Rabu, 06 November 2013

Bahasa Gado-Gado

Bahasa Gado-Gado
Deddy Mulyana   Pengajar di Fikom Unpad
KOMPAS, 06 November 2013


MEMPERINGATI Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2013, seharusnya bahasa Indonesia, yang cikal-bakalnya adalah bahasa Melayu, sudah berkembang, matang, mencerminkan bangsa kita yang bersatu dan berdaulat.

Namun, memperhatikan bagaimana kita—termasuk para tokoh—berbahasa belakangan ini, ada kekhawatiran bahwa perkembangan bahasa Indonesia telah melenceng dari arah yang kita harapkan. Terlalu banyak pengaruh bahasa Inggris dalam tutur kata pejabat, politikus, selebritas, pengusaha, dan 
pendidik.

Di Bandung, begitu banyak baliho dalam bahasa Inggris, terutama berupa iklan yang mempromosikan barang dan jasa. Ini tersua terutama di jalan berkelas: Dago dan Setiabudi. Siapa sasaran baliho dan spanduk itu? Orang Inggris atau orang Indonesia?

Dengan mudah kita temukan sale, discount, for rent, entrance, exit, dan sebagainya, padahal kata atau frasa itu punya padanannya dalam bahasa Indonesia: obral, potongan, disewakan, jalan masuk, jalan keluar, dan seterusnya. Beberapa restoran dan kafe di Bandung, di Jalan Riau misalnya, menggunakan menu dalam bahasa Inggris. Padahal, jarang sekali orang asing mampir di sana.

Dalam pembicaraan sehari-hari, seminar, atau perbincangan di TV, istilah asing berhamburan meski ucapan atau tata bahasanya keliru. Belum tentu pula pembicara itu fasih berbicara jika total dalam bahasa Inggris.

Para pesohor sering menghambur-hamburkan kata campur aduk. ”Aku boring” sebagai pengganti ”Aku bosan”, padahal boring berarti ’membosankan’, sedangkan bosan adalah bored. Lembaga atau perusahaan tak luput dari kekeliruan. Sebuah perusahaan memasang iklan di sebuah surat kabar terkemuka bahwa perusahaan membutuhkan ”sekretaris” dan ”public relations” dengan syarat fasih berbahasa Inggris dan pendidikan minimal S-1. Frasa public relations tidak sejajar dengan kata sekretaris yang merujuk kepada pemegang jabatan. Public relations berarti ’hubungan masyarakat’. Jika yang dimaksud adalah petugas bidang ini, frasanya adalah public relations officer. Itu pun tidak pas karena dipadankan dengan sekretaris yang jika dialihkan ke dalam bahasa Inggris menjadi secretary.

Kesenjangan ini tampaknya sepele. Namun, jika kita setuju bahwa kecermatan berbahasa seseorang adalah kecermatan berpikirnya, kesalahan itu menunjukkan kekacauan berpikir.
Seorang dekan bergelar doktor di sebuah perguruan tinggi di Jakarta dengan enteng mengatakan, ”Para mahasiswa saya exciting bertemu dengan Bapak.” Ia bermaksud mengatakan bahwa mahasiswanya bergairah (gembira), padahal bergairah adalah excited, kata yang lebih tepat dalam kalimat tersebut, sementara excitingberarti ’menggairahkan’. Frasa ”Day Care & Tempat Bermain” pada suatu spanduk di sebuah taman kanak-kanak di Bandung tidak selaras. Frasa day care bisa diganti dengan frasa tempat penitipan anak.

Seorang mahasiswa S-3 dalam disertasinya menggunakan kata single filter bagi seorang kiai pengasuh sebuah pesantren, padahal yang ia maksudkan single fighter. Seorang mahasiswa S-3 lain dalam disertasinya menulis, ”walaupun hanya dalam event-event tertentu”. Dalam bahasa Inggris, kata benda ataupun kata sifat tak dapat diulang.

DPR dan presiden

Bahasa campur aduk ini digunakan pula oleh tokoh nasional yang seharusnya teladan berbahasa. Mereka sering menambahkan awalan me-, di-, bahkan nge-, pada kata kerja dalam bahasa Inggris yang punya padanan dalam bahasa Indonesia. Akbar Faizal, anggota DPR, dalam bincang-bincang tentang kasus Bank Century di Metro TV (31/5/2013) mengucapkan kata ngematch dan mengematchkan, padahal ada sesuai danmenyesuaikan.

Paling ironis, Presiden SBY dalam pidatonya sekitar 30 menit menyelipkan 24 istilah dalam bahasa Inggris pada pembukaan perdagangan perdana saham di Bursa Efek Jakarta (3/1/2011): correct measurement, minimizing the impact of the global economic crisis, dan close to six percent (www. skalanews. com).

Pada 16 Agustus 2012, dalam sidang bersama anggota DPD dan DPR di Kompleks Parlemen, SBY mengucapkan 30 istilah dalam bahasa Inggris, antara lain founding fathers, nation building, joint communiqué, code of conduct, part of the solution, what does Indonesia think?, financial inclusion, platform, growth with equity, danemerging economy. Sejumlah istilah asing itu diucapkannya berulang-ulang (www. bahasa.kompasiana.com).

Bahasa gado-gado tak layak digunakan dalam acara resmi. Seorang penulis blog menganggap kecenderungan itu kelainan mental, penyakit jiwa (moeflich.wordpress.com). Pakar bahasa Indonesia, Yus Badudu, pernah mengingatkan bahwa kita tak boleh mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. ”Kalau berkomunikasi, pakailah bahasa Indonesia. Kalau mau pakai bahasa Inggris, pakai bahasa Inggris. Jangan dicampur. Itu tidak benar,” katanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar