Pesan
Kedaulatan Pangan dalam Pilpres
Posman
Sibuea ; Guru Besar Tetap Unika Santo Thomas Sumatera
Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research
(Tenfoser)
|
KORAN
SINDO, 22 Mei 2014
Pesta
demokrasi untuk pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden (pilpres)
yang sudah dan akan berlangsung pasti akan memberi pengaruh pada perjalanan
kehidupan bangsa ini ke depan.
Mereka
yang terpilih untuk duduk di Senayan sebagai wakil rakyat akan berperan untuk
mengawasi jalannya pembangunan dan sekaligus membuat undang-undang. Sementara
itu, presiden yang terpilih akan menyusun kabinetnya yang akan berperan
sebagai eksekutif untuk mengelola republik ini. Dinamika pertumbuhan ekonomi,
peningkatan kualitas pendidikan, dan pengembangan mutu kesehatan masyarakat
akan amat bergantung pada kualitas anggota DPR yang terhormat dan kinerja
presiden beserta kabinetnya untuk mengelola negara ini dalam kurun waktu lima
tahun ke depan.
Salah
satu yang terpenting dan tak bisa dilupakan adalah bagaimana pembangunan
kedaulatan pangan guna mengurangi pangan impor yang selama ini membanjiri
pasar Indonesia yang berdampak pada kesejahteraan petani lokal yang makin
menurun. Indonesia sudah terperangkap dalam sistem pangan impor berbiaya
mahal. Revitalisasi pertanian yang diproklamasikan pemerintahan SBY pada
tahun 2005 ternyata tidak membawa perubahan dalam cara kita mengelola
pembangunan kedaulatan pangan.
Pemerintah
masih dengan gampang membuka keran impor pangan strategis seperti beras,
daging sapi, gula, jagung, dan kedelai. Para elite politik dan ekonomi
terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas untuk mencukupi kebutuhan
pangan tanpa memikirkan konsekuensi terhadap petani lokal. Sungguh ironis
ketika Indonesia sudah merdeka 69 tahun dan memiliki kekayaan sumber daya
pangan lokal tetapi masih mengandalkan pangan impor untuk memperkuat
ketahanan pangan.
Harga Mati
Presiden
Soekarno yang menempatkan pembangunan kedaulatan pangan sebagi prioritas
utama. Dalam pidatonya saat peletakan batu pertama pembangunan Gedung
Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia di Bogor, enam puluh dua tahun
lalu, Presiden pertama RI ini mengatakan ”...
apa yang saya hendak katakan itu, adalah amat penting, bahkan mengenai soal
mati-hidupnya bangsa kita di kemudian hari ... oleh karena, soal yang hendak
saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat”.
Implikasi
pidato ini adalah kebijakan pemerintah dalam pertanian mesti berpihak pada
petani sebagai fondasi untuk membangun kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan
terkait dengan kemandirian petani dalam melakukan kegiatannya. Petani yang
berjumlah sekitar 100 juta jiwa atau 26,13 juta rumah tangga (BPS 2013)
merupakan komunitas terbesar di negeri ini acap dilupakan. Namun di kalangan
politikus saat berlangsung kampanye pileg, kaum tani menjadi primadona guna
mendulang suara. Konon, dalam setiap pidato “politik” ketua umum partai
disebutkan akan membela petani dan berjanji meningkatkan kesejahteraan petani
secara signifikan.
Pemilihan
tema kedaulatan pangan akan mewarnai kampanye Pilpres 2014. Hal ini patut
diapresiasi mengingat Indonesia kaya dengan pangan berbasis sumber daya lokal
yang memiliki nilai gizi tinggi. Sebagai kebutuhan dasar, pangan senantiasa
harus tersedia dalam bentuk beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk
dikonsumsi. Namun, belakangan ini negeri agraris ini terjebak dalam sistem
pangan impor yang amat mahal. Patut disadari, ancaman krisis pangan menjadi
bayang-bayang menakutkan bagi sebagian bangsa, termasuk Indonesia.
Harga
pangan yang makin mahal menjadi bola liar yang sulit dikendalikan,
menggelinding mendominasi konstelasi dan arsitektur geopolitik. Krisis pangan
yang terus membayangi warga dunia membuat setiap negara berupaya
menyelamatkan kepentingan masing-masing dan membatasi ekspor. Fenomena ini
perlu disikapi dengan mengoptimalkan pemantapan sumber daya lokal untuk
perwujudan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Mengonsumsi produk
pangan lokal berarti melepas kebergantungan impor, sekaligus menjadi langkah
awal menuju kebangkitan nasionalisme pangan.
Memperkenalkan
kembali budaya makan lokal yang saat ini sedang tren di sejumlah daerah patut
mendapat apresiasi dari para capres. Sekadar menyebut contoh masyarakat
Sumatera Utara mengampanyekan manggadong
(mengonsumsi produk olahan ubi) sebagai salah satu program yang mendukung
penguatan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti tertuang dalam
UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Saat
sarapan, makan siang, maupun malam, ritual manggadong bisa dinikmati bersama anggota keluarga. Kearifan
lokal seperti ini patut diangkat kembali guna menumbuhkan nasionalisme pangan
di tengah masyarakat. Hilangnya budaya makan lokal tidak terpisahkan dari
pesatnya perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan
berbasis gandum. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri
pangantelah menghabisi napas kearifan lokal manggadong. Dengan penguasaan
teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi
dan perdagangan pangan. Harga pun mereka kendalikan.
Struktur
oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan
baru bernama food capitalism Persoalan pangan mulai dari hulu hingga hilir
kini dimainkan dalam irama pasar global. Di tengah kian terbukanya pasar
bebas, Indonesia menghadapi persoalan yang sangat serius dalam memperkuat
kedaulatan pangan. Urusan pertanian dan pangan yang seharusnya mendapat
kontrol negara secara penuh kini diserahkan kepada mekanisme dan kebuasan
pasar. Tak pelak lagi, ketahanan pangan nasional akan semakin rapuh karena
dikuasai korporasi kapitalistik yang makin liberal.
Padahal,
sejarah mencatat bahwa energi yang mampu menggerakkan kedaulatan pangan (food sovereignty) adalah kearifan
lokal. Nenek moyang kita telah membuktikan itu. Bahan pangan lokal mulai
jagung, pisang, sagu, sorgum hingga berbagai jenis ubi tersebar di seantero
negeri. Lewat kearifan lokal yang dimiliki, bahan pangan tersebut
dikembangkan secara baik sebagai makanan pokok sekaligus memperkuat ekonomi
domestik. Namun, kedaulatan pangan yang diwariskan para leluhur kini
digadaikan kepada negara maju yang menganut paham ekonomi neoliberal.
Indonesia dibanjiri pangan impor, baik dalam bentuk segar maupun olahan.
Kampanye
masif produk pangan olahan terigu yang dilakukan negara-negara penghasil
gandum selama 40 tahun lebih berhasil menggeser kearifan lokal ke produk
pangan global. Roti dan mi “balap” instan berbahan terigu menjadi makanan
keseharian kita. Manggadong dan
berbagai pangan lokal lain tinggal kenangan.
Penjajahan Model Baru
Harapan
masyarakat kepada presiden terpilih ialah untuk mewaspadai penjajahan model baru
yang diperkenalkan negara-negara maju. Mereka mengendalikan pangan lewat
penguasaan ilmu dan teknologi pangan untuk menjadi senjata ampuh guna
menjajah bangsa lain. Bagi negara yang amat bergantung pada pangan impor,
akan mudah diintervensi oleh negara kaya untuk memasarkan berbagai produk
pangan olahannya. Dalil Henry Kissinger yang amat terkenal “control oil and you control nations;
control food and you control the people” terus menggema hingga kini.
Implikasinya
sebagian besar produk pangan dunia ada dalam genggaman Amerika Serikat.
Jargon AS memberi makan dunia menjadi sebuah kenyataan yang fenomenal. Dengan
penguasaan ilmu dan teknologi pangan, Negeri Paman Sam mengontrol rantai
pasokan makanan secara integratif dari hulu hingga hilir. Bibit, pupuk,
pestisida, pengolahan, distribusi, perdagangan dan harga berada di bawah
kendali mereka. Bahkan, mereka mampu mengintervensi kebijakan pemerintah
dalam pengembangan ketahanan pangan berbasis transgenik (GMOs), produk dari
sebuah korporasi yang sarat modal.
Kebijakan
pemerintah yang sedang menggalakkan program rumah pangan lestari lewat
pemanfaatan lahan pekarangan dalam memperkukuh sumber penganekaragaman
konsumsi pangan merupakan upaya untuk memperkuat kedaulatan pangan. Untuk
itu, pemerintah patut mempromosikan keberlanjutan produksi pertanian
keluarga, berskala kecil dan terdiversifikasikan guna menggantikan peran
pertanian industrial kapitalistik yang acap merugikan petani lokal guna
meraup untung besar.
Belajar
dari peristiwa krisis pangan yang turut menjatuhkan Soeharto dari singgasana
kekuasaan, DPR dan presiden hasil Pemilu 2014 patut membangkitkan kembali roh
nasionalisme pangan di seluruh negeri. Nasionalisme yang satu ini kian
penting dimaknai di tengah perjalanan waktu dan isyarat zaman yang
memosisikan pangan sebagai kekuatan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar