Sabtu, 30 November 2013

Pancasila, NU, dan Perdamaian Afghanistan

Pancasila, NU, dan Perdamaian Afghanistan
Muhammad Ibrahim Hamdani  ;  Staf Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia
OKEZONENEWS,  29 November 2013
  


Sebagai dasar negara Republik Indonesia (RI) Pancasila ternyata diakui keunggulannya sebagai alat pemersatu sekaligus penjamin pluralitas bangsa oleh negara-negara asing, termasuk sejumlah alim ulama di Afghanistan. 

Bahkan 12 orang ulama terkemuka dari 12 provinsi di Afghanistan merasa perlu untuk mempelajari fugsi dan tujuan pokok Pancasila tersebut hingga rela jauh-jauh datang ke Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta guna mempelajari hal ihwal Pancasila melalui dialog konstruktif dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM.

Para ulama Afghanistan yang dipimpin oleh Dr. Fazal Ghani dan pengurus PBNU yang dipimpin oleh Dr. Abdul Mun’im tiba di kampus UGM pada 19 September 2013 dan langsung disambut oleh Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc. Dalam sambutannya beliau menyatakan: “Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, masyarakat Muslim Indonesia bisa berdampingan dengan Non-Muslim. Bahkan Borobudur dan Prambanan adalah peninggalan agama Budha dan Hindu di sini” (19/9/2013).

Rektor UGM juga menerangkan bahwa Kampus UGM adalah kampus terbuka yang menampung anak-anak muda dari berbagai agama, suku dan budaya serta memiliki mandat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan bangsa.
 
“UGM juga diberi mandat untuk menjaga kebudayaan, toleransi dan multikultural. Karena itu di sini ada Pusat Studi Pancasila (PSP), Program Studi Lintas Agama dan Budaya (PSLAB) dan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP),” ujar Rektor UGM (19/9/2013).

Dengan demikian UGM memandang kedatangan para pihak tersebut sebagai suatu kesempatan yang baik untuk mempromosikan nilai-nilai universal Pancasila kepada dunia sekaligus memperkenalkan UGM sebagai kampus yang turut aktif menjaga pluralitas bangsa dan perdamaian dunia.

Menanggapi hal ini Wakil Sekretari jenderal (Wasekjend) PBNU, Dr. Abdul Mun’im, menyatakan bahwa 12 ulama tersebut ingin mengetahui lebih dalam tentang Pancasila yang diyakini sebagai alat pemersatu masyarakat Indonesia, yang dikenal sangat majemuk, sehingga dapat hidup rukun dan damai. 

“Mereka tahu Indonesia bisa rukun karena Pancasila. Mereka ingin belajar, karena mereka yang hanya punya satu agama saja tidak bisa rukun dan saling bertengkar,” ujar Wasekjend PBNU  itu di sela-sela acara (19/9/2013).

Dr. Fazal Ghani, pimpinan rombongan ulama Afghanistan, mengklarifikasi bahwa situasi masyarakat tidaklah seperti yang diberitakan oleh media-media asing yang menyebutkan masih adanya perang, bom bunuh diri dan konflik antarkelompok bertikai. Bahkan setiap ulama selalu menyampaikan pesan pentingnya menjaga perdamaian.
“Sesama ulama kita selalu mengajak semua ulama bersatu dan memberi pengertian agar rakyat juga ikut bersatu. Mayoritas rakyat Afghanistan cinta damai, namun masuknya negara asinglah yang menjadikan konflik antarkelompok di Afghanistan tidak pernah usai. Bahkan negara luar tersebut berkompetisi memperebutkan sumber ladang minyak dan gas bumi,” ujar Dr. Fazal Ghani (19/9/2013).

Dengan kata lain situasi konflik terjadi akibat campur tangan negara-negara asing yang terus-menerus mengadu domba masyarakat Afghanistan demi kepentingan mereka sendiri, khususnya perebutan konsesi terhadap hak pengelolaan sumber ladang minyak dan gas bumi. Rakyat Afghanistan yang cinta damai tidak mungkin saling berperang, berkonflik dan melakukan bom bunuh diri jika tidak ada hasutan dari negara-negara asing. Apalagi peristiwa konflik yang terjadi tidak sama dengan berita dari media-media asing sehingga dicurigai terdapat rekayasa konflik oleh negara-negara asing.

Adapun Dr. Abdul Mun’im menegaskan bahwa nilai-nilai universal Pancasila berupa Hak Asasi Manusia (HAM) dan persatuan nasional jika diterapkan secara konsekuendapat berperan aktif untuk menghentikan konflik dan mempersatukan kembali rakyat Afghanistan yang dilanda konflik. Apalagi Afghanistan relatif lebih homogen daripada Indonesia karena hampir seluruh rakyatnya beragama Islam.

Terkait dengan hal ini Rais Syuriah PBNU, KH. Saifuddin Amsir, menjelaskan bahwa dengan karakter tasamuh (toleransi) umat Islam Indonesia tetap bisa menyatu dan bersaudara walaupun berbeda-beda suku, bahasa dan pulau; bahkan dengan saudara sebangsa (ukhuwwah wathoniyah) yang berbeda agama atau keyakinan. Hal ini dapat terjadi karena bangsa Indonesia memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu dan penjamin pluralitas bangsa.

“Pancasila merupakan cerminan ajaran Alquran tetapi dibahasakan dengan budaya setempat sehingga bisa diterima oleh kelompok Non-Muslim sekalipun. Mestinya bangsa Afghanistan yang hampir seluruhnya Muslim ini bisa lebih mudah bersatu, karena aqidah mereka sama. Hanya saja perlu modal tasamuh yang tinggi,” tegas Rais Syuriah PBNU itu saat berkunjung ke Kabul, ibukota Afghanistan (4/6/2013).

Sebagai manifestasi dari penerapan nilai-nilai universal Pancasila, PBNU melakukan langkah-langkah konkret dalam proses perdamaian di Afghanistan. Salah satu langkah tersebut ialah dengan mengajak para u’lamaAfghanistan yang berkunjung ke Indonesia untuk melakukan studi banding ke Pondok Pesantren (Ponpes) Sunan Pandanaran yang terletak di Dukuh Candi, Desa Ngaglik, Kecamatan Sardonoharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta (NU Online, 20/9/2013).
 
Pesantren sebagai ujung tombak syi’ar dan dakwah Islam secara langsung di tengah-tengah masyarakat telah dikenal luas sebagai lembaga pendidikan Islam yang mampu melakukan harmonisasi antara budaya dan syari’ah dengan semangat mengisi kemerdekaan Indonesia sehingga cita-cita untuk mewujudkan Islam yang Rahmatan lil A’lamin dapat tercapai.

Hal ini merupakan bentuk pengamalan sila pertama Pancasila, yakni: “Ketuhanan Yang Maha Esa,” yang mencerminkan firman Allah SWT dalam Alquran surat Al-Ikhlas ayat 1, yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa””. Dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala (SWT) maka sudah sepantasnya manusia sebagai hamba dan kholifah Allahdi dunia dapat hidup rukun, damai dan harmonis dengan sesamanya dan seluruh mahluk dalam melaksanakan amanat untuk memakmurkan alam semesta beserta seluruh isinya.

Dr. Muhammad Sulaiman Nassary, salah seorang anggota delegasi, menyatakan bahwa mereka mendapatkan pengalaman baru dalam kunjungan pertamanya ini, baik ke pesantren maupun ke Indonesia. “Ini sangat menakjubkan,” ujarnya. Anggota delegasi lainnya, Nassar Ahmad, juga menjelaskan adanya sejumlah perbedaan antara madrasah di Afghanistan dengan pesantren di Indonesia, antara lain dari segi materi. “Kalau pesantren nuansa pendidikan tasawuf –nya sangat kental, sementara di sana (Afghanistan) kebanyakan fokus di bidang fiqih,” ujarnya (20/9/2013).

Dengan kata lain nuansa tasawuf inilah yang menjadi ciri khas dari sejumlah pondok pesantren di Indonesia, termasuk Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, yang sekaligus membedakannya dengan madrasah-madrasah di Afghanistan. Lembaga pendidikan Islam yang hanya berfokus pada pengajaran fiqih saja tanpa diimbangi dengan pengajaran ahlaqdan tasawuf hanya menjadikan syari’ah Islam kaku, statis, kehilangan nilai-nilai estetika dan dipahami secara sempit sertahanya terdiri dari seperangkat perintah dan larangan saja.

Langkah konkret PBNU lainnya ialah bekerjasama dengan pemerintah RI dan Afghanistan untuk membangun Pusat Kajian Ke-Islam-an (Islamic Centre) yang bersifat inklusif, moderat dan terbuka bagi semua ummat Islam dari kelompok atau madzhab apa pun. Islamic Centre tersebut rencananya dibangun oleh pemerintah RI di atas lahan seluas 5.000 meter persegi di pusat kota Kabul. Diharapkan hal ini dapat mempercepat proses pembentukan ummat Islam Afghanistan yang hidup rukun dan damai.

Para ulama Afghanistan mengharapkan agar pembangunan Islamic Centre oleh pemerintah RI, yang mendapat sambutan luas dari masyarakat dan pemerintah, dapat menjadi jembatan dalam membangun kerukunan dan berfungsi untuk mempelajari berbagai madzhab yang ada serta sebagai tempat menyelamatkan dan mensejahterakan masyarakat (NU Online, 9/6/2013).

Hal ini merupakan bentuk pengamalan sila ketiga Pancasila, yakni: “Persatuan Indonesia,” yang diterapkan dan dialihfungsikan dengan makna baru, yakni: “Persatuan Afghanistan”. Sila ketiga Pancasila juga mencerminkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 105 yang artinya: “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat”.

Allah SWT melarang ummat manusia, khususnya ummat Islam, untuk bercerai-berai dan berselisih paham setelah adanya keterangan yang jelas, bahkan akan memberi adzab (sanksi) yang sangat berat kepada orang-orang yang bercerai-berai tersebut. Dalam konteks ini ayat tentang “keterangan yang jelas” dapat dimaknai sebagai kenyataan sejarah bahwa Afghanistan merupakan negara berdaulat dan hampir seluruh penduduknya beragama Islam sehingga tidak ada alasan untuk berselisih paham dan bercerai-berai antarwarga negara.

Hal ini juga sesuai dengan karakter khas NU yang sangat mementingkan persaudaraan antar sesama warga negara (ukhuwwah wathoniyyah) dan persaudaraan antar sesama ummat Islam (ukhuwwah Islamiyyah). 

Selama ini banyak sekali masjid dan madrasah yang dibangun oleh negara tertentu tetapi hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu sehingga justru semakin meruncingkan permusuhandiantara ummat Islam. Akibatnya bangunan semacam ini ditolak oleh kelompok-kelompok Islam lainnya dan menyebabkan hancurnya ukhuwwah Islamiyyah dan ukhuwwah wathoniyyah di Afghanistan (NU Online, 9/6/2013).

Dengan demikian PBNU telah menerapkan nilai-nilai universal Pancasila seperti HAM dan persatuan nasional dalam proses perdamaian di Afghanistan, khususnya sila kesatu dan ketiga Pancasila yang mencerminkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas ayat 1 dan Surat Ali ‘Imran ayat 105. PBNU mewujudkan hal ini dengan sejumlah langkah konkrit seperti menyelenggarakan studi banding tentang Pancaila di UGM, kunjungan ke Ponpes Sunan Pandanaran di Yogyakarta dan pembangunan Islamic Centre di Afghanistan.

Hal ini dapat dilaksanakan oleh PBNU berkat dukungan dan kerja sama erat dengan Pemerinah RI, Pemerintah Afghanistan serta para u’lama, tokoh masyarakat, dan lembaga/komunitas masyarakat Afghanistan yang aktif melakukan mediasi konflik dan mendorong terwujudnya perdamaian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar