SETELAH berhasil menjadi
penyelenggara dua perhelatan berskala internasional: Miss World dan APEC 2013,
berikutnya 3-6 Desember Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi
Tingkat Menteri IX WTO. Kali ini, adakah kepentingan Indonesia hendak
dimenangkan?
Secara teknis, menjadi tuan
rumah WTO di tengah situasi defisit neraca perdagangan dan anggaran belanja
negara tentulah menjadi kurang bijak dan serba percuma. Itu karena, merujuk
ongkos penyelenggaraan KTM VI 2005, Pemerintah Hongkong menghabiskan
sekitar 256 juta dollar Hongkong, sedangkan kontribusi sekretariat WTO
diperkirakan kurang dari 30 juta dollar Hongkong. Meski tidak ada angka
pasti alokasi biaya yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk empat hari
konferensi di Bali, dipastikan jumlahnya lebih besar dari Hongkong!
Begitu pun masalahnya secara
substansi. Konferensi dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan 159
negara anggota WTO terhadap sistem perdagangan multilateral. Langkah ini
dianggap perlu untuk merespons pertumbuhan ekonomi dunia yang sedang
melambat. Namun, hingga akhir perundingan di Geneva, Swiss, (26/11), justru
gagal membawa rasa keadilan.
Minus keadilan
Terdapat tiga isu kunci yang
hendak dituntaskan dalam formula Paket Bali. Pertama, fasilitas
perdagangan, yang bertujuan memudahkan akses pasar ekspor-impor melalui
standardisasi prosedur kepabeanan dan sanksi. Merujuk pada World Trade
Report (2013), tren pembengkakan impor negara berkembang terus berlangsung.
Bahkan pada 2012, ketika persentase pertumbuhan impor di negara-negara maju
minus 0,1 persen, pertumbuhan impor di negara berkembang masih berkisar 4,6
persen.
Kenyataan masih rendahnya daya
saing, penguasaan teknologi, dan standardisasi produk di negara-negara
berkembang dan kurang berkembang. Lalu, buruknya komitmen negara maju
memberikan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas. Jadi, isu fasilitas
perdagangan (lebih) memperlancar arus barang dari negara maju ke
negara-negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk kepada 240 juta
rakyat Indonesia.
Kedua, paket pembangunan untuk
negara kurang berkembang. Sebanyak 53 negara kurang berkembang berharap
mendapatkan perlakuan khusus, berupa: duty free-quota free, ketentuan
surat keterangan asal, dan kemudahan akses pasar jasa ke negara maju.
Sebaliknya, negara maju hanya menjanjikan paket ini dengan komitmen rendah
dan tidak mengikat (voluntary).
Isu terakhir dan paling kontroversial
akhir-akhir ini adalah pertanian. Sebanyak 46 negara anggota G-33
mengusulkan penghapusan ketentuan WTO yang membatasi negara berkembang
memberi subsidi bagi sektor pertanian, khususnya untuk kepentingan keamanan
pangan dan cadangan pangan domestik. Jika saja proposal ini disetujui:
upaya mempercepat kesejahteraan petani dan nelayan, meningkatkan produksi
pangan lokal, termasuk mengurangi ketergantungan pangan impor di negara
berkembang dapat tercapai.
Celakanya, negara maju justru
melakukan serangan balik dengan menawarkan skema peace clause. Skema
itu memberi batas waktu tertentu (baca: hanya 4 tahun) bagi negara
berkembang untuk boleh memberi subsidi kepada pertanian domestiknya.
Jadi, berbeda dengan Gita
Wirjawan dalam tulisannya ”KTM Ke-9 WTO dan Paket Bali” (Kompas, 19/11),
saya justru berpendapat Paket Bali tidak akan memberikan keadilan bagi
rakyat Indonesia ataupun rakyat di negara-negara berkembang dan kurang
berkembang yang lain.
Kepentingan Indonesia?
Kerja sama luar negeri yang baik
haruslah dalam kerangka mengarusutamakan kepentingan nasional Indonesia
(national interest), termasuk di antaranya: mengentaskan rakyat dari
kemiskinan, menambah lapangan pekerjaan, menjaga kelestarian lingkungan,
serta mewujudkan ketertiban dan keadilan global.
DPR perlu segera memanggil
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan selaku Ketua Panitia Nasional KTM IX WTO.
Lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Djoko Suyanto, serta
Menko Kesra Agung Laksono, yang masing-masing ditunjuk Presiden melalui Keputusan
Presiden Nomor 15 Tahun 2013 sebagai tim pengarah.
Pasalnya, baik secara teknis
maupun substansial, hampir mustahil konferensi WTO dapat memberi manfaat
bagi rakyat Indonesia. Karena itu, DPR perlu memastikan agar pemerintah tak
menandatangani rumusan Paket Bali. Dan, segera mengambil inisiatif untuk
mengajak negara-negara yang hadir merumuskan alternatif sistem perdagangan
multilateral, dengan prinsip: solidaritas, saling melengkapi, dan
keberlanjutan lingkungan hidup.
Tanpa keberanian itu, komitmen
Pemerintahan SBY di Bali hanya akan memberi dampak buruk kepada rakyat dan
pemerintahan setelah Pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar