Sabtu, 23 November 2013

Menuntaskan Kasus Korupsi

Menuntaskan Kasus Korupsi
Said Aqil Siradj  ;   Ketua Umum PB NU
KORAN JAKARTA,  22 November 2013
  


Kasus korupsi di Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu terus menjadi sorotan publik, tak kalah panasnya dengan kasus-kasus korupsi lainnya. Masyarakat menunggu dengan berdebardebar, akankah kasus korupsi di Bea dan Cukai beserta kasus korupsi lainnya tersingkap lebar-lebar dan tuntas penyelesaian hukumnya. Geram dan cemas masyarakat tampaknya saling berkelindan menanti kepastian dan penuntasan. 

Seperti diberitakan, Bareskrim Polri menemukan fakta baru dari laporan PPATK ada 16 rekening mencurigakan yang berasal dari oknum Bea dan Cukai. Sebagai lanjutan setelah tertangkapnya pejabat Bea dan Cukai yang bersekongkolan dengan pengusaha ekspor-impor agar "bebas bea cukai", Polri terus mengusut kemungkinan adanya mafi a di lembaga itu. Upaya Polri patut diacungi jempol, sekaligus menjadi "uji nyali" bagi Kapolri baru, Jenderal Pol Sutarman. Sekali lagi, harapan masyarakat agar pengungkapan kasus korupsi ini tidak terbentur "tembok", berhenti lalu sirna. Masyarakat sudah kadung jengah dan menganggap hukum negeri ini tak pernah tuntas, tas,tas. Kasus "rekening gendut" yang menambat beberapa oknum pejabat di sejumlah jawatan pemerintahan, misalnya, kini nyaris tak terdengar lagi. 

Atau gaduhnya "cicak dan buaya" kini hilang tersapu kisah baru. Masyarakat seolah menonton teater Menanti Godot, jenuh, bosan, dan absurd. Rindu Dendam Rindu dendam, mungkin kata-kata yang paradoksal, ketika seseorang merindukan sesuatu lazim mengarah pada yang indah dan penuh pesona. Saat dendam mengangkangi diri seseorang, biasanya membidik pada hal-hal yang suram, menjengkelkan. Tapi, inilah mungkin istilah yang sejauh pandang bisa menggambarkan betapa kerinduan masyarakat tentang cerita tuntas dari penyelesaian kasus korupsi. Senyampang itu, dendam terhadap segala perilaku yang keji, jahat, dan menyusahkan.

Ya, menggelegak dendam masyarakat terhadap polah tingkah culas dan perlakuan ketidakadilan. Seorang pencuri sandal atau buah cokelat dengan gampangnya divonis pengadilan. Sementara, koruptor yang sudah jelas terbukti masih bisa ketawaketiwi. Hukumannya pun kerap tidak memuaskan rasa keadilan masyarakat. Rasaan itu haruslah mendapat pemenuhannya. Bila tidak, khawatir akan membawa dampak susulan yang sering kali tak terperikan. Negeri ini akan menjadi "bulan-bulanan" dengan penganugerahan stigmatisasi sebagai negara korup dan "luwes" dalam hukum. Dari perspektif masyarakat, akan makin mempertajam kecemburuan sosial yang bisa memancing reaksi sosial. Kasus bom di ATM BCA Yogyakarta beberapa waktu lalu, ternyata dilakukan seseorang yang dipicu frustrasi sosial. Semakin sulit dibantah, julukan yang pernah disematkan oleh Francis Fukuyama bahwa Indonesia mengalami "low trust society", masyarakatnya bermental sulit dipercaya termasuk dalam urusan hukum. Jauh sebelumnya, Gunnar Myrdal, seorang pemikir sosial sudah melabeli negeri Nusantara sebagai "soft state". Maksudnya, pemerintah dan masyarakat kurang memiliki ketahanan moral sehingga segala superfi sialitas yang terjadi gampang merasuk. Bangsa mudah melupakan kasus besar, terkikisnya jati diri dan martabat. Akhirnya sering terpelanting dalam ketidakpastian. Masyarakat boleh saja menolak "tesis" tersebut. 

Reformasi yang sudah bergulir sekian tahun menjadi penanda bahwa warga memang ingin berubah. Optimisme akan perubahan terus menggelayuti bangsa ini dan tak pudar oleh berbagai fakta yang membalik-balik nurani serta akal sehat. Bangsa Indonesia rindu keadilan, walaupun masih terpajang perilaku yang menolerir ketidakadilan. Masyarakat rindu kepastian dan penuntasan, kendati masih tersisa ketidakpastian. Pemimpin dan Kebijakan Berulang-ulang dikatakan upayaupaya penanggulangan korupsi sampai saat ini banyak dinilai belum berjalan baik. Artinya, belum menunjukkan keseriusan maksimal. 

Lalu bagaimana? Ya, ketidakseriusan ini dapat diatasi oleh lembaga yang berada di atas, yaitu Presiden. Presiden harus bertindak tegas terhadap aparat pemerintahan di bawahnya yang terlibat korupsi. NU melalui Munasnya di Pesantren Kempek, Cirebon, 2012 lalu telah merekomendasikan, pertama, Presiden harus segera menggunakan kewenangannya secara penuh, tanpa tebang pilih atas upaya-upaya penanggulangan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah. 

Utamanya terkait dengan aparat pemerintahan yang terlibat korupsi. Kedua, masyarakat agar berkontribusi aktif dalam upaya meruntuhkan budaya korupsi dengan memperkuat sanksi sosial terhadap koruptor sehingga dapat menimbulkan efek jera dan mencegah tindakan korupsi berikutnya. Dalam munas tersebut disepakati pula bahwa harta hasil korupsi wajib dikembalikan ke negara, kendati para pelakunya sudah dipenjara. Harta para koruptor yang sudah diadili tetap harus dikembalikan ke negara. Bahkan, ketika seorang koruptor sudah meninggal dunia, juga harus diperiksa hartanya sehingga jelas antara hasil keringat sendiri dan korupsi. Dalam hal hukuman terhadap koruptor, ada pemikiran perlunya penerapan hukuman mati. Bila merujuk mazhab Syafi ’i, koruptor tidak bisa dikenakan hukuman mati, kecuali kalau dia tidak mau mengembalikan harta hasil kejahatan. 

Sementara itu, bila mengacu pada mazhab Maliki dan Hanafi , hukuman mati boleh diterapkan pada tindak kejahatan yang membudaya dan sulit diberantas, termasuk korupsi. Di sini diambil sikap bahwa perlunya atau diperbolehkannya hukuman mati bagi koruptor. Secara lebih rinci, hukuman mati boleh diterapkan setelah pengadilan mempertimbangkan pelanggarannya, baik dari jumlah uang yang dikorupsi maupun seberapa sering pelanggaran dilakukan. NU merekomendasikan hukuman mati sebagai opsi terakhir bagi koruptor, yakni ketika ia tidak jera setelah menerima hukuman penjara bertahun-tahun dan mengulangi perbuatannya. Hukuman mati tidak dianjurkan langsung dijatuhkan tanpa melewati syarat-syarat itu. 

Ulama NU menekankan pertimbangan hukuman mati demi memberi efek jera. Dalam pandangan ulama NU, hukum Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan vonis mati terhadap seseorang. Hukuman mati harus ditolak sepanjang masih ada keraguan dalam bentuk pelanggaran yang dilakukan. Sebagai sebuah rekomendasi, pandangan ulama NU ini dapat menjadi dukungan moral bagi aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan memberi shock therapy koruptor agar tidak terus-menerus berada dalam kubangan praktik dan hidup jahat. 

Nah, cerita tentang "persekongkolan" di Bea dan Cukai dapat menjadi momentum untuk membasmi korupsi. Ini dengan menindaki keberanian untuk membongkar sampai akar-akarnya penyebab perilaku korup di Bea dan Cukai sebagai institusi negara yang mampu menghasilkan devisa triliunan rupiah itu. Saya yakin tidaklah sulit bagi aparat untuk membongkarnya. Kepemimpinan di Bea Cukai juga perlu "penyegaran". Kita sulit menepis anggapan bahwa korupsi seperti di Bea dan Cukai lantaran ada pembiaran dan itu bisa saja karena kepemimpinan yang tidak tegas atau malah "menutup mata" dari perilaku koruptif yang sebenarnya mudah terdeteksi. Walhasil, penuntasan kasus korupsi di Bea dan Cukai serta kasus korupsi lainnya jangan lagi sekadar wacana atau langkah-langkah "genit", tetapi harus menukik pada level kebijakan hingga "potong generasi" dengan merombak jajaran internalnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar