Senin, 05 Mei 2014

Potret Pendidikan Ideal

Potret Pendidikan Ideal

Edi Sugianto  ;   Pemerhati Pendidikan
REPUBLIKA, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Generasi bangsa Indonesia saat ini memang sudah benar-benar sakit. Pergaulan bebas yang kian marak di tengah-tengah mereka seakan tak terbendung.
Proses modernisasi yang tak terbendung akan menghancurkan karakter dan budaya bangsa hingga titik nadir. Seks bebas, minum-minuman keras, dan sejenisnya sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan remaja. Tentu kita akan mengelus dada, apa yang salah dengan pendidikan kita, sistem atau orang yang menjalankannya? Di mana lagi anak-anak kita akan disekolahkan?

Tujuan pendidikan nasional kita sepertinya sudah mati suri. Kurikulum pendidikan moral, agama, karakter di sekolah-sekolah hanya sebatas teori kosong. Kurikulum yang sama sekali tidak memberi bekas terhadap watak dan budaya siswa.

Tanpa maksud menafikan lembaga lain, bahwa masalah karakter rupanya lembaga sekolah di negeri ini harus belajar banyak dari tradisi "pesantren". Sebab, karakter bukan pelajaran di atas kertas, melainkan sesuatu yang memerlukan pembudayaan dalam kehidupan sehari-hari, secara kontinu selama 24 jam, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dan pesantren eksis dengan budaya tersebut.

Rencana Kemendikbud menjadikan pendidikan karakter dan antikorupsi menjadi utopis, sebab pendidikan karakter tidak lain adalah pembudayaan itu sendiri. Budaya Islami, tarbawi dan ma'hadi (baca: pendidikan pesantren).

Pendidikan karakter dimaknai seperti garam yang selalu memberi rasa pada setiap pembelajaran di sekolah. Tidak seperti gincu yang hanya menghiasi kecantikan palsu belaka.

Di pesantren, kurikulum 24 jam disebut dengan "kurikulum berbasis hidup dan kehidupan". Sejak dini para santri/siswa dibekali pamahaman hakikat mencari ilmu (thalibul ilmi). Bahwa tujuan mencari ilmu semata-mata untuk mengabdi kepada Tuhan Sang Pencipta semua ilmu. Bukan ilmu untuk sekadar ijazah, title, cari kerja, dan tujuan-tujuan sempit lainnya. (Al-Amien: 2008)

Pemahaman hakikat mencari ilmu tersebut, sesungguhnya tecermin dari fungsi implementasi manusia sebagai hamba (a'bit) sekaligus wakil (khalifah) Tuhan di muka bumi. Khalifah yang menjaga bumi dari kehancuran fisik ataupun nonfisik (fitrah manusia).

Keunggulan pesantren Idris Jauhari (2002) menyatakan bahwa pendidikan pesantren tidak hanya berciri khas budaya karakter. Lebih dari itu, pesantren memiliki keunggulan-keunggulan (exelences) yang sudah lama membudaya. Dan akhir-akhir ini juga baru didengungkan dan dirasakan lembaga-lembaga lain.

Pertama, Community Based Education. Sebagai lembaga pendidikan yang berasal, dikelola oleh dan untuk umat. Tentu fungsi pengabdian dan pember- dayaan masyarakat (agent of social development) sudah menjadi praktik sehari- hari di lingkungan pesantren.

Kedua, School Based Manegemen. Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan bagian dari kebijakan desentralisasi yang digulirkan pemerintah tempo lalu, dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan sekolah. MBS tersebut sangat penting diimplementasikan, mengingat pengelola sekolah menempati posisi paling dekat dengan anak didik.

Penerapan sistem MBS diyakini akan memudahkan kepala sekolah untuk mengatur para guru dan permasalahan di sekolah dengan efektif, efisien, sehingga pembelajaran yang dilakukan lebih produktif. Dan juga akan meningkatkan hubungan harmonis dengan masyarakat sehingga dengan mudah melibatkan mereka secara aktif dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan sekolah dan pendidikan.

Paradigma MBS sudah lama terpatri dalam ruh pendidikan pesantren. Sebab, pesantren berdiri di atas prinsip-prinsip perjuangan, pengorbanan, jihad, ijtihad, mujahadah. Dan dijiwai oleh kemandirian, keiklasan, kesederhanaan, percaya diri, persaudaraan, kebersamaan, serta kebebasan berpikir positif dan produktif.

Ketiga, berbasis pembelajaran bukan pengajaran. Seperti dijelaskan di atas, bah wa dalam pendidikan pesantren yang lebih mengutamakan upaya-upaya pengasuhan, pembinaan, dan pembudayaan. Guru tidak sekadar mengajar, namun harus siap menjadi teladan (uswah), sahabat siswa (shuhbah), dan dai (dakwah).

Keempat, Competence Oriented. Il mu nafi' (bermanfaat) menjadi orientasi utama dalam pendidikan, karena pendidikan pesantren tidak saja bertujuan mencetak manusia kompeten dari sisi kognitif, psikomotorik, melainkan terintegral dengan kompetensi afektif (sikap). Sehingga ilmu yang dimiliki siswa hendaknya diamalkan dengan benar (berilmu amaliyah) dan tindakannya di lakukan atas dasar ilmu (beramal ilmiyah). Tak berlebihan jika dikatakan, pesantren sebagai lembaga pendidikan, layak dijadikan contoh ideal bagi lembaga-lembaga pendidikan modern. Sebab, di satu sisi pesantren memiliki visi dan misi yang begitu integral, progresif, dan proporsional.

Pada sisi lain, sistem dan dinamika pendidikan pesantren pun berjalan sangat akrab dengan kehidupan masyarakat. Hal ini lahir dari prinsip Mutual-Binift; pendidikan tak akan pernah berkembang tanpa masyarakat dan masyarakat pun akan lunglai tanpa pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar