KABAR cukup membanggakan datang dari London. Indonesia
menerima tampuk kepemimpinan Open
Government Partnership untuk periode 2013-2014 dari pemangku
sebelumnya, Kerajaan Inggris. Open
Government Partnership diluncurkan pada 20 September 2011 yang diinisiasi
delapan negara termasuk Indonesia, yaitu Brasil, Meksiko, Norwegia,
Filipina, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat, untuk mendorong
keterbukaan informasi. Indonesia sendiri memiliki tiga rencana aksi dalam
kerangka Open Government Partnership,
yakni memperbaiki pelayanan publik, meningkatkan integritas pemerintahan,
dan mengelola sumber daya publik secara efektif. Ketiga rencana aksi itu
harus dilaporkan perkembangannya secara berkala kepada Open Government Partnership.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terdepan di
kawasan Asia Tenggara dan progresif dalam menerapkan transparansi. Dalam Open Budget Index (OBI) 2012 yang
diterbitkan International Budget
Partnership, peringkat Indonesia meningkat dari 51 pada 2010 menjadi 62
pada 2012, tertinggi di Asia Tenggara dan peringkat kedua di Asia setelah
Korea Selatan.
Skor yang dicapai Indonesia itu berada di atas angka
ratarata 100 negara yang disurvei dalam OBI yang hanya mencapai angka 43.
Ada delapan indikator kemudahan akses dokumen yang digunakan OBI untuk
mengukur transparansi di Indonesia. Yaitu, kemudahan akses terhadap dokumen
pre-budget statement (pokok-pokok kebijakan fiskal), executive budget (RAPBN), enacted
budget (nota keuangan dan UU APBN), citizen
budget (ringkasan anggaran di media massa dan laman), in year report
(laporan realisasi anggaran secara periodik), mid year review (laporan tengah semester), end year report (laporan keuangan pemerintah pusat), dan audit report (laporan audit BPK).
Berdasarkan OBI 2012, akses ketersediaan dokumen dan publikasi dokumen di
atas meningkat ketimbang di 2010.
Keluar zona nyaman
Beberapa kunci prestasi Indonesia dalam
OBI ini ialah implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, partisipasi masyarakat sipil dalam kebijakan pemerintah, dan
inisiatif global seperti Open
Government Partnership.
Pencapaian itu tidak terlepas juga dari inisiatif dan
komitmen kementerian dan lembaga negara. Beberapa waktu lalu Wakil Presiden
Boediono juga menyatakan program Open
Government Indonesia telah berhasil menarik birokrasi kita keluar dari
zona nyaman. Sebagian di antaranya bahkan memperoleh penghargaan nasional
dan internasional.
Saat ini, dari total 34 kementerian, seluruhnya sudah
memiliki pejabat pengelola informasi dan dokumentasi sebagaimana
diamanatkan UU No 14/2008. Setidaknya ada 10 kementerian, di antaranya
Perindustrian, Sekretaris Negara, Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan
Kementerian Keuangan yang dinilai Komisi Informasi memiliki komitmen dalam
implementasi keterbukaan informasi. Beberapa badan juga sudah memiliki
komitmen seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Komitmen itu patut diapresiasi mengingat sudah sangat lama birokrasi di
Indonesia berjalan tanpa peng awasan oleh publik. Dengan adanya peraturan
mengenai keterbukaan informasi, berbagai kementerian berlombalomba
menunjukkan prestasi di bidang transparansi dan akuntabilitas.
September lalu, misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Kementerian Perindustrian bersama 69 badan publik lainnya menerima
penghargaan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai kementerian yang
berhasil menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan Kementerian
Negara/ Lembaga (LKKL) dan dengan capaian standar tertinggi dalam Akuntansi
dan Pelaporan Keuangan Pemerintah. Penghargaan itu diberikan berdasarkan
laporan keuangan Kementerian Pekerjaan Umum 2012 yang memperoleh opini
wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebelumnya, dua tahun berturut-turut pada 2011 hingga
2012, Kementerian Pekerjaan Umum tidak pernah keluar dari 10 besar
kementerian yang mendapatkan ranking terbaik dalam keterbukaan informasi.
Komitmen dan pencapaian itu patut diapresiasi. Karena, dengan anggaran
sebesar Rp83 triliun, Kementerian PU tentunya menjadi sorotan sebagai salah
satu kementerian dengan anggaran terbesar. Selain itu, Kementerian PU juga
memiliki peran strategis sebagai salah satu kementerian yang memiliki
kontribusi sebagai stimulan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
Namun, persoalan utama dalam implementasi UU KIP di
berbagai badan publik saat ini ialah masih banyak badan publik yang
menyamakan fungsi pelayanan informasi dengan fungsi kehumasan. PPID masih
banyak diintegrasikan dalam divisi humas, tenaga yang digunakan juga tenaga
humas. Padahal humas dan pelayanan informasi publik sesungguhnya punya
pendekatan yang berbeda. Fungsi humas kurang lebih ialah membangun citra
yang bagus tentang badan publik di mata masyarakat, sementara fungsi
pelayanan informasi publik ialah melayani permintaan informasi atau
menjalankan kewajiban memberikan informasi publik kepada masyarakat.
Akan tetapi, kenyataannya sering pelayanan informasi publik
dijalankan dengan pendekatan kehumasan yang orientasinya memang lebih ‘ke
dalam’, untuk menjaga nama baik lembaga. Akibatnya, meskipun semboyannya
ialah keterbukaan informasi publik, yang dilakukan banyak PPID justru
‘ketertutupan informasi publik’, dengan bertindak sangat berhati-hati atau
penuh kecurigaan dalam menghadapi permintaan informasi publik dari
masyarakat atau pers. Entah karena instruksi dari atas atau karena
inisiatifnya sendiri, PPID justru lebih sering menggunakan alasan-alasan
kerahasiaan atau pengecualian informasi ketika menghadapi akses informasi
dari masyarakat atau pers. Persoalan itulah yang harus diselesaikan agar
capaian-capaian penting di tingkat internasional di atas tidak sekadar
‘politik pencitraan’, tetapi benar-benar sesuai dengan kenyataan dalam
konteks hubungan informasional antara badan publik dan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar