digital cinema package (DCP). Dari sisi ekonomi, perubahan ini menyenangkan bagi investor, sutradara, dan produser. Sebagai contoh, adanya penghematan pada biaya copy film. Jika sebelumnya produser harus mengalokasikan dana Rp 15 juta per copy, kini biaya itu nyaris nol. Maka, jika dikalikan rata-rata 30 copy per judul film, sang produser bisa menghemat Rp 450 juta. Pengematan pada bagian-bagian lainya juga bisa dinikmati.  Sayangnya, kemajuan teknologi dan penghematan biaya ini tidak membuat sebagian besar film kita menjadi lebih baik. Lalu apa dampaknya? Jumlah produksi film memang meningkat. Namun tren jumlah penonton cenderung menurun. Kita ambil contoh dalam beberapa tahun belakangan. Dalam hal produksi, jumlah film nasional yang tayang di bioskop menunjukkan perkembangan yang lumayan bagus. Pada 2000, misalnya, hanya ada 2 judul film nasional yang beredar, lalu meningkat terus dari tahun ke tahun menjadi 3 judul (2001), 13 judul (2002), 13 judul (2003), 22 judul (2004), 31 judul (2005), 32 judul (2006), 47 judul (2006), 81 judul (2008), 82 judul (2009), 81 judul (2010), 80 judul (2011), dan 84 judul (2012). Sampai akhir 2013, mungkin angka produksi masih dalam kisaran yang sama.  Menurut catatan penulis, jumlah film yang mampu menembus angka 1 juta penonton sangat sedikit. Beberapa yang mampu menembus angka 1 juta penonton ke atas pada periode 2009-2013 adalah Garuda di Dadaku (2009); Ketika Cinta Bertasbih (2009); Get Married 2, Sang Pemimpi (2009); Air Terjun Pengantin (2010); Sang Pencerah (2010); The Raid (2012); 5 CM (2012); serta Habibie & Ainun (2013). Adapun sebagian besar film lainnya berada dalam kisaran 200 ribu penonton ke bawah.  Catatan kedua, masalah eksplorasi tema. Kenapa, misalnya, film kita jarang sekali menampilkan tema politik, hukum, ekonomi, atau kedokteran yang digarap secara menarik? Apa masalahnya? Kenapa para ahli di bidang-bidang ilmu-ilmu lain tidak berminat menulis skenario? Sesekali memang muncul tema baru yang menarik dari salah satu produser, tapi segera saja diikuti pengambilan tema serupa oleh para produser lain. Sebagian besar produser kita memang hanya senang menjadi follower.  Tema hukum, misalnya, termasuk sedikit sekali digarap oleh sineas Indonesia. Padahal, persoalan hukum di Indonesia tak kalah menariknya dengan masalah hukum di belahan dunia lain. Sesungguhnya banyak film bertema hukum yang sangat menarik untuk ditonton dan sukses di pasar. Film hukum ini bisa mengisahkan manusia yang mencari keadilan, perjuangan seorang pengacara membela kebenaran, kisah-kisah menarik yang bersinggungan dengan peradilan, dan seterusnya. Di Indonesia, beberapa film yang berkaitan dengan tokoh, masalah, dan proses hukum pernah muncul. Sebut saja, misalnya, Amalia SH, Perawan Desa, Srigala Terakhir, dan Marsinah. Sayang, jumlahnya masih sedikit dan penggarapannya terasa kurang maksimal.  Ketiga, masalah kejelasan porsi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kita ketahui bersama, kedua kementerian ini sangat sering mengadakan kegiatan yang kurang lebih sama. Keduanya mengadakan seminar, workshop, apreasiasi, bahkan kompetisi. Secara konsep memang sudah tampak jelas, bahwa Kemdikbud lebih berkonsentrasi pada urusan di hulu (peningkatan sumber daya manusia dan lain-lain), sedangkan Kemparekraf berfokus pada urusan di hilir (produksi, festival, promosi, dan lain-lain). Namun, dalam prakteknya, kedua kementerian ini tampak saling berebut jatah.  Mudah-mudahan, dari ajang FFI 2013, bisa dilahirkan pemikiran yang obyektif dan rasional demi kemajuan film Indonesia.  Selamat berfestival! ●