Selasa, 20 Mei 2014

Otonomi Daerah, untuk Siapa?

Otonomi Daerah, untuk Siapa?

Ikhsan Darmawan  ;   Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SINAR HARAPAN,  19 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Tanggal 24 April adalah hari ulang tahun (HUT) ke-18 Otonomi Daerah (Otda). Berkaitan dengan itu, seperti diketahui bersama, Undang-Undang (UU) No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menitikberatkan tujuan otda untuk rakyat.

Menimbang UU tersebut disebutkan, pemerintahan daerah diarahkan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, peran masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah. Pertanyaannya, apakah sejauh ini cita-cita otda yang sesuai amanat UU tersebut sudah tercapai?

Mari kita lihat sejenak. Sejak diimplementasikan lebih dari 10 tahun, tiap tahunnya pemerintah pusat menggelontorkan dana untuk ditransfer ke daerah. Jumlahnya tidak sedikit. Rata-rata selama dua tahun terakhir, anggaran untuk daerah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah Rp 550 triliun atau 31 persen dari total APBN. Di APBN 2014, dari total anggaran Rp 1.842 triliun, Rp 592 triliun atau 32 persennya adalah dana yang ditransfer ke daerah. Sementara itu di APBN 2013, dari Rp 1.682 triliun, yang diberikan pusat kepada daerah Rp 528 triliun atau 31,3 persen.

Ketergantungan daerah kepada guyuran dana dari pusat masih tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan daerah-daerah mengumpulkan penerimaan daerah yang terpantulkan dalam pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing daerah masih kecil. Lebih dari 90 persen daerah di Indonesia memiliki PAD di bawah 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sayangnya, selama ini mayoritas dana APBD terkuras hanya untuk membayar gaji pegawai. Berdasarkan hasil penelitian KPPOD terhadap pemanfaatan APBD 2013, persentase belanja pegawai di daerah, termasuk daerah otonomi baru, rata-rata mencapai 50-75 persen.

Dari sisi pemanfaatan dana alokasi umum (DAU), selama ini karena sifatnya subsidi umum (block grant), pemerintah daerah (pemda) sering kurang terarah memanfaatkannya untuk kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan yang dimaksud terkait erat dengan tersedianya pelayanan dasar yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

Adalah sangat logis, apabila DAU dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat daerah sebelum dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk bantuan sosial dan bantuan lainnya. Sayangnya, kondisinya justru sebaliknya. Setiap urusan wajib yang terkait pelayanan dasar belum diikuti semua pemda dengan standar pelayanan minimum (SPM) yang diperkuat standar teknis untuk penentuan standar biayanya.

Hal yang lebih membuat ironis, kondisi tidak ideal itu diperparah perilaku korupsi kepala daerah. Sampai pertengahan September 2013, sudah ada 304 gubernur/bupati/wali kota yang bermasalah dengan hukum. Angkanya bertambah dibandingkan Mei 2013, yang tercatat ada 291 pejabat daerah bermasalah. Rinciannya, 156 di antaranya adalah bupati, 46 wakil bupati, 41 wali kota, 21 gubernur, tujuh wakil gubernur, dan 20 wakil wali kota.

Sebelumnya pada akhir 2012, ada 235 kepala daerah/wakil kepala daerah yang berurusan dengan penegak hukum. Angka tersebut meningkat 62 orang dibandingkan data pada akhir 2011, yang tercatat 173 kepala dearah/wakil kepala daerah yang bermasalah.

Untuk pembentukan daerah otonomi baru, sampai 2013, sudah terbentuk 220 daerah. Total keseluruhan jumlah daerah telah mencapai 539 daerah, terdiri atas 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota.

Namun disayangkan, jumlah daerah yang bertambah itu belum berkorelasi dengan perkembangan di masing-masing daerah baru. Berdasarkan evaluasi sementara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap 57 daerah otonomi baru yang sudah berusia tiga tahun sampai akhir 2013, 78 persen daerah otonomi baru itu gagal berkembang.

Dibajak Elite

Tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan otda selama ini dibajak elite politik dan ekonomi untuk kepentingan sendiri. Rakyat sejauh ini hanya menjadi objek para elite. Besarnya dana birokrasi daerah, ketidakmampuan pemerintah daerah meningkatkan PAD, banyaknya kasus hukum (baca: korupsi dana rakyat) yang menjerat kepala daerah, dan makin gencarnya usulan pemekaran daerah yang nyatanya tidak berhasil adalah sederet alasan untuk thesis statement di atas.

Masih belum tercapainya tujuan otda untuk rakyat menunjukkan, ada yang tidak beres dengan implementasi otda selama ini. Secara implisit, hal itu tercermin dalam tujuan Kemendagri, merevisi UU No 32/2004. Materi muatan revisi UU itu mencakup 22 isu strategis. Ada tiga tujuan pemerintah merevisi UU Pemerintahan Daerah. Pertama, mempertegas dan memperjelas konsep desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, memperjelas pengaturan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintah daerah. Ketiga, menambah pengaturan baru sesuai dinamika masyarakat dan tuntutan pelaksanaan desentralisasi.

Di samping itu, alternatif-alternatif solusi untuk persoalan yang menggerogoti daerah juga telah disiapkan. Untuk penggunaan dana APBD, pemerintah pusat mengatur belanja pegawai maksimal 40 persen dan sisanya untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Lalu untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung akan diusulkan menjadi tidak langsung.

Sementara itu, untuk soal daerah otonomi baru, evaluasi daerah otonomi baru akan dilakukan setiap tahun. Evaluasi itu mencakup pengelolaan keuangan, kinerja aparatur, dan pengelolaan aset daerah otonomi baru. Kalau hasil evaluasi menunjukkan daerah otonomi baru tidak berkembang dan justru membebani pemerintah pusat, daerah itu bisa dikembalikan ke induk.

Resentralisasi?

Sebagai penutup, kembali ke pertanyaan paling mendasar, apakah masalah-masalah yang diutarakan di sini dapat mengantarkan kita ke kesimpulan bahwa desentralisasi adalah pilihan politik yang salah dan sebaiknya kembali lagi ke sentralisasi? Penulis berpandangan tidak demikian.

Desentralisasi tetap pilihan yang tepat untuk Indonesia. Jika ada kegagalan menjadikan desentralisasi sebagai strategi untuk membangun pemerintahan yang efisien dan efektif, hanyalah menunjukkan desentralisasi tidak bisa diperlakukan taken for granted karena keberhasilannya bersifat kontekstual.

Desentralisasi juga tak terjadi dalam ruang hampa, namun ada dalam bingkai historis, budaya, politik, dan kelembagaan tertentu. Ke depan, sistem desentralisasi yang dikembangkan haruslah kontekstual, dengan memperhatikan berbagai variabel dan kondisi. Jadi, model desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia benar-benar sesuai sistem politik, budaya, sejarah, dan cita-cita membangun negara ini.

Tak hanya itu, ada banyak kondisi yang diperlukan agar desentralisasi menghasilkan manfaat seperti yang diharapkan. Kondisi yang dimaksud adalah kapasitas pemerintahan lokal, komitmen politik dari pemimpin nasional, kebijakan yang konsisten, saluran bagi partisipasi politik masyarakat, kualitas kepemimpinan lokal, kesiapan aparatur pusat dan daerah untuk mengubah pola pikir, tersedianya lembaga lokal yang berjiwa demokratis, dan dibatasinya otoritas fiskal di daerah (Rondinelli, 1980; Dillinger 1995; Seabright, 1996; Manor, 1999; Bardhan dan Mookherjee, 2000).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar