Perampas
Suara Rakyat
Ikhsan Darmawan ;
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 02 Mei 2014
Di
tengah pemberitaan hangat yang beredar mengangkat soal caleg yang
(diperkirakan) menang dan kalah serta siapa saja mereka, ada berita yang tak
kalah menarik. Berita itu adalah soal ketidaknetralan penyelenggara pemilu.
Yang
lebih memprihatinkan, keberpihakan itu begitu ”barbar”. Contohnya salah
seorang oknum komisioner KPU Kutai Timur diberitakan mengubah data perolehan
suara. Setelah menemukan sejumlah bukti, termasuk uang tunai Rp40 juta yang
diduga pemberian dari sejumlah caleg kepadanya, dia akhirnya dijadikan
tersangka. Ha, inisial komisioner itu, dijerat Pasal 309 UU No 8 Tahun 2012
tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan ancaman hukuman empat tahun penjara.
Ancaman
hukumannya dapat ditambah sepertiga dari empat tahun karena dia adalah
anggota komisioner. Sebelumnya, di Kecamatan Ciampea, Bogor, terdapat kasus
surat suara yang telah tercoblos. Bawaslu Jawa Barat akhirnya melimpahkan
kasus dugaan kecurangan di Desa Benteng itu kepada Kapolda Jawa Barat karena
sudah masuk tindak pelanggaran pidana pemilu.
Dalam
hal ini, ketua panitia pemilihan diduga terlibat dalam kasus tersebut. Dua
kasus di atas hanya sedikit penggalan kisah curangnya penyelenggara pemilu.
Berdasarkan temuan Bawaslu, didapati pelanggaran kode etik yang dilakukan
penyelenggara pemilu dan direkomendasikan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) untuk ditindaklanjuti. Pelanggaran oleh penyelenggara ini
mencapai 42 kasus (KORAN SINDO, 17/4/2014).
Tentu
ini bukan perkara sepele dan main-main. Kalau kita ingin pemilu negara kita
demokratis, haram hukumnya ada hal seperti ini. Jika merujuk pada kriteria
pemilu demokratis menurut Austin Ranney (1987), ada dua kriteria yang
ditabrak. Pertama, kejujuran dan keterbukaan dalam penghitungan suara.
Kedua,
komite pemilu yang independen, representatif, dan netral/nonpartisan. Apalagi
jika kita berpikir bahwa anggaran negara dari uang rakyat yang diambil untuk
penyelenggaraan pemilu juga tidak sedikit, yaitu 17 triliun, jelas hal ini
mencederai demokrasi dan rakyat Indonesia pada umumnya. Dirampasnya suara
rakyat oleh penyelenggara pemilu jelas berdampak paling buruk terhadap
ketidakpercayaan terhadap pemilu itu sendiri.
Padahal,
kepercayaan terhadap proses dan hasil pemilu juga merupakan poin-poin penting
lain untuk mengukur demokratis tidaknya sebuah pemilu selain electoral laws (aturan pemilu). Belum
lagi pengaturan kelembagaan penyelenggara pemilu kita sebenarnya sudah
dikuatkan oleh sejumlah pilar formal, yaitu UU Penyelenggara Pemilu No 5
Tahun 2011, lembaga-lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu di tingkat
pusat dan daerah), serta DKPP.
Apa yang
salah dan sebaiknya bagaimana memperbaikinya? Pertama, pemilu kita masih
sangat mengandalkan cara-cara manual. Teknologi dan cara elektronik dipakai
baru di dua kegiatan: pendataan pemilih (termasuk mekanisme search engine
untuk calon pemilih memverifikasi apakah mereka terdaftar atau tidak) dan
pengiriman hasil pemindaian form C1 kepada KPU pusat.
Di
aktivitasaktivitas lain seperti memilih (votes
casting) dan menghitung hasil perolehan secara elektronik, KPU tidak
menjamahnya. Padahal electronic voting
dapat menjadi salah satu solusi atas persoalan kecurangan panitia
penyelenggara di samping mempercepat perhitungan dan mengefisienkan anggaran.
Negara tetangga kita, Filipina, mulai ”berani” menggeluti e-voting dalam pemilu mereka.
Evoting
dipakai di negara kepulauan itu pada pemilu presiden mereka tahun 2010 lalu.
Bahwa ada pertanyaan di soal keamanan, kepercayaan, dan apakah hasil dengan e-voting benar-benar aman dari
kecurangan juga menjadi polemik sendiri di dalam negara Filipina. Tapi,
prinsip dasar penggunaan teknologi dalam pemilu adalah memulai mencoba untuk
kemudian dievaluasi terus-menerus agar dapat diperbaiki dan disempurnakan
dalam jangka panjang.
Mengapa
kita belum berani mencoba padahal Filipina sudah memulainya? Salah satunya
karena belum ada keputusan dan keinginan politik dari dua pembuat kebijakan
penting, yaitu pemerintah dan DPR. Padahal, kajian soal teknologi (mesin,
keamanan, dan lain-lain) sudah lama dilakukan BPPT dan kajian sosial politik
telah coba dilakukan kalangan kampus seperti UI.
Kedua,
pengawasan pemilu yang bertahap, tidak mudah, dan cenderung melelahkan.
Aturan pemilu kita menyebutkan bahwa hasil pemilu di tingkat TPS dibawa ke
tingkat di atasnya (PPS ke PPK ke KPU kabupaten/kota ke KPU provinsi lalu ke
KPU pusat). Proses itu memakan waktu berhari-hari, tenaga yang maksimal,
serta biaya yang tidak sedikit. Tidak jarang karena obstacles itu akhirnya
pengawasan makin longgar ketika makin ke tingkat di atasnya.
Berkaitan
dengan poin pertama di atas, jika dilakukan dengan cara elektronik,
pengawasan akan makin pendek alurnya dan seluruh effort lebih mungkin untuk dikonsentrasikan. Ketiga,
penyelenggara pemilu bukan pejabat negara. Kecuali komisioner KPU dan anggota
Bawaslu di tingkat pusat, panitia pemilu di tingkat di bawahnya bukanlah
pejabat negara. Implikasinya mereka tidak perlu melaporkan harta kekayaannya
kepada negara.
Padahal,
memeriksa harta kekayaan penyelenggara pemilu sebelum dan sesudah pemilu amat
penting untuk meminimalisasi kemungkinan adanya bribery alias suap kepada
mereka. Ilustrasi pertama di awal tulisan ini menunjukkan bahwa
ketidaknetralan penyelenggara bertalian erat dengan uang (baca: harta
kekayaan). Kalau hanya menunggu laporan temuan saja dari pihak yang kebetulan
mengetahui praktik haram kongkalikong penyelenggara dan caleg, kita sangat
mengandalkan unsur ”kebetulan” tadi.
Sementara
dengan wajib melaporkan harta kekayaan para penyelenggara, peluang menemukan
pelanggaran akan jauh lebih besar. Kempat, penegakan hukum yang ”belum cukup”
menjerakan. Kelihatannya ini masalah klise, tetapi tentu saja kalau faktor
ini tidak diperkuat, terutama soal sanksi dan pemublikasian penyelenggara
pemilu yang terhukum, boleh jadi kurang membuat penyelenggara curang gentar.
Kita bisa belajar soal ini dari bagaimana pelanggar hukuman pidana seperti
korupsi yang diperlakukan dengan disorot media massa habis-habisan.
Kesimpulannya, ada empat cara untuk bisa mengatasi masalah
penyelenggara pemilu yang tidak independen, yaitu penggunaan teknologi dalam pemilu,
pengawasan yang lebih ketat, kewajiban pelaporan harta kekayaan penyelenggara
pemilu, dan penegakan hukum yang mumpuni.
Dengan dijalankannya keempat cara di atas, penulis optimistis kita akan
memilih pemilu yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar