Perilaku
Otentik Siswa dan Guru
Suyono
; Guru Besar Fakultas Sastra Universitas
Muhammadiyah Malang
|
KOMPAS,
22 Mei 2014
PERILAKU
otentik siswa dalam belajar dan guru dalam mengajar perlu terus diupayakan.
Siswa idealnya bersemangat untuk memahami, bahkan memecahkan, berbagai
masalah yang muncul di sekitarnya. Intinya, mereka belajar memahami dan
memikirkan lingkungannya agar siap saat memasuki kehidupan, bukan hanya saat
menghadapi ujian.
Kalaupun
ada ujian, itu hanya sebagian kecil pengalaman belajar yang perlu dilewati.
Ujian bukan segala-galanya, hanya bagian kecil dari proses besar yang namanya
belajar. Hakikat belajar yang sesungguhnya adalah berpikir dalam arti
seluas-luasnya.
Belajar
mengondisikan siswa berpikir, memahami fakta, konsep, prinsip, dan prosedur
yang terkait dengan berbagai disiplin ilmu untuk memecahkan masalah. Itulah
esensi belajar yang sesungguhnya perlu diciptakan guru.
Guru
sebagai manajer kelas idealnya menjadi penyedia fasilitas, penyiap kondisi,
pendamping siswa, mitra siswa, pencerah, dan sumber inspirasi bagi siswa
dalam belajar.
Guru
idealnya mengondisikan siswa belajar benar, bukan hanya menjelaskan,
memindahkan pengetahuan, serta mendampingi siswa berlatih mengerjakan soal
dan membahasnya.
Kenyataannya,
saat ini yang terjadi sebaliknya. Perilaku otentik guru yang memfasilitasi,
menyediakan sumber belajar, mendampingi siswa belajar berpikir dalam arti
yang seluas-luasnya tereduksi sangat nyata. Guru cenderung hanya menyiapkan
siswa menghadapi ujian.
Bagaimana
dengan berbagai ujian yang diberikan kepada siswa saat ini? Sebenarnya,
berlatih mengerjakan berbagai model soal itu bukan sepenuhnya salah. Akan
tetapi, siswa bersemangat belajar hanya karena ada ujian adalah contoh
perilaku yang tidak otentik.
Sebaliknya,
ada atau tidak ada ujian, siswa bersemangat mencari sumber, membaca, dan
mendalaminya adalah perilaku otentik yang semestinya diciptakan.
Mereka
berbuat bukan karena ada ujian, melainkan karena menyadari bahwa kehidupan
yang akan dimasuki tantangannya semakin berat dan mereka harus bisa bertahan.
Guru memfasilitasi siswa berperilaku otentik bukan karena siswanya akan
menghadapi berbagai ujian, melainkan karena menyadari bahwa siswanya kelak
akan berjuang di tengah masyarakat, menghadapi persoalan yang semakin
kompleks.
Berikut
disajikan beberapa ilustrasi. Ketika siswa harus mempelajari topik koperasi,
misalnya, siswa tidak boleh hanya membaca pengertian dan ciri-ciri koperasi,
syarat pendirian koperasi, dan pasal-pasal dalam Undang-Undang Koperasi.
Lebih dari itu, guru wajib menyediakan beragam bacaan tentang koperasi,
termasuk berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi koperasi di tengah
pertarungan ekonomi global.
Ada
contoh-contoh keberhasilan koperasi di Denmark atau negara-negara lainnya.
Ada upaya analisis kegagalan koperasi di Indonesia. Paling tidak, untuk
kawasan ASEAN, bagaimana kita bisa membawa koperasi benar-benar menjadi saka
guru perekonomian nasional?
Ilustrasi
lain, ketika mempelajari tumbuhan atau tanaman dalam biologi, misalnya
tentang tomat, siswa tidak hanya membaca dan menghafal bahwa tomat itu
termasuk tumbuhan monokotil dan ciri-ciri tumbuhan monokotil, tetapi lebih
jauh dari itu.
Siswa
diajak membaca beragam teks untuk memperoleh pemahaman menyeluruh dan
mendalam tentang tomat, mulai dari memilih benih sampai ekspor saus tomat,
kemudian mendiskusikan dan jika mungkin mempraktikkannya.
Dengan
tawaran kebijakan dan praktik pendidikan/pembelajaran yang otentik di atas,
apakah ujian tidak diperlukan lagi? Ujian tetap perlu diadakan.
Hanya
saja, semangatnya bukan untuk menagih ingatan siswa—seperti yang terjadi saat
ini—setelah mereka membaca dan menghafal paket-paket materi yang kering,
melainkan untuk mengondisikan agar siswa gemar membaca, belajar berpikir
secara kritis, mendalam, dan komprehensif, serta belajar memecahkan berbagai
masalah nyata di sekitarnya.
Dengan
demikian, model ujiannya secara otomatis perlu dimodifikasi, tidak lagi
didominasi bentuk pilihan ganda seperti saat ini. Pilihan ganda sangat
dibatasi, itupun hanya untuk pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya
benar-benar hanya satu, tidak ada jawaban alternatif.
Model
pertanyaan yang ditonjolkan adalah analisis kasus, berbasis masalah, berbasis
proyek, dan latihan eksperimen. Sekalipun ada sedikit pertanyaan pilihan
ganda, pemberian bentuk soal seperti itu semangatnya untuk membiasakan siswa
menguasai setiap topik, mulai dari yang sederhana, sekadar data ingatan,
misalnya, sampai ke persoalan yang kompleks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar