Ekonomi
Global dan Posisi Indonesia
Ahmad Erani Yustika ;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef
|
KORAN
SINDO, 02 Mei 2014
Sejak
dekade 1980-an interaksi ekonomi antarnegara makin pekat, khususnya pada saat
liberalisasi menjadi bahasa pergaulan ekonomi internasional.
Indeks
keterbukaan tiap negara makin besar, yang menunjukkan kesediaan negara
tersebut untuk bekerja sama dalam kegiatan ekonomi secara lebih intensif.
Pola ini juga diikuti Indonesia dengan derajat keterbukaan yang lumayan
besar, bahkan dianggap yang paling terbuka pada level Asia. Sektor keuangan
(perbankan) Indonesia sudah terbuka sejak dekade 1980-an ketika bank asing
diberi kelonggaran untuk melakukan aktivitas di sini.
Setelah
itu, investasi juga dibuka mulai awal 1990-an yang dilanjutkan secara formal
dengan dikeluarkannya UU No 25/2007. Liberalisasi perdagangan juga kian masif
pascakrisis ekonomi 1997/1998 di mana dengan panduan IMF Indonesia mulai
mengurangi tingkat tarif perdagangan sehingga secara umum arus ekspor-impor
menjadi lebih leluasa bergerak.
Posisi Indonesia
Secara
ekonomi tidak bisa dimungkiri Indonesia telah berada dalam radar perekonomian
global dalam banyak aspek. Ukuran ekonomi Indonesia termasuk yang paling
besar di dunia, sekarang menempati peringkat ke-16 (dari PDB) sehingga masuk
G-20. Pada forum G- 20 ini Indonesia menjadi satu-satunya wakil ASEAN.
Tentu
saja ini posisi yang menguntungkan karena Indonesia dapat melakukan pertemuan
reguler dengan negara-negara maju lain seperti AS, Jerman, Inggris, Jepang,
Korsel, China, India, Brasil. PDB Indonesia pada 2012 dalam forum G-20 di
atas Turki, Belanda, Arab Saudi, dan Swiss. Kontribusi PDB Indonesia terhadap
total PDB G- 20 sekitar 1,5%. Secara umum, kontributor PDB terpenting dari
G-20 ini adalah AS, China, dan Jepang.
Peran
sumbangan PDB Indonesia ini tergolong kecil karena dari sisi jumlah penduduk
Indonesia mendonorkan hampir 5% dari total jumlah penduduk G-20. Jika dibuat
paralel, Indonesia sekurangnya harus menyumbangkan 5% dari total PDB G-20
(WEF, 2013). Dalam hal stabilitas makroekonomi, Indonesia juga memiliki
prestasi yang lebih bagus dari sebagian besar anggota G- 20.
Defisit
fiskal terjaga tidak lebih dari 3% PDB, demikian pula rasio utang hanya 25%
dari PDB, jauh lebih rendah dari konsensus maksimal 60%. Jika dibandingkan
dengan AS dan beberapa negara Eropa, defisit fiskal dan rasio utang Indonesia
jauh lebih sehat. Tentu saja hal ini tidak lantas menjamin bahwa Indonesia
semuanya aman karena dalam beberapa hal ada variabel lain yang mesti
diwaspadai. Pada 2012 Indonesia untuk pertama kali mengalami defisit primer,
yakni pendapatan lebih kecil ketimbang belanja di luar pembayaran utang.
Demikian
pula untuk variabel DSR (debt service
ratio) mengalami peningkatan di mana pada akhir 2013 lalu sempat di atas
42%. Padahal idealnya DSR ini di bawah 30%. Peningkatan DSR ini lebih banyak
disebabkan turunnya ekspor sehingga membuat angka pembilang menjadi mengecil.
Kinerja makroekonomi lainnya juga cukup bagus. Investasi, misalnya, saat ini
rasionya sudah berada di kisaran 32% terhadap PDB. Ini merupakan angka
tertinggi dibandingkan Indonesia sebelum diguncang krisis ekonomi 1997/1998
lalu.
Pada
1996, rasio investasi terhadap PDB hanya pada level 28%. Dengan demikian,
selama 10 tahun terakhir ini telah ada peningkatan investasi yang lumayan
besar meskipun masih jauh ketimbang yang dicapai anggota G-20 lainnya (bahkan
juga dengan negara tetangga di ASEAN). Pengangguran juga mengalami penurunan,
di Indonesia sekarang pengangguran sekitar 6,2%.
Ini
lebih rendah ketimbang Afrika Selatan, Italia, Prancis, Turki, India, Kanada,
Inggris, AS, dan Argentina (CIA the book dan BPS, 2014). Sungguhpun begitu,
inflasi Indonesia tergolong tinggi dibandingkan dengan anggota G-20 lainnya.
Inflasi Indonesia cukup tinggi bersanding dengan Argentina, India, dan Turki
(OECD, 2014).
Agenda Domestik
Dengan
situasi tersebut, memang Indonesia selayaknya percaya diri untuk bermain
dalam konstelasi ekonomi global. Di masa depan sekurangnya dua peta akan
terjadi dalam konstelasi ekonomi dunia. Pertama, poros di luar AS dan Eropa
akan makin besar peranannya. China, Brasil, India, dan India bakal merangsek
peranannya karena ditopang jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan ekonomi
yang stabil. Di luar itu masih ada pelapis lain seperti Korsel, Afrika
Selatan, Meksiko. Dengan begitu, porsi AS dan Eropa akan makin tergerus dalam
ekonomi global.
Kedua,
kesepakatan liberalisasi baik dalam kerangka WTO maupun blok-blok perdagangan
kian mendapatkan tantangan yang keras akibat implikasi ekonomi yang tidak
setara antara negara maju dan berkembang. Renegosiasi sangat mungkin terjadi,
bahkan dimungkinkan terjadi pembentukan blok ekonomi baru yang lebih
mencerminkan kepentingan negara berkembang.
Dengan
gambaran tersebut, Indonesia harus mereposisi perannya secara lebih cerdas.
Indonesia perlu memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara berkembang yang
sedang menjadi poros ekonomi baru seperti China, Korsel, India, Brasil,
Afrika Selatan, dan sebagainya. Kerja sama ekonomi di antara negara-negara
tersebut bukan semata untuk meningkatkan kapasitas ekonomi, tetapi juga
terkait dengan perumusan poin yang lebih strategis dalam memainkan peran
dalam pentas ekonomi global.
Berikutnya,
Indonesia harus menjadi juru bicara yang fasih untuk membela kepentingan
negara yang dirugikan dalam kesepakatan ekonomi global. Indonesia dan
negara-negara poros baru ekonomi dituntut tidak mementingkan diri sendiri,
tapi berbagi kepedulian dengan negara yang hancur akibat keterbukaan ekonomi.
Pada dekade
1950-an Indonesia pernah memerankan dengan sangat baik posisi tersebut
sehingga secara empiris pernah ada sejarah keberhasilan itu. Sungguhpun
begitu, tidak mudah memainkan posisi yang strategis itu, perlu memastikan
bahwa agenda (ekonomi) domestik terselesaikan terlebih dulu.
Struktur
ekonomin asional masih rapuh, antara lain ditunjukkan oleh ekspor yang
ditopang komoditas primer, peran usaha kecil dan menengah tidak optimal,
produktivitas tenaga kerja rendah, sumbangan sektor industri makin turun, kesinambungan
fiskal belum sepenuhnya meyakinkan, sektor perbankan belum terkait dengan
sektor riil secara baik, kebijakan moneter cenderung melemahkan daya dorong
perekonomian. Itu semua adalah agenda ekonomi aktual yang relevan untuk
diselesaikan secara cepat.
Apabila
sebagian besar agenda itu dapat diselesaikan dalam jangka pendek, cukup mudah
bagi Indonesia memainkan peran sentral dalam kancah ekonomi dunia.
Selebihnya, visi pemimpin mendatang harus paralel dengan situasi ini agar
tidak terkurung dalam pikiran yang sempit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar