Strategi
Pasar Politik NU
Flo
K Sapto W ; Praktisi
Pemasaran
|
TEMPO.CO,
19 Mei 2014
Di
tengah kemeriahan koalisi parpol, baik yang sudah mengerucut dalam dua poros
maupun kemungkinan adanya poros tambahan, sebetulnya hampir semuanya terlihat
melakukan hal yang standar. Masing-masing sekadar melakukan lobi sana-sini
dan berkunjung ke sana-kemari. Sangat normatif.
Meski
demikian, jika diamati dengan jeli, ada satu ormas yang terlihat cukup
sistematis mengusung sebuah strategi cerdas. Nahdlatul Ulama (NU) tidak lagi
hendak terjebak dalam sebuah rumah sempit bernama ormas maupun parpol.
Pernyataan "NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana" seolah
telah menemukan aktualisasinya. Apa esensi sosial-politis dari ungkapan itu?
Di dalam
kajian pemasaran, fenomena ini kurang-lebih bisa disamakan dengan keberadaan
relasional antara manufaktur dan trader. Manufaktur adalah institusi yang
menghasilkan produk (kader). Sedangkan trader (parpol, ormas) adalah
institusi yang menjadi saluran distribusi/pemasaran produk ke end user.
NU
sebagai manufaktur tidak perlu lagi selalu melabeli output-nya. Ormas yang
bisa dirunut sejarah berdirinya sejak 1916 (Nadhatul Wathan) ini bahkan
menyediakan produknya untuk diberi label apa saja oleh sejumlah trader. Di
dalam fase inilah, NU justru menunjukkan sebuah strategi pemasaran andal.
Sebab, produknya bisa "dijual" oleh trader mana saja dan
"dibeli" oleh konsumen mana pun.
Hal
terpenting adalah di dalam produk nahdliyin itu telah tersemat fitur-fitur
paham dan ajaran NU. Fitur-fitur tersebut adalah manifestasi dari paham
Ahlussunah Wal Jama'ah (nu.or.id). Lalu, apa saja keuntungan dari strategi
pemasaran ini? Pertama, produk NU menjadi sangat fleksibel di pasar. Kedua,
produk NU menjadi kompetitif, karena tidak harus menanggung biaya distribusi.
Dua keuntungan tersebut kolaboratif telah menjadi keunggulan tersendiri.
Pada
dasarnya NU sudah bertransformasi. Religiositas ke-NU-an tidak lagi terletak
dalam simbol-simbol identitas fisikal, melainkan lebih pada konsepsi
pemikiran, tata perilaku, dan arah tujuan imani. Lalu, bagaimana kaitannya
dengan PKB? Sebagai ormas muslim terbesar, dengan keberagaman pemahaman dan
kedewasaan berpolitik warganya, NU tetap membutuhkan sebuah "rumah"
politik, baik sebagai persinggahan maupun pelatihan politik praktis. PKB
dengan demikian juga berfungsi sebagai pemberi identitas orisinal atas
produk-produknya. Dengan kata lain, NU-baik melalui PKB maupun tidak-tetap
memiliki produk berlabel dan produk tidak berlabel.
Saat ini
memang PKB bersama NasDem sudah memutuskan untuk berkoalisi dengan PDIP.
Namun sebenarnya NU tidak hanya merujuk pada PDIP. Aktualisasi NU melalui
para nahdliyinnya bisa ke parpol apa pun. Secara taktis, NU telah membuka
jendela-jendelanya, sehingga roh NU bisa menyebar keluar dari pesantren dan
musala-musalanya menuju ke segala arah. Sangat cair dan fleksibel. Sungguh
hal ini sebuah perwujudan iman mendalam dalam kerendahan hati sejati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar