Rabu, 06 November 2013

Hijrah dari Tempurung Ego

Hijrah dari Tempurung Ego
Sumiati Anastasia   Alumnus Program Master University of Birmingham,
Studi Relasi Islam-Kristen
JAWA POS, 05 November 2013


JIKA dibanding dengan berbagai macam tahun baru yang lain, diakui tahun baru Islam Hijriah masih kalah semarak secara lahiriah. Namun, sesungguhnya dari perspektif rohaniah atau spiritual, tahun baru Hijriah memilik makna yang mungkin paling kaya dan mendalam jika dibanding tahun-tahun baru yang lain. Tak sekadar menanggalkan kalender lama dan memasang kalender baru. 

Bila kita membuka lembaran sejarah Islam, Umar bin Khattab (memerintah pada 13-23 H) adalah orang pertama yang menetapkan peristiwa hijrah sebagai awal perhitungan kalender Islam.

Adapun perhitungannya didasarkan pada peredaran bulan (qamariah) yang rata-rata berlangsung selama 354 hari. Karena itu, tahun hijriah lebih pendek 11 hari daripada tahun Masehi (syamsiyah). Meskipun awal Muharam ditetapkan sebagai permulaan tahun Hijriah, peristiwa hijrah itu terjadi pada tanggal 2 Rabiul Awal atau 16 September 622 M. Tahun baru Hijriah terhitung dari hijrah (pindah) Rasul bersama Abu Bakar dari Makkah ke Madinah. Dua orang itu tiba di Yatsrib pada 24 September 622 M (W. Montgomery Watt, 1961: 90-91).

Sungguh tidak gampang bagi Kanjeng Nabi Muhammad dan para pengikutnya untuk melakukan perjalanan 250 mil di bawah terik matahari yang menghabiskan masa tak kurang dari 9 hari dengan fasilitas transportasi masa itu. Di tempat baru (Madinah), Kanjeng Nabi juga menghadapi tantangan yang tidak kecil. Tantangan terbesar adalah mengukuhkan solidaritas sosial di antara warga Madinah yang terpecah belah. Tidak mudah bagi junjungan kita menyatukan mereka yang papa dengan kaum kaya untuk membangun tatanan masyarakat baru yang berkeadaban dan berkeadilan. 

Makna Hijrah 

Ragib al-Isfahani (w 502 H/1108 M), pakar leksikografi Alquran, menjelaskan bahwa hijrah setidaknya mengandung dua makna. Pertama, bermakna fisik seperti hijrah Rasul dari Makkah ke Madinah. Kedua, makna nonfisik atau mental. Yakni, meninggalkan dominasi syahwat, segala bentuk akhlak buruk serta dosa menuju kebaikan yang diridai Tuhan (QS 29:26). Dengan demikian, setiap muslim akhirnya mampu mencapai martabat kemanusiaan yang sejati.

Nah, makna-makna seperti itu jelas memiliki aktualitas dan relevansi dengan kondisi negeri kita pada hari-hari ini yang masih dilanda kemiskinan di satu sisi dan di sisi lain masih penuh dengan korupsi. 

Menurut BPS, pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,07 juta orang (11,37 persen), berkurang 0,52 juta orang jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 sebesar 28,59 juta orang (11,66 persen).

Dari beragam faktor kemiskinan, mungkin warga yang daerahnya minus, rasanya, perlu hijrah ke kawasan yang lebih menjanjikan. Etos ini sebenarnya juga hijrah dari kondisi kampung halaman yang kekurangan ke daerah lain guna meraih masa depan yang lebih menjanjikan. Pak Dahlan pernah menulis, tanpa semangat hijrah dari kampungnya yang tertinggal, sosok sukses seperti Ir Ciputra mungkin tidak akan pernah kita lihat. 

Keadilan dan Bill Gates 

Terkait dengan kemiskinan, suatu kali orang terkaya sedunia Bill Gates ditanya seorang mahasiswa, mengapa di tengah jutaan orang miskin masih bisa muncul orang terkaya seperti Bill? Bukahkah itu sebuah ketidakadilan? Bill menjawab, memang selamanya dunia ini tidak adil. Maka Bill yang mendonasikan 30-40 persen kekayaannya untuk badan amal dan karya sosial serta kesehatan mengajak si mahasiswa untuk lebih baik berani keluar dari tempurung egonya dan menjadi pribadi altruis yang selalu berpikir serta bertindak demi membantu sesama yang kurang beruntung.

Sesungguhnya ada cukup banyak hal yang bisa dilakukan kaum miskin. Kita yang telah dianugerahi keberuntungan bisa tetap berbuat sesuatu untuk mengentas mereka seperti memberikan sembako bagi yang lapar, meminjami modal usaha tanpa bunga, serta menyekolahkan anak-anak mereka. Rasanya kita rindu orang-orang kaya kita memiliki badan amal yang beraksi nyata membantu kaum papa yang sakit dan miskin seperti yang dilakukan Bill Gates. Sebab, ada yang menilai, orang kaya Indonesia dinilai masih terlalu pelit untuk memberi.

Kemudian, jika berbicara kehidupan berbangsa yang terus digerogoti korupsi, kita sungguh dibuat geregetan. Para koruptor sungguh berdosa besar karena hanya berorientasi memenuhi egonya dengan merampok uang negara. Bayangkan seandainya uang itu digunakan orang miskin atau memberi beasiswa anak-anak miskin sampai universitas. 

Akhirnya, Tahun Baru Hijriah 1 Muharam 1435 H, bagi masing-masing warga bangsa, memang bisa dimaknai sesuai dengan sikon dirinya. Namun, jika kita semua mau berhijrah dari pribadi egois menjadi altruis, jelas akan ada perubahan dalam masyarakat kita. Mari kita yang kuat, entah dari sisi materi atau keilmuan, melakukan sesuatu, bukan demi ego kita, tapi demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Bukan retorika, tapi aksi nyata. Selamat Tahun Baru Hijriah. Mari menjadi muslim yang altruis, bukan egois. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar