Jumat, 22 November 2013

Menjinakkan Kanguru


Menjinakkan Kanguru
Airlangga Pribadi Kusman  ;   Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga; Mahasiswa Doktoral Asia Research Center, Murdoch University, Australia
KOMPAS,  22 November 2013
  

HIDUP bertetangga memang tidak selamanya berlangsung damai dan hangat.
Ketegangan dan perselisihan kadang muncul mewarnai hubungan antara dua negara yang bertetangga. Namun, satu hal yang harus diterima:  kita tak bisa memilih tetangga kita sendiri. Suka tidak suka, sebagai negara berdaulat, Indonesia harus membangun kombinasi antara sikap yang ramah tetapi juga tegas.

Terbongkarnya penyadapan oleh Pemerintah Australia terhadap beberapa petinggi Indonesia, tahun 2009, memancing respons publik yang kuat. Dalam relasi kehidupan bertetangga antara Indonesia dan Australia, dialektika kerja sama dan ketegangan memang kerap terjadi.

Bukan saja hubungan kerja sama pendidikan, perdagangan dan keamanan dua negara, melainkan juga ketegangan seperti saat tekanan politik Pemerintah Australia terhadap kebijakan Indonesia terkait dengan penyikapan atas Timor Timur (saat Timor Leste menjadi provinsi Indonesia) atau yang terbaru, tuduhan Indonesia menjadi transit para imigran, merupakan contoh penanda ketegangan di antara kedua negara.

Jangan gegabah

Sehubungan dengan persoalan penyadapan dan respons Pemerintahan Australia saat kejadian itu terbongkar, opini publik Australia tidak satu suara, tetapi beragam. Sesaat setelah Perdana Menteri Tony Abbott menyatakan penolakannya meminta maaf kepada Indonesia, sebagian besar kalangan terdidik—bahkan beberapa politisi—menyatakan kekecewaan dan kritik atas tindakan arogansi tersebut.

Profesor Tim Lindsey, pakar hukum Asia dari Melbourne University, di ABC News, menyatakan, semestinya sikap Abbott tak memancing ketegangan terkait dengan kasus ini. Semestinya ia memberikan penanganan yang lebih arif, seperti halnya ketika Presiden Barack Obama meminta maaf kepada PM Jerman Angela Merkel atas kasus serupa. Komentar senada juga diutarakan Senator Scott Ludlam dari Partai Hijau Australia.

Keberagaman sikap dari khalayak publik Australia perlu kita renungkan. Hal ini agar khalayak publik di Indonesia tidak pula terpancing dan merespons secara gegabah kasus ini dengan menganggap sikap Pemerintah Australia setali tiga uang dengan sikap masyarakat Australia. Persepsi-persepsi seperti itu hanya akan membawa pada suasana tidak produktif dan memancing sikap chauvinistic seperti terlontar pada slogan Ganyang Australia dan membutakan kita atas opini-opini di masyarakat Australia atas sikap pemerintahnya.

Sejauh ini sikap yang diambil Pemerintah Indonesia cukup baik dengan memulangkan Duta Besar RI di Australia, tetapi belum cukup. Seperti yang kita lihat, Abbott ternyata menolak meminta maaf kepada Pemerintah Indonesia atas kejadian ini. Tindakan lebih tegas seperti keberanian Pemerintah Indonesia memulangkan diplomat Australia di Indonesia bisa menjadi salah satu pilihan kebijakan.

Terkait dengan pilihan kebijakan untuk merespons kekerasan sikap Pemerintah Australia, kita perlu mengalkulasi kepentingan nasional kita. Pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan adalah apakah kepentingan nasional lebih rugi atau tidak ketika kebijakan penurunan hubungan diplomatik yang lebih jauh diambil. 

Setidaknya ada beberapa hal yang secara strategis dapat kita kalkulasi.
Pertama, kita dapat memperhitungkan konsekuensi dari pilihan diplomatik yang lebih tegas secara geoekonomi. Posisi geopolitis dari Australia di bagian selatan wilayah Indonesia dan kepentingan Australia atas negara-negara Asia Tenggara dan raksasa ekonomi China dalam hubungan perdagangan ataupun kerja sama internasional sebenarnya lebih menempatkan Indonesia pada posisi strategis sebagai mediator Australia.

Dalam konteks relasi dengan Asia Tenggara, industri pengolahan makanan Australia, misalnya, menjadikan negara-negara Asia Tenggara sebagai konsumen utama. Dalam kurun 2012-2013, perekonomian Asia Tenggara tumbuh stabil, dengan Asia Tenggara menjadi target prioritas ketiga dalam perdagangan dengan raksasa ekonomi China setelah Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Indonesia secara perekonomian menyumbang 50 persen ekonomi Asia Tenggara. Dengan posisi seperti ini, Australia sangat membutuhkan Indonesia untuk membangun kerja sama, baik dengan Asia Tenggara maupun untuk menjangkau pasar yang lebih besar, yaitu China. Penurunan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia hanya akan merugikan Australia dalam konteks geoekonomi.

Kedua, Pemerintah Australia juga lebih membutuhkan Indonesia dalam rangka membuat kebijakannya—seperti kebijakan imigrasi terkait dengan kedatangan pendatang ke Australia—berjalan lebih efektif. Di sini sebenarnya salah satu contoh kecerobohan Tony Abbott, alih-alih melakukan pendekatan yang halus, Pemerintah Australia kembali secara arogan menyatakan Indonesia sebagai negara transit para pencari suaka.

Apabila penurunan hubungan Australia dan Indonesia diteruskan berlarut-larut, Pemerintah Australia yang akan mengalami kerugian terkait dengan implementasi kebijakan imigrasi yang mengundang banyak kontroversi di internal Australia. Secara tidak langsung, Pemerintah Indonesia melalui tekanan politiknya dapat mendesak Pemerintah Australia untuk mengubah kebijakan Australia yang mulai menutup diri terhadap pencari suaka. Jaminan terhadap hal itu telah disepakati dalam Konvensi PBB tahun 1951 mengenai status pengungsi.

Posisi tawar

Dua contoh di atas menunjukkan sebenarnya Indonesia memiliki nilai tawar lebih tinggi dalam hubungan diplomatik dengan Australia. Pemerintah Indonesia harus bersikap lebih cerdik dalam mengantisipasi insiden penyadapan. Ketika Pemerintah Australia bergeming terhadap langkah Indonesia memulangkan duta besarnya, perlu kiranya pemerintah mengambil langkah yang lebih tegas untuk menjinakkan Negeri Kanguru.

Terkadang gertakan yang lebih kuat dapat mencairkan suasana seperti dilakukan Soekarno pada kurun waktu awal 1960-an. Presiden Soekarno sempat membangun hubungan yang lebih hangat dan memajukan kepentingan nasional kita dengan pemerintahan AS di bawah Kennedy setelah ada ketegangan menyusul tertangkapnya mata-mata Pemerintah AS, perwira Allan Pope. 

Terkadang tekanan politik dan diplomasi dapat lebih efektif membuat tetangga kita seperti Australia menghormati negara kita dalam pergaulan yang terbuka dalam hubungan bangsa-bangsa yang beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar