Relasi
Upah dan Produktivitas
A
Prasetyantoko ; Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
05 Mei 2014
ADA satu
pertanyaan menarik terkait Hari Buruh Internasional 1 Mei. Benarkah tenaga
kerja kita tidak produktif? Laporan Daya Saing Global 2013-2014 terbitan
Forum Ekonomi Dunia menunjukkan skor upah dan produktivitas tenaga kerja kita
4,4, setara dengan Thailand dan Kamboja. Adapun skor Vietnam 4,7; Laos 4,8;
dan Malaysia 5,2, sama dengan Singapura. Kita hanya lebih baik daripada
Filipina dengan skor 4,2. Melihat konstelasi itu, posisi produktivitas tenaga
kerja kita memang berat.
Parahnya,
faktor lain memperburuk daya saing sehingga posisi kita dalam Masyarakat
Ekonomi ASEAN sungguh mengkhawatirkan. Meskipun skor produktivitas Filipina
lebih rendah, suku bunga acuan bank sentralnya hanya 3,5 persen. Bandingkan
dengan bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI Rate 7,5 persen. Meskipun
produktivitas kita sama dengan Thailand, infrastruktur mereka jauh lebih
baik. Kamboja tak bisa dianggap enteng. Tahun ini daya saing mereka melonjak
23 peringkat, menandai perubahan progresif dalam lingkungan bisnis mereka.
Upah dan
produktivitas memiliki implikasi luas dalam perekonomian. Membaiknya upah dan
produktivitas akan diikuti kenaikan produksi nasional dan investasi.
Selanjutnya, pendapatan masyarakat meningkat dan akhirnya permintaan domestik
juga naik. Siklus ini akan kembali mendorong produksi yang diikuti kenaikan
upah. Sebaliknya, stagnasi akan terjadi tatkala kenaikan upah tak diiringi
peningkatan produktivitas. Produksi nasional dan investasi akan tertekan dan
penyerapan tenaga kerja menurun. Akibatnya, pendapatan masyarakat dan
permintaan domestik pun melemah.
Persoalannya,
penetapan upah selalu terjadi dalam dinamika sosial-politik. Tahun 2013, upah
minimum provinsi DKI Jakarta sudah dinaikkan 44 persen dan kini mereka
menuntut kenaikan 30 persen, bahkan 50 persen. Di mata pengusaha tentu tak
masuk akal. Dari sisi buruh, kenaikan tinggi tetap tak mengejar ketinggalan
pendapatan yang begitu jauh. Politik pengupahan menjadi rumit dalam situasi
ketimpangan yang terus melebar.
Antara
1991 dan 2013 telah terjadi lonjakan drastis upah bulanan nasional sebesar
1.500 persen. Peningkatan upah paling tinggi terjadi pada sektor manufaktur
sebesar 1.600 persen. Namun, upah nominal pekerja di sektor manufaktur tetap
lebih rendah dibandingkan dengan berbagai sektor lain dan hanya lebih baik
dari sektor pertanian sehingga dalam arti tertentu wajar terjadi tuntutan
kenaikan upah secara progresif. Secara nominal, tingkat upah sektor
manufaktur tahun 2013 sekitar Rp 1,6 juta, sedangkan rata-rata upah sektor
pertambangan Rp 2,8 juta dan sektor keuangan Rp 2,6 juta per bulan. Upah
sektor manufaktur hanya lebih tinggi ketimbang sektor pertanian sebesar Rp
800.000.
Dari
perbedaan rata-rata tingkat upah di berbagai sektor, terlihat variasinya
begitu tinggi sehingga isu ketimpangan antarsektor mengemuka. Ketimpangan
tidak hanya terjadi antarsektor, tetapi juga dalam sektor itu sendiri. Di
sektor manufaktur, industri padat modal memiliki tingkat upah lebih baik
daripada industri padat karya. Dan, jika industri besar dan padat modal cukup
lentur pada kenaikan upah, tidak demikian pada industri menengah-kecil padat
karya. Bayangkan, pada industri dengan proporsi upah tenaga kerja sekitar 40
persen dari total biaya produksi, jika terjadi kenaikan 20 persen saja,
dampaknya akan sangat besar pada total biaya produksi mereka.
Bagi
perusahaan dengan modal cukup besar, tekanan biaya tenaga kerja membuat
mereka beralih ke mesin. Jika otomatisasi terjadi secara masif, maka akan
mengancam penyerapan tenaga kerja juga. Dengan demikian, tak salah jika
dikatakan kenaikan upah yang terlalu besar justru akan berdampak negatif
terhadap para pencari kerja. Ke depan, kebijakan pengupahan perlu
mempertimbangkan perbedaan karakteristik tiap segmen industri. Misalnya,
dengan teknik pembobotan berbasis perbedaan karakteristik industri.
Persoalan
upah, tenaga kerja, produktivitas, dan ketimpangan berdialektika secara
dinamis. Kita masih beruntung karena sebagian besar penduduk berusaha
produktif akibat bonus demografi yang kita miliki. Isu produktivitas dan
ketimpangan juga menjadi isu besar di negara maju yang tengah mengalami krisis
hebat, sementara penduduknya semakin menua.
Generasi
yang lahir saat perekonomian global pada puncak kemakmurannya tahun 1970-an (baby boomer) akan pensiun sekitar 25
tahun lagi. Mereka adalah generasi yang relatif mapan secara ekonomi (well-off) dan berpendidikan relatif
baik (well-educated). Usia pensiun
mereka akan diperpanjang sehingga menunda kesempatan kerja bagi generasi
berikutnya. Generasi yang lahir pada saat krisis akan memiliki produktivitas
lebih rendah akibat alokasi biaya pendidikan dan biaya sosial lainnya yang
berkurang.
Di
beberapa negara maju tengah terjadi spiral persoalan yang mematikan. Penduduk
menua dan perlambatan ekonomi akan membuat tingkat tabungan masyarakat
menurun. Karena itu, suku bunga harus dinaikkan agar tabungan bertambah.
Naiknya suku bunga akan membuat harga berbagai aset turun. Investasi sulit
digerakkan sehingga negara maju mengalami apa yang disebut secular stagnation
(The Economist, 26 April-2 Mei).
Kita
tengah menikmati bonus demografi. Namun, kita juga memasuki fase krusial, di
mana prospek kemajuan bangsa akan sangat ditentukan oleh peningkatan
produktivitas tenaga kerja. McKinsey
Global Institute meramalkan Indonesia akan menjadi negara ketujuh terbesar
tahun 2030, dengan syarat pertumbuhan paling kurang 7 persen dan
produktivitas tenaga kerja naik 60 persen.
Peningkatan
produktivitas tenaga kerja akan menjadi salah satu tema paling penting yang
harus menjadi perhatian pemerintahan lima tahun mendatang. Tanpa perhatian
serius, kita berpotensi menjadi negara gagal dalam transisi ekonomi menuju
fase yang lebih tinggi. Kita berpotensi terperangkap sebagai negara
berpenghasilan menengah yang tak mengalami kemajuan berarti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar