Sabtu, 30 November 2013

Kepentingan Indonesia di WTO


Kepentingan Indonesia di WTO
M Riza Damanik  ;  Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice
KOMPAS,  30 November 2013



SETELAH berhasil menjadi penyelenggara dua perhelatan berskala internasional: Miss World dan APEC 2013, berikutnya 3-6 Desember Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri IX WTO. Kali ini, adakah kepentingan Indonesia hendak dimenangkan?

Secara teknis, menjadi tuan rumah WTO di tengah situasi defisit neraca perdagangan dan anggaran belanja negara tentulah menjadi kurang bijak dan serba percuma. Itu karena, merujuk ongkos penyelenggaraan KTM VI 2005, Pemerintah Hongkong menghabiskan sekitar 256 juta dollar Hongkong, sedangkan kontribusi sekretariat WTO diperkirakan kurang dari 30 juta dollar Hongkong. Meski tidak ada angka pasti alokasi biaya yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk empat hari konferensi di Bali, dipastikan jumlahnya lebih besar dari Hongkong!

Begitu pun masalahnya secara substansi. Konferensi dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan 159 negara anggota WTO terhadap sistem perdagangan multilateral. Langkah ini dianggap perlu untuk merespons pertumbuhan ekonomi dunia yang sedang melambat. Namun, hingga akhir perundingan di Geneva, Swiss, (26/11), justru gagal membawa rasa keadilan.

Minus keadilan

Terdapat tiga isu kunci yang hendak dituntaskan dalam formula Paket Bali. Pertama, fasilitas perdagangan, yang bertujuan memudahkan akses pasar ekspor-impor melalui standardisasi prosedur kepabeanan dan sanksi. Merujuk pada World Trade Report (2013), tren pembengkakan impor negara berkembang terus berlangsung. Bahkan pada 2012, ketika persentase pertumbuhan impor di negara-negara maju minus 0,1 persen, pertumbuhan impor di negara berkembang masih berkisar 4,6 persen.

Kenyataan masih rendahnya daya saing, penguasaan teknologi, dan standardisasi produk di negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Lalu, buruknya komitmen negara maju memberikan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas. Jadi, isu fasilitas perdagangan (lebih) memperlancar arus barang dari negara maju ke negara-negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk kepada 240 juta rakyat Indonesia.

Kedua, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang. Sebanyak 53 negara kurang berkembang berharap mendapatkan perlakuan khusus, berupa: duty free-quota free, ketentuan surat keterangan asal, dan kemudahan akses pasar jasa ke negara maju. Sebaliknya, negara maju hanya menjanjikan paket ini dengan komitmen rendah dan tidak mengikat (voluntary).

Isu terakhir dan paling kontroversial akhir-akhir ini adalah pertanian. Sebanyak 46 negara anggota G-33 mengusulkan penghapusan ketentuan WTO yang membatasi negara berkembang memberi subsidi bagi sektor pertanian, khususnya untuk kepentingan keamanan pangan dan cadangan pangan domestik. Jika saja proposal ini disetujui: upaya mempercepat kesejahteraan petani dan nelayan, meningkatkan produksi pangan lokal, termasuk mengurangi ketergantungan pangan impor di negara berkembang dapat tercapai.

Celakanya, negara maju justru melakukan serangan balik dengan menawarkan skema peace clause. Skema itu memberi batas waktu tertentu (baca: hanya 4 tahun) bagi negara berkembang untuk boleh memberi subsidi kepada pertanian domestiknya.

Jadi, berbeda dengan Gita Wirjawan dalam tulisannya ”KTM Ke-9 WTO dan Paket Bali” (Kompas, 19/11), saya justru berpendapat Paket Bali tidak akan memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia ataupun rakyat di negara-negara berkembang dan kurang berkembang yang lain.

Kepentingan Indonesia?

Kerja sama luar negeri yang baik haruslah dalam kerangka mengarusutamakan kepentingan nasional Indonesia (national interest), termasuk di antaranya: mengentaskan rakyat dari kemiskinan, menambah lapangan pekerjaan, menjaga kelestarian lingkungan, serta mewujudkan ketertiban dan keadilan global.

DPR perlu segera memanggil Menteri Perdagangan Gita Wirjawan selaku Ketua Panitia Nasional KTM IX WTO. Lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Djoko Suyanto, serta Menko Kesra Agung Laksono, yang masing-masing ditunjuk Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2013 sebagai tim pengarah.

Pasalnya, baik secara teknis maupun substansial, hampir mustahil konferensi WTO dapat memberi manfaat bagi rakyat Indonesia. Karena itu, DPR perlu memastikan agar pemerintah tak menandatangani rumusan Paket Bali. Dan, segera mengambil inisiatif untuk mengajak negara-negara yang hadir merumuskan alternatif sistem perdagangan multilateral, dengan prinsip: solidaritas, saling melengkapi, dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Tanpa keberanian itu, komitmen Pemerintahan SBY di Bali hanya akan memberi dampak buruk kepada rakyat dan pemerintahan setelah Pemilu 2014. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar