DI
atas kertas tidak ada undang-undang yang mengatur seorang anggota DPR
mantan koruptor tidak diberikan pensiun.
Asal si koruptor mengundurkan
diri sebelum dibui dan kemudian mengajukan pensiun, negara tetap mengirim
fulus ke sakunya. Di atas kertas tidak ada UU yang melarang seorang artis
yang menjadi pejabat untuk menghentikan kegiatan keartisannya. Ia boleh
tetap main sinetron, main iklan, dan juga melawak di televisi. Bayangkan
jika di atas kertas tidak ada larangan untuk membunuh orang!
Itulah situasi kehidupan
ketatanegaraan dan kebangsaan kita hari ini. Para pejabat berada di dalam
penjara sistem yang tertulis di atas kertas sebagai UU atau peraturan,
tetapi sekaligus karena itu mereka bersikap ambivalen. Di satu sisi, UU
dianggap sebagai momok menakutkan, tetapi pada saat yang sama juga diakali:
mengambil yang menguntungkan dan menghindari yang membahayakan. Di antara
para pejabat yang ambivalen itu adalah para penjahat yang tidak
memperhitungkan apa pun selain pertimbangan yang menguntungkan diri
sendiri.
Penjahat jelas sosoknya
meskipun kita baru mengetahuinya setelah ditangkap atau dinyatakan oleh
hukum sebagai penjahat. Namun, mereka yang mengakali aturan dengan dua
sikap ambivalen di atas sulit dilacak jejak kejahatannya. Mereka
bersembunyi di dalam wilayah abu-abu. Kita tidak bisa, misalnya,
melipatgandakan hukuman kepada koruptor yang tetap tambun sebab menerima
uang pensiun, tidak bisa menghakimi wakil gubernur yang terus berdagang di
televisi, dan juga tidak bisa memenjarakan anggota DPR yang terus melawak.
Soalnya memang tidak terdapat UU yang mengaturnya.
Hanya pertimbangan etika yang
bisa mencegah tindakannya. Namun, hal ini baru bisa dilakukan jika mereka
memiliki kesadaran tentang etika.
Di samping itu, kita juga
tidak bisa memberi sanksi kepada seorang birokrat yang menolak menjadi
penanggung jawab sebuah proyek karena ketakutan terjebak pada tindakan
korupsi, kepada mereka yang menjadikan aturan dan pengawasan yang ketat
sebagai alasan bagi terbentuknya situasi bekerja menjadi kaku dan serba
ketakutan.
Bukankah juga sudah lama beredar
rumor bahwa tugas perjalanan dinas pada sejumlah departemen banyak
dihindari sebab laporan dan pengawasannya yang ketat. Hanya anggota DPR,
barangkali, yang dapat dengan leluasa melakukan perjalanan dinas dan studi
banding ke luar negeri sebab mereka sendiri yang membuat aturannya.
Karena demikian
situasinya, dapatlah dipastikan dua hal. Pertama, banyak program yang
sebenarnya bagus tetapi tidak terselenggara sebab tidak ada yang
berani bekerja di bawah aturan dan pengawasan ketat. Kedua, jika program
itu terselenggara, hal yang paling menyibukkan adalah penyusunan laporan
keuangan—tentu juga dengan mengakali di bagian mana penggelembungan bisa
dilakukan. Karena hal ini dapat dipastikan bahwa materi dan substansi
program itu sendiri akan terabaikan. Jelas di situ, tanggung jawab moral di
hadapan pekerjaan telah hilang.
Matinya manusia
Ketika UU telah dijadikan alasan
untuk lari dari tanggung jawab di satu sisi dan pada sisi lain
ketidaktertulisan sebuah peraturan di atas kertas telah dimanfaatkan untuk
melakukan tindakan tidak patut, dapat dikatakan bahwa nilai kemanusiaan
manusia pelakunya telah mati. Pada kasus mereka yang ketakutan pada aturan,
peraturan jelas telah menjadikan subyek manusia tidak berdaya.
Akal sehat
mati di hadapan ”mesin sistem”. Ketimbang menjadi subyek yang dengan nalar
sehat mengemudikan sistem, mereka menjadi sistem itu sendiri.
Mereka tidak lagi menjadi
manusia, tetapi menjadi mesin. Kematian manusia sedemikian menjadikan
peradaban mengalami jalan buntu (deadlock) kemanusiaan).
Sementara itu, halnya
menjadi lebih tragis pada kasus mereka yang memanfaatkan ketidakadaan
peraturan tertulis untuk melakukan tindakan yang menguntungkan diri
sendiri. Di samping telah memanfaatkan kesempatan dari keburukan UU
(memancing di air keruh), mereka meyakini bahwa kebaikan, etika,
moralitas, atau apa pun namanya hanyalah soal yang tertulis di atas kertas.
Di luar itu tidak ada peraturan. Walhasil, mereka menjadi manusia yang
jiwanya terserak di atas kertas, jiwa yang mati—meminjam Nikolai Gogol.
Tragisnya, kertas itu
sendiri kini tengah mengalami krisis eksistensi, didesak oleh dunia digital
nyaris di seluruh bidang kehidupan. Generasi hari ini tampak lebih banyak
menggunakan tus-tus dan layar komputer untuk menulis. Bisa dibayangkan
bagaimana yang akan terjadi pada generasi mendatang. Kertas mungkin hanya
akan menjadi sejarah sebagaimana kita mencatat sejarah zaman batu atau
perunggu. Setiawan Sabana dan 19 perupa lain, termasuk dari Singapura,
Korea, dan Malaysia, merepresentasikan kegelisahan ini melalui pameran
karya rupa kertas di Museum Sri Baduga, Bandung (1-14 November 2013).
Melalui karyanya yang berjudul
”Bumi Kertas”, Sabana sendiri mewujudkan kertas sebagai ”yang melayang” di
awang-awang dan ”yang gosong” di bumi. Peradaban kertas sedang masuk ke usia
senja kala. Jika intuisi Sabana dan seniman lain benar, bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi pada manusia yang meletakkan moralitas
hanya pada peraturan di atas kertas.
Dunia digital membangun tradisi
kelisanan melampaui tradisi yang dibangun radio dan televisi, yang oleh
Walter J Ong (2004) disebut sebagai tradisi lisan tingkat kedua. Tradisi
digital komputer membawa kita pindah dari masyarakat socious ke
komunitas jaringan, yang oleh Bard (2002) disebut sebagai netokrasi. Inilah
peradaban yang ditandai olehlogin dan logout, tetapi memiliki
efek jelajah yang luar biasa. Ini yang pada diskusi di Bentara Budaya
Jakarta, Sabtu (12/10/2013), saya sebut sebagai tradisi lisan tingkat
ketiga. Dalam tradisi ini, semua bersifat sementara.
Jelas, untuk memasuki
peradaban digital, hal-hal berkaitan dengan etika dan moralitas harus
benar-benar embedded dalam diri manusia. Tidak ada peraturan dan
perundang-undangan yang tertera, tidak ada data yang bisa dipercaya; semua
bisa ditulis dan dihapus dalam sekejap. Patokan segala hukum hanya ada pada
diri yang mumpuni, kemanusiaan dituntut sempurna. Maka, enyahlah dari
sekarang manusia-manusia yang untuk menegakkan etika dan moralitas hanya
mengacu pada aturan di atas kertas. Masa depan hanya butuh manusia ”yang
hidup”, bukan rangka berjalan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar