Selasa, 20 Mei 2014

Kebiri Membuat Predator Lebih Keji

Kebiri Membuat Predator Lebih Keji

Reza Indragiri Amriel  ;   Psikolog Forensik, Alumnus The University of Melbourne, Anggota World Society of Victimology
KORAN SINDO,  19 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Andai tidak tertangani secara memadai, anak-anak korban kekerasan seksual bisa menderita sepanjang hayat. Sedangkan pelaku, dengan segala tabiat rusak yang ada pada dirinya, maksimal hanya akan nelangsa selama lima belas tahun. Jika pelaku adalah orang dekat korban, ia akan memperoleh bonus sepertiga masa hukuman, berarti total dua puluh tahun menjadi penghuni penjara. Betapa tidak adilnya! Begitu masyarakat membatin. Lalu muncullah harapan agar Undang-Undang Perlindungan Anak direvisi, termasuk mengubah ancaman ”maksimal lima belas tahun penjara” menjadi ”minimal lima belas tahun penjara” bahkan ”hukuman mati”.

Bertitik tolak dari fakta bahwa hingga kini tidak ada penawar yang mujarab untuk mengubah pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan itu berarti para predator sangat mungkin mengulangi kebiadaban mereka pascapemenjaraan, hukuman mati memang sewajarnya dijadikan sebagai opsi sanksi pidana. Sayangnya, hingga kini belum ada preseden penjatuhan hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di negara mana pun.

Di negeri ini, yang segala sesuatunya seakan harus menunggu ”keteladanan” dari negeri lain, hampir musykil ada kepercayaan diri untuk menetapkan hukuman mati sebagai ancaman sanksi yang dikenakan pada penjahatpenjahat seksual. Belum lagi jika dikait-kaitkan ke isu hak asasi manusia; jangan harap ada penyemburit yang ditembak mati betapa pun sudah memangsa ratusan anak.

Pendekatan kognitif-perilaku yang berdasarkan riset memiliki sejumlah keunggulan, pada kenyataan membutuhkan biaya teramat sangat besar karena harus disertai pengelolaan terhadap aspek ekonomi, sosial, dan berbagai sisi kehidupan lain si pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Padahal, ketimbang mengalokasikan dana sedemikian tinggi untuk pelaku, lebih tepat apabila uang tersebut dianggarkan untuk merehabilitasi korban kanak-kanak.

Kemungkinan menjatuhkan hukuman kebiri pun digaungkan dan banyak diangguki. Sejumlah negara sudah memberlakukan sanksi tersebut. Pengebirian merupakan bagian dari tren global berupa semakin beratnya hukuman bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, khususnya apabila pelaku melancarkan tindakan kejamnya berulang kali, memviktimisasi banyak anak, dan merupakan figur yang sejatinya tumpuan kepercayaan korban. Pengebirian pelaku kejahatan seksual terhadap anak, baik berbentuk perusakan hormon seksual maupun pemotongan organ seksual, patut didukung bulat.

Itu karena kebiri merupakan tindakan nyata berupa pengekspresian amarah dan kesumat publik, utamanya korban dan keluarganya, terhadap pelaku. Tetapi, lain perkara kalau kebiri dilakukan dengan ekspektasi bahwa pelaku akan sertamerta menghentikan aksi kejamnya. Bayangkan pelaku berasal-muasal dari status sebagai korban yang juga pernah mengalami penganiayaan seksual semasa kecil. Di dalam dirinya berkecamuk gumpalan perasaan, mulai dari murka, hina, dan tak berdaya. Terposisikan sebagai sosok inferior, si korban—sadar maupun tidak—tumbuh dengan obsesi yang menggelayut di benaknya untuk menggeser dirinya ke kedudukan superior.

Cara kompensatoris yang pelaku ambil ternyata sama bejatnya: ia empaskan anak-anak lain ke posisi sebagaimana yang pernah ia alami. Itu berarti, tatkala perkosaan maupun ragam kekerasan seksual lain pelaku demonstrasikan terhadap para korbannya, sensasi seksual— setidaknya—bukan motif utama. Penganiayaan seksual, pada saat yang sama, juga muntahan berbagai muatan perasaan negatif tadi. Dengan kata lain, perilaku semisal semburit memang bersifat seksual, namun motif di balik kelakuan tersebut bukan seksual. Begitulah gambaran mysoped, salah satu tipe pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang dirumuskan oleh Sharon Araji (2000).

Kompleksitas seperti itulah yang, menurut saya, tidak bisa dijangkau lewat hukuman kebiri. Pengebirian kimiawi, yakni menyuntikkan zat tertentu ke dalam tubuh pelaku agar hormon seksualnya rusak, bisa menghilangkan dorongan seksualnya. Pelaku pun, katakanlah, tidak lagi memiliki minat untuk melakukan kontak seksual dengan siapa pun, tak terkecuali dengan anak-anak.

Namun, ketika hasrat seksual mati, tidak berarti bahwa segala perasaan negatif tadi juga sertamerta padam. Justru sebaliknya; pengebirian dapat menimbulkan ekses berupa efek brutalisasi (brutalization effect). Api dalam jiwa pelaku kian berkobar-kobar. Pengebirian laksana deja vu—pelaku merasa dibanting ke posisi inferior kembali. Dengan begitu, alih-alih berpembawaan lebih tenang dan terkendali, pelaku yang sudah dikebiri malah berpotensi menjadi penjahat yang jauh lebih brutal lagi. Selepas raganya meninggalkan gerbang penjara, ia akan mencari cara-cara baru guna membuncahkan afeksi-afeksi negatifnya yang kini hidup lebih buas.

Pengebirian, dengan demikian, tidak hanya gagal mengantisipasi potensi kebahayaan pelaku yang berlipat ganda, tetapi justru menstimulasi kemungkinan pelaku mengembangkan aksi-aksi kejahatan dalam variasi lain. Bukan hanya anak-anak yang menjadi incaran serangan agresif pelaku, siapa pun kemudian berpeluang mengalami viktimisasi. Atas dasar itulah, seandainya— sekali lagi—hukuman mati tetap tidak mungkin dikenakan terhadap para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, patut dipertimbangkan untuk memberikan rajah khusus pada bagian tubuh pelaku yang terbuka.

Juga patut diberikan kode khusus pada kartu kependudukan pelaku. Langkah-langkah tersebut memang tidak lantas membuat pelaku berubah watak. Tetapi, inisiatif sedemikian rupa akan membatasi ruang gerak pelaku, sekaligus mempermudah masyarakat untuk mengidentifikasi titisan iblis yang bergentayangan di sekitar mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar