Pendidikan
Berbasis Penelitian
Alloysius Bayunanto ;
Mahasiswa Université de
Picardie Jules Verne, Prancis
|
TEMPO.CO,
02 Mei 2014
Joseph
E. Stiglitz, seorang peraih Hadiah Nobel di bidang ekonomi, dalam satu
artikelnya menyatakan bahwa rata-rata negara-negara yang kaya akan sumber
daya alam memiliki performa lebih buruk daripada negara dengan anugerah alam
yang lebih sedikit.
Indonesia,
dalam beberapa kesempatan, dijadikan contoh negara yang berhasil berkelit
dari kutukan minyak. Andrew Rosser menilai Indonesia berhasil memanfaatkan
momentum ledakan harga minyak pada 1970-an untuk mempertahankan pertumbuhan
rata-rata 10 persen sampai periode 1980-an. Hal tersebut dilakukan melalui
rangkaian kebijakan ekonomi yang tepat dan didukung oleh faktor eksternal,
seperti situasi Perang Vietnam yang membuat negara Barat ingin mempertahankan
pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara dengan memberikan "bantuan"
dalam jumlah besar. Namun benarkah Indonesia pada saat itu dan sampai saat
ini benar-benar dapat melepaskan diri dari kutukan minyak? Benarkah indikator
pertumbuhan ekonomi selama 1980-an tersebut benar-benar mencerminkan
terbebasnya Indonesia dari kutukan minyak?
Kutukan
atau akibat buruk dari berlimpahnya sumber minyak, selain dapat dianalisis
melalui pendekatan ekonomi, seperti teori Dutch
Disease, dapat dianalisis melalui pendekatan politik (kebijakan).
Marie-Claire Aoun mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa berlimpahnya minyak
menyebabkan peran institusi pemerintahan menjadi primordial, dan akibat
lainnya adalah suburnya praktek-praktek perburuan rente (rent seeking) dalam sistem ekonomi.
Kesimpulan
tersebut diperkuat juga oleh hasil penelitian Ebeke & Omgba, yang
menyatakan bahwa, di negara yang tingkat korupsinya rendah, negara memiliki
kecenderungan untuk mengarahkan sumber daya manusianya ke bidang-bidang yang
produktif (penciptaan dan pengembangan penemuan-penemuan), sedangkan di
negara dengan tingkat korupsi tinggi, negara memiliki kecenderungan
mengarahkan sumber daya manusianya ke aktivitas perburuan rente.
Gordon
Tullock menjelaskan, perburuan rente adalah perilaku pengusaha untuk
mendapatkan lisensi khusus, monopoli, dan/atau fasilitas lainnya dari pihak
yang memiliki kekuasaan atas suatu bidang. Sebagai kompensasi, maka penguasa
akan mendapatkan imbalan berupa harta dan fasilitas lainnya. Kemudahan
mendapatkan keuntungan dengan cepat itulah yang pada akhirnya akan merangsang
hadirnya para pemburu rente.
Dapat
disimpulkan bahwa, walaupun ada pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia bisa
berkelit dari kutukan minyak, tapi dari paradigma berpikir sebagian dari
bangsa Indonesia saat ini, dapat dikatakan, sebagian masyarakat kita
mengalami kutukan minyak yang berat karena mengalami "kerusakan"
cara berpikir. Sumber daya minyak yang kita miliki justru mendorong sebagian
masyarakat untuk berpikiran sempit. Alih-alih berpikir untuk menghasilkan
penemuan yang berguna, sebagian dari kita lebih berpikir bagaimana melipatgandakan
keuntungan dan kekayaan bahkan melalui hal-hal yang bersifat koruptif.
Untuk
mengubah paradigma berpikir tersebut, kita harus melihat kembali ke dalam
dunia pendidikan kita. Dapat kita pertanyakan saat ini, seberapa banyak
pelajar/mahasiswa di Indonesia yang memiliki orientasi untuk melakukan
penelitian demi menghasilkan temuan-temuan, baik di bidang teknologi maupun
di bidang-bidang lainnya?
Berdasarkan
Global Growth Competitiveness Index
yang dikeluarkan oleh Forum Ekonomi Dunia, Indonesia berada di urutan ke-50
dalam daya saing antar negara dari 144 negara. Salah satu kriteria yang
menyebabkan rendahnya competitiveness bangsa kita adalah masih rendahnya
publikasi karya ilmiah di Indonesia. Hal tersebut tidak bisa terlepas dari
rendahnya kegiatan riset dan pengembangan teknologi, yang terutama disebabkan
oleh terbatasnya anggaran riset Indonesia.
Anggaran
riset Indonesia masih berkisar di bawah 1 persen dari APBN atau sekitar 0,08
persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional, dibandingkan dengan negara-negara
tetangga, seperti Singapura, yang telah menganggarkan dana untuk riset
sebesar 2,36 persen dari PDB-nya, Malaysia sebesar 0,63 persen dari PDB-nya,
dan Thailand sebesar 0,25 persen dari PDB-nya.
Salah
satu cara nyata menghentikan praktek perburuan rente pada generasi yang akan
datang adalah dengan segera mengubah paradigma berpikir generasi penerus
menjadi berpola pikir seorang penemu melalui penambahan program-program dan
kebijakan yang berpihak kepada kegiatan pendidikan berbasis penelitian.
Bangsa
Indonesia telah dianugerahi modal besar untuk mewujudkan hal tersebut.
Kemampuan sumber daya manusia Indonesia sudah tidak diragukan kapabilitasnya.
Terlebih alam, keragaman budaya, dan sejarah Indonesia pun sungguh sangat
kaya. Kekayaan yang selalu dapat menjadi inspirasi untuk menghasilkan
penemuan-penemuan besar di berbagai bidang. Sudah saatnya bagi generasi muda
Indonesia didukung oleh pemerintah mengubah pola pikir pemburu rente menjadi
bangsa yang memiliki kemampuan menghasilkan temuan-temuan besar. Selamat Hari Pendidikan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar