Senin, 05 Mei 2014

Perspektif Pemilu 2014

Perspektif Pemilu 2014

Daoed Joesoef  ;   Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS,  05 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
UNTUK mengetahui apa hakikat yang menggejolak di pemilu kita dalam rangka ”demokrasi”, kita perlu bertindak bagai kimiawan, yaitu memilah-milah unsur-unsur konstitutif, atau ingredients, dari pemilu tersebut. Ada di situ tiga unsur hakiki: (a) suatu mitos yang tidak pernah berubah; (b) suatu keputusan historis tentang kelompok penguasa negara-bangsa yang terpilih sesuai dengan perkembangan zaman; dan (c) suatu ramuan citra tentang sosok pemimpin andalan.

Akronim pemilu selalu mengandung kata-kata misi atau vokasi, terutama ditujukan kepada segmen penduduk berusia kalender muda dan kepemudaan ini pada gilirannya mengacu pada sepasang mitos, Jakobik dan Moseik.

Mitos Jakobik menarasikan seorang ayah dengan beberapa putra; para putra ini berebut restu sang ayah yang menentukan kedudukannya dalam hierarki kepemimpinan mendatang; putra termuda dan tercerdas dan, karena itu, paling dikasihi sang ayah, disingkirkan oleh abang-abangnya; akhirnya, si bungsu inilah, setelah menempuh aneka cobaan berat, yang mendapatkan hak-kelahiran (kepemimpinan) keluarga.

Mitos Moseik menarasikan kisah dramatis tentang pembebasan kaum Yahudi dari perbudakan dan penjajahan Pharao (Firaun) oleh Moses. Sementara mitos Jakobik menjelaskan natur dari misi historis, si bungsu yang cerdas memenuhi mandat suatu Higher Established Order. Jika isi primer dari setiap mitos tadi disinergikan, mitos Moseik berupa pemberontakan terhadap ketidakadilan, mitos Jakobik berupa pemunculan dari suatu elite baru, suatu kelompok (kelas) kepemimpinan baru, dalam kosmos politis.

Mengenai keputusan historis tentang kelompok penguasa negara-bangsa yang terpilih sesuai dengan perkembangan zaman, ia terkait dengan hasrat mengadakan reformasi. Bukankah setiap zaman punya masalahnya sendiri yang unik? Masalah baru memerlukan cara pemecahan yang baru pula. Sedangkan para penguasa selama ini mengesankan sibuk membangun kemampuan kedudukannya sendiri yang bermuara pada korupsi. Sebab, bukan kekuasaan itu an sich yang koruptif, tetapi nafsu mengabaikan kekuasaan, ketagihan menikmati aneka privilese yang terkait dengan kedudukan penguasa, dengan melibatkan seluruh keluarga demi pembangunan suatu dinasti politik at all costs. Maka, perlu ada pergantian demi pembaruan.

Pemimpin diperlukan karena Indonesia, selaku negara yang beradab, meniscayakan adanya suatu pemerintahan. Walaupun pemerintah adalah rakitan manusia, ia adalah ”alami”, sama alaminya dengan kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan. Maka, agar pemerintah ini bisa berfungsi secara efektif, as it should be, ia memerlukan seorang pemimpin yang andal dan bisa diandalkan. Lebih-lebih jika mengingat bahwa ”negara” adalah ”bangsa yang terorganisasi”, bukan kelompok barbarian.

Namun, setelah memperhatikan dengan saksama sepak terjang para demokrat kita memperjuangkan aspirasi masing-masing dalam pemilu, harus saya akui, hati menjadi risau bercampur cemas. Betapa tidak! Lewis S Feuer menyimpulkan bahwa mitos Moseik adalah drama dari pemuda intelektual yang tergerak oleh selfless idealism, oleh pure generosity, merasa terpanggil mengakhiri eksploitasi human dan, dengan berbuat begitu, dia mengalami siksaan penjara serta menderita di pengasingan. Kesimpulan ini benar sekali apabila mengenai pemuda Indonesia prakemerdekaan.

Nurani sendiri

Peristiwa ”Soempah Pemoeda” mereka cetuskan atas pertimbangan nuraninya sendiri, bukan akibat dorongan para tetua, justru untuk menunjukkan perbedaan antara mindset jenuin mereka dan mindset tradisional para tertua. Lagu ”Indonesia Raya” digubah bukan atas ”pesanan” pihak lain. Walaupun ada hambatan dari pihak penjajah dan sampai tingkat tertentu dari pihak tetua kolot, adalah benar bahwa para pemuda tersebut tetap gigih memimpin bangsanya dan berhasil meraih kemenangan historis.

Sebaliknya, para pemuda pascakemerdekaan, yang kini diagung-agungkan oleh para politikus sebagai ”harapan bangsa”, tergerak oleh lambaian pemimpin parpol, bergerak atas ”petunjuk” orang-orang (tertua) yang merasa terpanggil untuk memimpin Indonesia ke depan dengan ”dukungan” pemuda. Orang-orang ini memberikan pemuda-kadernya identitas lahiriah berupa kostum seragam, lalu membariskan mereka dengan wajah kaku bagai robot ketika barisan itu diperiksa oleh para calon presiden mendatang. Bukankah praktik dan cara-cara kaderisasi seperti ini persis dengan apa-apa yang dulu dilakukan Hitler dan Mussolini ketika kedua diktator tersebut sedang membangun kekuasaan politiknya.

Pemimpin Nazi Jerman membentuk barisan pemuda. Hitler Jugend. Dia menukar lambang negara dengan lambang parpol, swastika, dan lalu menukar negara dengan partai dan, akhirnya, menukar partai dengan pribadinya. Dengan kata lain, Hitlerisme adalah politika sebagai autografi individual, ”ein Volk, ein Reich, ein Führer”.

Fasisme Italia bermula dari gerakan pemuda-mahasiswa yang disetir oleh Mussolini, orang yang merasa terpanggil untuk menjadi pemimpin agung bangsanya. Dialah yang mengingatkan para intelektual muda ini bahwa misi mereka adalah menyelamatkan rakyat dari kehinaan dan indisiplineritas. Sesudah berhasil merebut kekuasaan negara, fasisme tetap mempertahankan banyak karakteristik gerakan mahasiswa. Begitu rupa hingga nyanyian populer mahasiswa dijadikan himne fasis, ”Giovinezza”. ”Pada hari kemenangan ini,” kata Mussolini, ”seluruh Italia hanya berusia 20 tahun!”

Memang diperlukan pergantian penguasa negara-bangsa agar sesuai dengan perkembangan zaman. Hidup dan kehidupan memang merupakan suatu misi. Seluruh skema sejarah melebur sendiri menjadi pola dari misi suksesif. Setiap zaman, memang, punya keyakinannya sendiri. Setiap sintesis mengandung ide dari suatu tujuan, dari suatu misi. Dan setiap misi punya instrumen khusus sendiri, kekuatan khusus sendiri dan penggerak khas sendiri.

Namun, sejak awal reformasi tidak pernah ada ”kekhususan-kekhususan” sendiri yang fundamental berbeda dengan tata cara dan kerja dari Orba yang dijatuhkannya. Selama kampanye Pemilu 2014 ini pun, pidato yang berapi-api dari para kontestan di tengah demonstrasi kekuatan yang serba spektakuler, dan tentunya berbiaya sangat besar, tidak ada yang mengetengahkan sesuatu yang betul-betul baru dan khas, termasuk yang mengenai pembangunan bangsa yang begitu mendesak dan menentukan. Semua caleg dan capres berniat mengubah angka pertumbuhan dari satu menjadi dua digit tanpa menguraikan ”mengapa” dan ”bagaimana”. Semua itu berbau demagogis dan serba klise.

Kurang terdidik

Sejauh yang mengenai sosok pemimpin, pencitraannya memanfaatkan gambaran yang rata-rata hidup di benak mayoritas pemilih, yaitu rakyat yang kurang terdidik. Gambaran itu berupa manusia spesial yang memimpin serbuan ke benteng penjajah demi merebut kembali kemerdekaan nasional. Selama mitos ini menguasai benak, ia tetap memperkuat fokus dan peristiwa jangka pendek serta pahlawan karismatis dan bukan pada kekuatan sistemik dan pembelajaran kolektif, apalagi pada tuntutan demokratis. Citra kepemimpinan tersebut berdasarkan asumsi ketidakberdayaan rakyat, ketiadaan visi personal dan ketidakmampuan menguasai kekuatan pembaruan, yaitu kekurangan-kekurangan yang bisa diperbaiki dan atasi hanya oleh sedikit pemimpin besar, yang kini dicitarasakan berupa pemimpin parpol atau keturunan pejuang.

Demikianlah, Pemilu 2014 yang semata-mata mengandalkan kuantitas pemilih, saya khawatir hanya menghasilkan perubahan orang di kursi pemerintahan, bukan perubahan konseptual, apalagi visioner, dalam mengelola negeri. Namun, spirit dari politik modern bukanlah harapan tetapi waspada. Pengalaman zaman reformasi semakin mengingatkan kita betapa para reformis menata refleksi politis mereka di seputar pertanyaan yang keliru, yaitu ”siapa yang paling eligible untuk memerintah?” Sedangkan pertanyaan yang tepat kiranya berbunyi ”bagaimana kita mencegah agar yang terburuk tidak terjadi?!”

Di antara yang terburuk itu adalah huru-hara, chaos. Para diktator menyadari bahwa kekuasaan absolut tergantung pada huru-hara, bukan sekadar huru-hara yang memfasilitasi perebutan dan kemanusiaan yang beradab tidak berdaya menghambat tsunami kekuasaan. Dalam rangka totaliterianisme, teror bahkan bisa sembarangan, terhadap siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar