BERBICARA kebudayaan di tengah
gemuruh ekonomi adalah sebait monolog. Bagi orang kebanyakan, kebudayaan
bukan sesuatu yang perlu dibicarakan, melainkan dilakoni. Ekonomi, di lain
pihak, adalah pikiran yang dilakoni.
Dalam ekonomi, pikiran niscaya
menemukan jalan teknokrasinya sendiri. Pikiran tentang persaingan sempurna,
misalnya, melahirkan daftar negatif investasi. Kebudayaan tak
demikian halnya. Di kepala banyak orang, kebudayaan sekadar artefak dan
pergelaran. Tidak heran, ekonomi berjalan di lorong yang berbeda
dengan kebudayaan. Kebudayaan paling banter didekatkan dengan pendidikan
dalam bentuk penanaman karakter. Padahal, dia lebih luas dari sekadar
karakter. Kebudayaan adalah orkestra kolektif menuju sebuah ”tanah
perjanjian” bernama peradaban. Di titik inilah, mata angin kebudayaan
perlu dibicarakan saksama.
Defisit
Republik ini dijalankan tanpa
mata angin kebudayaan. Buktinya, pembukaan UUD 1945 tidak memuat visi
kebudayaan. Yang termuat hanyalah visi pertahanan, yakni melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; visi ekonomi,
memajukan kesejahteraan umum; visi pendidikan, mencerdaskan kehidupan
bangsa; serta visi diplomasi, melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pertanyaannya kemudian,
Direktorat Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
bekerja berdasarkan visi apa? RUU Kebudayaan yang sedang disusun DPR juga
seperti anak ayam yang berlarian tanpa induknya.
Kebudayaan pun menjadi perkara
substansial untuk dibincangkan di tengah kekosongan diskursus mengenainya.
Para ahli demografi memprediksi bahwa 2020 kita bakal menikmati bonus
demografi. Pada saat itu, jumlah usia produktif kita mencapai 70
persen dari total populasi, artinya kelas menengah akan menggembung
sedemikian rupa. Penggembungan kelas menengah berarti membubungnya
konsumsi yang niscaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Ekonomi memandang
ini sebagai kabar gembira.
Persoalannya, pertumbuhan
ekonomi hanya diukur berdasarkan konsumsi. Konsumsi bukan tindakan
kebudayaan. Kita yang menikmati makanan siap saji kehilangan detail
pengetahuan dalam mengolah masakan. Kita bisa jadi menikmati pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi meski sebagian besar kelas menengah kita hanya menjadi
konsumen kebudayaan global yang pasif.
Dengan kata lain, secara
ekonomi kita surplus, sementara kebudayaan justru defisit. Ekonomi
bertumbuh saat kita menjadi pasar bagi industri global. Bahasa terangnya,
kita tetap bisa berjaya secara ekonomi meskipun melompong secara
kebudayaan.
”Kebudayaan” saya artikan
sebagai inovasi manusia dalam merespons alam, baik dalam pengertian
lingkungan maupun kodrat, demi hidup yang bermakna. Bangsa ini sejatinya
bangsa yang gemuk inovasi. Banyak penelitian menunjukkan
inovasi-inovasi kultural yang mengagumkan. Nenek moyang kita, misalnya,
memiliki teknik arsitektur yang sudah merespons tantangan geografi bangsa
yang disesaki gunung berapi. Keanekaragaman hayati kita membuahkan
beragam inovasi dalam teknologi pengobatan tradisional. Semua ini adalah
kekayaan kultural sesungguhnya. Perlindungan terhadap kebudayaan bukan
perlindungan terhadap artefak, melainkan pengetahuan inovatif yang
tersembunyi di dalamnya.
Ke mana?
Kebudayaan sebagai strategi
nasional perlu didekatkan dengan pengetahuan, bukan pendidikan. Pendidikan
adalah cara kita menyajikan pengetahuan, bukan memproduksinya. Kebudayaan
perlu dilekatkan dengan organisasi-organisasi yang membuat pengetahuan.
Tanpa itu, kebudayaan akan berhenti sebagai komoditas dan etos hidup. Dia
akan berlalu lalang antara pariwisata dan pendidikan. Padahal, riset-riset
terhadap kekayaan budaya arsitektural kita dapat membuahkan sebuah model
arsitektur yang cocok dengan kondisi geografis bangsa ini.
Revolusi kebudayaan
Kita sampai pada kesimpulan
betapa bangsa yang miskin inovasi niscaya tuna-kebudayaan. Di sini saya
memahami revolusi-revolusi besar yang dilakoni beberapa bangsa dalam
milenia kemarin sebagai revolusi kebudayaan. Mao Zedong bahkan secara
terang-terangan menginisiasi sebuah revolusi kebudayaan di China meskipun
kita bisa berdebat mengenai dimensi praktis revolusi kebudayaan
tersebut.
Revolusi kebudayaan bagi saya
harus dipandu mata angin yang tepat. Revolusi kebudayaan harus
mengubah bangsa ini dari bangsa pemamah menjadi pencipta kebudayaan.
Di sini, ekonomi harus dipaksa berjalan dalam koridor yang sama. Itu karena
indikator-indikator ekonomi tidak pernah memuat inovasi sebagai ukuran
kultural. Konsumsi adalah segala-galanya. Padahal, bangsa tanpa sumber daya
alam, seperti Singapura, tidak bisa seperti sekarang jika hanya mengandalkan
konsumsi. Sebagai pasar, bangsa tersebut tidak terlalu besar.
Pertumbuhan ekonomi di Singapura ditopang oleh inovasi-inovasi di sektor
jasa yang disandarkan pada etos Konfusianisme modern.
Persoalannya, kebudayaan tidak
semudah ekonomi dalam menemukan jalan teknokrasinya. Kebudayaan paling
banter berujung pada kebijakan rekapitulasi dan konservasi. Kita senang
mendaftar kekayaan budaya dan memajangnya sebagai kebanggaan dari masa
lalu. Padahal, kebudayaan adalah saat ini yang terus bergerak. Kita lebih
suka mencangkok model kultural yang sudah mapan ketimbang membuat sesuatu
yang baru.
Manajemen sebagai ilmu pengelolaan manusia, misalnya, sarat
dengan pengetahuan cangkokan dari Eropa dan Amerika Utara. Padahal, Jepang
sudah mengembangkan model manajemen yang diinjakkan pada kebudayaannya
sendiri. Dengan demikian, kebudayaan menjadi sesuatu yang bergerak
karena dibenturkan terus-menerus dengan kebutuhan kontemporer.
Kemarin kita ribut-ribut
mengenai daftar negatif investasi. Keributan utama berporos pada perkara
nasionalisme. Jika kita membuka sektor-sektor strategis pada asing lalu
orang kita sendiri bisa berbuat apa? China meletakkan persoalan investasi
asing pada poros kebudayaan yang jelas. Industri-industri teknologi
informasi dipersilakan memasuki China, tetapi dengan syarat yang ketat.
Transfer pengetahuan menjadi keharusan. Posisi-posisi strategis dalam
perusahaan harus diisi orang lokal. Tujuannya jelas. China memastikan bahwa
dalam kurun waktu tertentu pengetahuan bisa diambil alih dan mendorong inovasi
di sektor tersebut. Hukum yang berlaku adalah ”ambil alih dan lakukan
inovasi!”
Kita tidak menginginkan
investasi asing masuk ke industri pengolahan karet. Alasannya
industri di sektor tersebut tidak mengadopsi teknologi tinggi.
Teknologi pengolahan karet masih sederhana sehingga pengusaha lokal masih
mampu melakukannya. Jalan pikiran ini jelas keliru. Pertama, kita menutup
kemungkinan masuknya teknologi tinggi dalam industri pengolahan karet.
Padahal, kita bisa mendapat pengetahuan pengolahan karet yang satu saat
mampu memicu inovasi lokal yang bernilai tinggi. Kedua, kita mengakui
betapa minimnya inovasi dalam industri pengolahan karet.
Pertanyaannya, apakah kita bakal terus-menerus bertahan dengan stagnasi
kultural semacam ini?
Mata angin kebudayaan kita harus
ditentukan segera. Kebudayaan pun harus menemukan jalan teknokrasinya
sendiri. Jika tidak, ekonomi akan terus mendominasi dengan
ukuran-ukurannya yang tuna-kebudayaan. Kita masih memiliki sekitar enam
tahun lagi sebelum betul-betul menikmati apa yang disebut sebagai bonus
demografi. Segenap organisasi yang mengurusi kebudayaan harus berhenti
mengelus, memajang, dan mem-”pedagogis-kan” kebudayaan. Mereka harus
bergerak berdasarkan arah mata angin yang sama. Mata angin kebudayaan baru.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar