Kasus korupsi di Ditjen Bea dan Cukai
Kemenkeu terus menjadi sorotan publik, tak kalah panasnya dengan
kasus-kasus korupsi lainnya. Masyarakat menunggu dengan berdebardebar,
akankah kasus korupsi di Bea dan Cukai beserta kasus korupsi lainnya
tersingkap lebar-lebar dan tuntas penyelesaian hukumnya. Geram dan cemas
masyarakat tampaknya saling berkelindan menanti kepastian dan penuntasan.
Seperti diberitakan, Bareskrim Polri
menemukan fakta baru dari laporan PPATK ada 16 rekening mencurigakan yang
berasal dari oknum Bea dan Cukai. Sebagai lanjutan setelah tertangkapnya
pejabat Bea dan Cukai yang bersekongkolan dengan pengusaha ekspor-impor
agar "bebas bea cukai", Polri terus mengusut kemungkinan adanya
mafi a di lembaga itu. Upaya Polri patut diacungi jempol, sekaligus menjadi
"uji nyali" bagi Kapolri baru, Jenderal Pol Sutarman. Sekali
lagi, harapan masyarakat agar pengungkapan kasus korupsi ini tidak
terbentur "tembok", berhenti lalu sirna. Masyarakat sudah kadung
jengah dan menganggap hukum negeri ini tak pernah tuntas, tas,tas. Kasus
"rekening gendut" yang menambat beberapa oknum pejabat di
sejumlah jawatan pemerintahan, misalnya, kini nyaris tak terdengar lagi.
Atau gaduhnya "cicak dan buaya"
kini hilang tersapu kisah baru. Masyarakat seolah menonton teater Menanti
Godot, jenuh, bosan, dan absurd. Rindu Dendam Rindu dendam, mungkin kata-kata
yang paradoksal, ketika seseorang merindukan sesuatu lazim mengarah pada
yang indah dan penuh pesona. Saat dendam mengangkangi diri seseorang,
biasanya membidik pada hal-hal yang suram, menjengkelkan. Tapi, inilah
mungkin istilah yang sejauh pandang bisa menggambarkan betapa kerinduan
masyarakat tentang cerita tuntas dari penyelesaian kasus korupsi.
Senyampang itu, dendam terhadap segala perilaku yang keji, jahat, dan
menyusahkan.
Ya, menggelegak dendam masyarakat terhadap
polah tingkah culas dan perlakuan ketidakadilan. Seorang pencuri sandal
atau buah cokelat dengan gampangnya divonis pengadilan. Sementara, koruptor
yang sudah jelas terbukti masih bisa ketawaketiwi. Hukumannya pun kerap
tidak memuaskan rasa keadilan masyarakat. Rasaan itu haruslah mendapat
pemenuhannya. Bila tidak, khawatir akan membawa dampak susulan yang sering
kali tak terperikan. Negeri ini akan menjadi "bulan-bulanan"
dengan penganugerahan stigmatisasi sebagai negara korup dan
"luwes" dalam hukum. Dari perspektif masyarakat, akan makin
mempertajam kecemburuan sosial yang bisa memancing reaksi sosial. Kasus bom
di ATM BCA Yogyakarta beberapa waktu lalu, ternyata dilakukan seseorang
yang dipicu frustrasi sosial. Semakin sulit dibantah, julukan yang pernah
disematkan oleh Francis Fukuyama bahwa Indonesia mengalami "low trust society",
masyarakatnya bermental sulit dipercaya termasuk dalam urusan hukum. Jauh
sebelumnya, Gunnar Myrdal, seorang pemikir sosial sudah melabeli negeri
Nusantara sebagai "soft state". Maksudnya, pemerintah dan
masyarakat kurang memiliki ketahanan moral sehingga segala superfi sialitas
yang terjadi gampang merasuk. Bangsa mudah melupakan kasus besar,
terkikisnya jati diri dan martabat. Akhirnya sering terpelanting dalam
ketidakpastian. Masyarakat boleh saja menolak "tesis" tersebut.
Reformasi yang sudah bergulir sekian tahun
menjadi penanda bahwa warga memang ingin berubah. Optimisme akan perubahan
terus menggelayuti bangsa ini dan tak pudar oleh berbagai fakta yang
membalik-balik nurani serta akal sehat. Bangsa Indonesia rindu keadilan,
walaupun masih terpajang perilaku yang menolerir ketidakadilan. Masyarakat
rindu kepastian dan penuntasan, kendati masih tersisa ketidakpastian.
Pemimpin dan Kebijakan Berulang-ulang dikatakan upayaupaya penanggulangan
korupsi sampai saat ini banyak dinilai belum berjalan baik. Artinya, belum
menunjukkan keseriusan maksimal.
Lalu bagaimana? Ya, ketidakseriusan ini
dapat diatasi oleh lembaga yang berada di atas, yaitu Presiden. Presiden
harus bertindak tegas terhadap aparat pemerintahan di bawahnya yang
terlibat korupsi. NU melalui Munasnya di Pesantren Kempek, Cirebon, 2012
lalu telah merekomendasikan, pertama, Presiden harus segera menggunakan
kewenangannya secara penuh, tanpa tebang pilih atas upaya-upaya
penanggulangan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah.
Utamanya terkait dengan aparat pemerintahan
yang terlibat korupsi. Kedua, masyarakat agar berkontribusi aktif dalam
upaya meruntuhkan budaya korupsi dengan memperkuat sanksi sosial terhadap
koruptor sehingga dapat menimbulkan efek jera dan mencegah tindakan korupsi
berikutnya. Dalam munas tersebut disepakati pula bahwa harta hasil korupsi
wajib dikembalikan ke negara, kendati para pelakunya sudah dipenjara. Harta
para koruptor yang sudah diadili tetap harus dikembalikan ke negara.
Bahkan, ketika seorang koruptor sudah meninggal dunia, juga harus diperiksa
hartanya sehingga jelas antara hasil keringat sendiri dan korupsi. Dalam
hal hukuman terhadap koruptor, ada pemikiran perlunya penerapan hukuman
mati. Bila merujuk mazhab Syafi ’i, koruptor tidak bisa dikenakan hukuman
mati, kecuali kalau dia tidak mau mengembalikan harta hasil kejahatan.
Sementara itu, bila mengacu pada mazhab
Maliki dan Hanafi , hukuman mati boleh diterapkan pada tindak kejahatan
yang membudaya dan sulit diberantas, termasuk korupsi. Di sini diambil
sikap bahwa perlunya atau diperbolehkannya hukuman mati bagi koruptor.
Secara lebih rinci, hukuman mati boleh diterapkan setelah pengadilan
mempertimbangkan pelanggarannya, baik dari jumlah uang yang dikorupsi
maupun seberapa sering pelanggaran dilakukan. NU merekomendasikan hukuman
mati sebagai opsi terakhir bagi koruptor, yakni ketika ia tidak jera
setelah menerima hukuman penjara bertahun-tahun dan mengulangi
perbuatannya. Hukuman mati tidak dianjurkan langsung dijatuhkan tanpa
melewati syarat-syarat itu.
Ulama NU menekankan pertimbangan hukuman
mati demi memberi efek jera. Dalam pandangan ulama NU, hukum Islam sangat
berhati-hati dalam menjatuhkan vonis mati terhadap seseorang. Hukuman mati
harus ditolak sepanjang masih ada keraguan dalam bentuk pelanggaran yang
dilakukan. Sebagai sebuah rekomendasi, pandangan ulama NU ini dapat menjadi
dukungan moral bagi aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan memberi
shock therapy koruptor agar tidak terus-menerus berada dalam kubangan
praktik dan hidup jahat.
Nah, cerita tentang
"persekongkolan" di Bea dan Cukai dapat menjadi momentum untuk
membasmi korupsi. Ini dengan menindaki keberanian untuk membongkar sampai
akar-akarnya penyebab perilaku korup di Bea dan Cukai sebagai institusi
negara yang mampu menghasilkan devisa triliunan rupiah itu. Saya yakin
tidaklah sulit bagi aparat untuk membongkarnya. Kepemimpinan di Bea Cukai
juga perlu "penyegaran". Kita sulit menepis anggapan bahwa
korupsi seperti di Bea dan Cukai lantaran ada pembiaran dan itu bisa saja
karena kepemimpinan yang tidak tegas atau malah "menutup mata"
dari perilaku koruptif yang sebenarnya mudah terdeteksi. Walhasil,
penuntasan kasus korupsi di Bea dan Cukai serta kasus korupsi lainnya jangan
lagi sekadar wacana atau langkah-langkah "genit", tetapi harus
menukik pada level kebijakan hingga "potong generasi" dengan
merombak jajaran internalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar