Otonomi
Daerah, untuk Siapa?
Ikhsan
Darmawan ; Dosen
Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
SINAR
HARAPAN, 19 Mei 2014
Tanggal
24 April adalah hari ulang tahun (HUT) ke-18 Otonomi Daerah (Otda). Berkaitan
dengan itu, seperti diketahui bersama, Undang-Undang (UU) No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah menitikberatkan tujuan otda untuk rakyat.
Menimbang
UU tersebut disebutkan, pemerintahan daerah diarahkan mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, peran
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah.
Pertanyaannya, apakah sejauh ini cita-cita otda yang sesuai amanat UU
tersebut sudah tercapai?
Mari
kita lihat sejenak. Sejak diimplementasikan lebih dari 10 tahun, tiap
tahunnya pemerintah pusat menggelontorkan dana untuk ditransfer ke daerah.
Jumlahnya tidak sedikit. Rata-rata selama dua tahun terakhir, anggaran untuk
daerah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah Rp 550
triliun atau 31 persen dari total APBN. Di APBN 2014, dari total anggaran Rp
1.842 triliun, Rp 592 triliun atau 32 persennya adalah dana yang ditransfer
ke daerah. Sementara itu di APBN 2013, dari Rp 1.682 triliun, yang diberikan
pusat kepada daerah Rp 528 triliun atau 31,3 persen.
Ketergantungan
daerah kepada guyuran dana dari pusat masih tinggi. Hal ini disebabkan
kemampuan daerah-daerah mengumpulkan penerimaan daerah yang terpantulkan
dalam pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing daerah masih kecil. Lebih
dari 90 persen daerah di Indonesia memiliki PAD di bawah 20 persen Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Sayangnya,
selama ini mayoritas dana APBD terkuras hanya untuk membayar gaji pegawai.
Berdasarkan hasil penelitian KPPOD terhadap pemanfaatan APBD 2013, persentase
belanja pegawai di daerah, termasuk daerah otonomi baru, rata-rata mencapai
50-75 persen.
Dari
sisi pemanfaatan dana alokasi umum (DAU), selama ini karena sifatnya subsidi
umum (block grant), pemerintah daerah (pemda) sering kurang terarah
memanfaatkannya untuk kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan yang dimaksud
terkait erat dengan tersedianya pelayanan dasar yang menjadi kebutuhan pokok
masyarakat.
Adalah
sangat logis, apabila DAU dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat daerah sebelum dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan lainnya,
seperti untuk bantuan sosial dan bantuan lainnya. Sayangnya, kondisinya
justru sebaliknya. Setiap urusan wajib yang terkait pelayanan dasar belum
diikuti semua pemda dengan standar pelayanan minimum (SPM) yang diperkuat
standar teknis untuk penentuan standar biayanya.
Hal yang
lebih membuat ironis, kondisi tidak ideal itu diperparah perilaku korupsi
kepala daerah. Sampai pertengahan September 2013, sudah ada 304
gubernur/bupati/wali kota yang bermasalah dengan hukum. Angkanya bertambah
dibandingkan Mei 2013, yang tercatat ada 291 pejabat daerah bermasalah.
Rinciannya, 156 di antaranya adalah bupati, 46 wakil bupati, 41 wali kota, 21
gubernur, tujuh wakil gubernur, dan 20 wakil wali kota.
Sebelumnya
pada akhir 2012, ada 235 kepala daerah/wakil kepala daerah yang berurusan
dengan penegak hukum. Angka tersebut meningkat 62 orang dibandingkan data
pada akhir 2011, yang tercatat 173 kepala dearah/wakil kepala daerah yang
bermasalah.
Untuk
pembentukan daerah otonomi baru, sampai 2013, sudah terbentuk 220 daerah.
Total keseluruhan jumlah daerah telah mencapai 539 daerah, terdiri atas 34
provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota.
Namun
disayangkan, jumlah daerah yang bertambah itu belum berkorelasi dengan
perkembangan di masing-masing daerah baru. Berdasarkan evaluasi sementara
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap 57 daerah otonomi baru yang
sudah berusia tiga tahun sampai akhir 2013, 78 persen daerah otonomi baru itu
gagal berkembang.
Dibajak Elite
Tidak
berlebihan kiranya kalau dikatakan otda selama ini dibajak elite politik dan
ekonomi untuk kepentingan sendiri. Rakyat sejauh ini hanya menjadi objek para
elite. Besarnya dana birokrasi daerah, ketidakmampuan pemerintah daerah
meningkatkan PAD, banyaknya kasus hukum (baca: korupsi dana rakyat) yang
menjerat kepala daerah, dan makin gencarnya usulan pemekaran daerah yang
nyatanya tidak berhasil adalah sederet alasan untuk thesis statement di atas.
Masih
belum tercapainya tujuan otda untuk rakyat menunjukkan, ada yang tidak beres
dengan implementasi otda selama ini. Secara implisit, hal itu tercermin dalam
tujuan Kemendagri, merevisi UU No 32/2004. Materi muatan revisi UU itu
mencakup 22 isu strategis. Ada tiga tujuan pemerintah merevisi UU Pemerintahan
Daerah. Pertama, mempertegas dan memperjelas konsep desentralisasi dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, memperjelas pengaturan dalam
berbagai aspek penyelenggaraan pemerintah daerah. Ketiga, menambah pengaturan
baru sesuai dinamika masyarakat dan tuntutan pelaksanaan desentralisasi.
Di
samping itu, alternatif-alternatif solusi untuk persoalan yang menggerogoti
daerah juga telah disiapkan. Untuk penggunaan dana APBD, pemerintah pusat
mengatur belanja pegawai maksimal 40 persen dan sisanya untuk pembangunan
infrastruktur dan pelayanan publik. Lalu untuk pemilihan kepala daerah
(pilkada) langsung akan diusulkan menjadi tidak langsung.
Sementara
itu, untuk soal daerah otonomi baru, evaluasi daerah otonomi baru akan
dilakukan setiap tahun. Evaluasi itu mencakup pengelolaan keuangan, kinerja
aparatur, dan pengelolaan aset daerah otonomi baru. Kalau hasil evaluasi
menunjukkan daerah otonomi baru tidak berkembang dan justru membebani
pemerintah pusat, daerah itu bisa dikembalikan ke induk.
Resentralisasi?
Sebagai
penutup, kembali ke pertanyaan paling mendasar, apakah masalah-masalah yang
diutarakan di sini dapat mengantarkan kita ke kesimpulan bahwa desentralisasi
adalah pilihan politik yang salah dan sebaiknya kembali lagi ke sentralisasi?
Penulis berpandangan tidak demikian.
Desentralisasi
tetap pilihan yang tepat untuk Indonesia. Jika ada kegagalan menjadikan
desentralisasi sebagai strategi untuk membangun pemerintahan yang efisien dan
efektif, hanyalah menunjukkan desentralisasi tidak bisa diperlakukan taken
for granted karena keberhasilannya bersifat kontekstual.
Desentralisasi
juga tak terjadi dalam ruang hampa, namun ada dalam bingkai historis, budaya,
politik, dan kelembagaan tertentu. Ke depan, sistem desentralisasi yang
dikembangkan haruslah kontekstual, dengan memperhatikan berbagai variabel dan
kondisi. Jadi, model desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia
benar-benar sesuai sistem politik, budaya, sejarah, dan cita-cita membangun
negara ini.
Tak
hanya itu, ada banyak kondisi yang diperlukan agar desentralisasi menghasilkan
manfaat seperti yang diharapkan. Kondisi yang dimaksud adalah kapasitas
pemerintahan lokal, komitmen politik dari pemimpin nasional, kebijakan yang
konsisten, saluran bagi partisipasi politik masyarakat, kualitas kepemimpinan
lokal, kesiapan aparatur pusat dan daerah untuk mengubah pola pikir,
tersedianya lembaga lokal yang berjiwa demokratis, dan dibatasinya otoritas
fiskal di daerah (Rondinelli, 1980;
Dillinger 1995; Seabright, 1996; Manor, 1999; Bardhan dan Mookherjee, 2000). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar