Sabtu, 03 Mei 2014

Bung Pram

Bung Pram

Anton Kurnia  ;   Penulis Esai dan Cerpen
TEMPO.CO, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Lewat tengah malam itu, berkemeja batik lengan panjang, tampak berbinar-binar di antara anak-anak muda penuh semangat, lelaki tua itu menyanyikan Internationale dengan berapi-api. Setelahnya dia berorasi.

Salah satu pokok gagasannya ialah agar anak-anak muda berani percaya akan kekuatan individu, bukan hanya larut dalam kerumunan seperti binatang ternak. Dia juga mengakui bahwa generasinya adalah generasi yang gagal, karena tidak berhasil mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yakni keadilan dan kemakmuran untuk semua.

Itulah salah satu kenangan saya dari sejumlah perjumpaan pribadi dengan Bung Pram-begitu kami memanggilnya. Peristiwa itu terjadi pada malam tahun baru 2002 di rumahnya yang megah dan berlahan luas di pinggiran Bogor. Dia menyebut hacienda-nya itu tonggak perlawanan terhadap rezim Soeharto yang telah menindas hak-haknya, bukan monumen seorang pemuja harta. Sebab, kendati dihalangi berkarya, dia tetap sanggup bertahan hidup, bahkan berhasil meraih perhatian dunia. Dan, melalui royalti karya-karyanya yang diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, ia dan keluarganya mampu membangun tempat tinggal yang nyaman dan bermanfaat bagi banyak orang.

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), yang dikenang sebagai salah seorang sastrawan terdepan kita sepanjang sejarah, disemangati oleh gagasan-gagasan nasionalisme sejak belia. Tumbuh dalam bayang-bayang ayahnya, Imam Mastoer, seorang pendidik berhaluan nasionalis kiri yang mengajarinya sikap gandrung akan kemerdekaan, Pramoedya menjelma anak muda patriotis yang ikut andil dalam revolusi kemerdekaan negerinya sekitar 1945.

Pramoedya ikut bertempur sebagai perwira militer nasionalis melawan pasukan Belanda di pinggiran Jakarta. Ia bahkan sempat dipenjarakan selama 2 tahun pada 1947-1949 karena kedapatan membawa pamflet perlawanan terhadap agresi militer Belanda. Namun di penjara itulah Pramoedya menemukan momen yang tepat untuk menulis karya-karya awalnya.

Buku-buku Pram-novel, kumpulan cerpen, dan beragam karya nonfiksinya-tak bisa dipisahkan dari Indonesia. "Setiap orang yang hendak memahami Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, harus membaca buku-bukunya," tulis Jamie James (The New Yorker, 27 Mei 1996).

Tak beda jauh, menanggapi wafatnya Pramoedya, novelis Inggris asal Pakistan yang juga editor jurnal New Left Review, Tariq Ali, menulis dalam Counter Punch, "Wafatnya Pramoedya adalah kehilangan besar bagi kesusasteraan dunia. Dialah intelektual Indonesia terkemuka, sekaligus penulis fiksi yang jenius..."

Sampai akhir hayatnya, Pramoedya terus memikirkan Indonesia yang amat dicintainya. Namun ia kecewa terhadap realitas yang disaksikannya. Ia muak melihat maraknya pembusukan, pembodohan, keterbelakangan, dan korupsi di negeri ini.

Bung Pram kini telah pergi meninggalkan pusaka yang tak ternilai: buah pikiran dan karya-karyanya, termasuk Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang dianggap sebagai adikaryanya, serta karya-karya terjemahan semacam Tikus dan Manusia (dari novel John Steinbeck). Selebihnya, berpulang kepada kita untuk memaknai perjuangannya, terutama angkatan muda yang selalu diharapkannya sebagai pelopor perubahan, aktor revolusi total yang disebutnya sebagai jalan tunggal untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar