Kebiri
Membuat Predator Lebih Keji
Reza
Indragiri Amriel ; Psikolog
Forensik, Alumnus The University of Melbourne, Anggota World Society of
Victimology
|
KORAN
SINDO, 19 Mei 2014
|
Andai
tidak tertangani secara memadai, anak-anak korban kekerasan seksual bisa
menderita sepanjang hayat. Sedangkan pelaku, dengan segala tabiat rusak yang
ada pada dirinya, maksimal hanya akan nelangsa selama lima belas tahun. Jika
pelaku adalah orang dekat korban, ia akan memperoleh bonus sepertiga masa
hukuman, berarti total dua puluh tahun menjadi penghuni penjara. Betapa tidak
adilnya! Begitu masyarakat membatin. Lalu muncullah harapan agar Undang-Undang
Perlindungan Anak direvisi, termasuk mengubah ancaman ”maksimal lima belas
tahun penjara” menjadi ”minimal lima belas tahun penjara” bahkan ”hukuman
mati”.
Bertitik
tolak dari fakta bahwa hingga kini tidak ada penawar yang mujarab untuk
mengubah pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan itu berarti para
predator sangat mungkin mengulangi kebiadaban mereka pascapemenjaraan,
hukuman mati memang sewajarnya dijadikan sebagai opsi sanksi pidana.
Sayangnya, hingga kini belum ada preseden penjatuhan hukuman mati bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak di negara mana pun.
Di
negeri ini, yang segala sesuatunya seakan harus menunggu ”keteladanan” dari
negeri lain, hampir musykil ada kepercayaan diri untuk menetapkan hukuman
mati sebagai ancaman sanksi yang dikenakan pada penjahatpenjahat seksual.
Belum lagi jika dikait-kaitkan ke isu hak asasi manusia; jangan harap ada
penyemburit yang ditembak mati betapa pun sudah memangsa ratusan anak.
Pendekatan
kognitif-perilaku yang berdasarkan riset memiliki sejumlah keunggulan, pada
kenyataan membutuhkan biaya teramat sangat besar karena harus disertai
pengelolaan terhadap aspek ekonomi, sosial, dan berbagai sisi kehidupan lain
si pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Padahal, ketimbang mengalokasikan
dana sedemikian tinggi untuk pelaku, lebih tepat apabila uang tersebut
dianggarkan untuk merehabilitasi korban kanak-kanak.
Kemungkinan
menjatuhkan hukuman kebiri pun digaungkan dan banyak diangguki. Sejumlah
negara sudah memberlakukan sanksi tersebut. Pengebirian merupakan bagian dari
tren global berupa semakin beratnya hukuman bagi para pelaku kejahatan
seksual terhadap anak, khususnya apabila pelaku melancarkan tindakan kejamnya
berulang kali, memviktimisasi banyak anak, dan merupakan figur yang sejatinya
tumpuan kepercayaan korban. Pengebirian pelaku kejahatan seksual terhadap
anak, baik berbentuk perusakan hormon seksual maupun pemotongan organ
seksual, patut didukung bulat.
Itu
karena kebiri merupakan tindakan nyata berupa pengekspresian amarah dan
kesumat publik, utamanya korban dan keluarganya, terhadap pelaku. Tetapi,
lain perkara kalau kebiri dilakukan dengan ekspektasi bahwa pelaku akan
sertamerta menghentikan aksi kejamnya. Bayangkan pelaku berasal-muasal dari
status sebagai korban yang juga pernah mengalami penganiayaan seksual semasa
kecil. Di dalam dirinya berkecamuk gumpalan perasaan, mulai dari murka, hina,
dan tak berdaya. Terposisikan sebagai sosok inferior, si korban—sadar maupun
tidak—tumbuh dengan obsesi yang menggelayut di benaknya untuk menggeser
dirinya ke kedudukan superior.
Cara
kompensatoris yang pelaku ambil ternyata sama bejatnya: ia empaskan anak-anak
lain ke posisi sebagaimana yang pernah ia alami. Itu berarti, tatkala
perkosaan maupun ragam kekerasan seksual lain pelaku demonstrasikan terhadap
para korbannya, sensasi seksual— setidaknya—bukan motif utama. Penganiayaan
seksual, pada saat yang sama, juga muntahan berbagai muatan perasaan negatif
tadi. Dengan kata lain, perilaku semisal semburit memang bersifat seksual,
namun motif di balik kelakuan tersebut bukan seksual. Begitulah gambaran
mysoped, salah satu tipe pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang
dirumuskan oleh Sharon Araji (2000).
Kompleksitas
seperti itulah yang, menurut saya, tidak bisa dijangkau lewat hukuman kebiri.
Pengebirian kimiawi, yakni menyuntikkan zat tertentu ke dalam tubuh pelaku
agar hormon seksualnya rusak, bisa menghilangkan dorongan seksualnya. Pelaku
pun, katakanlah, tidak lagi memiliki minat untuk melakukan kontak seksual
dengan siapa pun, tak terkecuali dengan anak-anak.
Namun,
ketika hasrat seksual mati, tidak berarti bahwa segala perasaan negatif tadi
juga sertamerta padam. Justru sebaliknya; pengebirian dapat menimbulkan ekses
berupa efek brutalisasi (brutalization
effect). Api dalam jiwa pelaku kian berkobar-kobar. Pengebirian laksana deja vu—pelaku merasa dibanting ke
posisi inferior kembali. Dengan begitu, alih-alih berpembawaan lebih tenang
dan terkendali, pelaku yang sudah dikebiri malah berpotensi menjadi penjahat
yang jauh lebih brutal lagi. Selepas raganya meninggalkan gerbang penjara, ia
akan mencari cara-cara baru guna membuncahkan afeksi-afeksi negatifnya yang
kini hidup lebih buas.
Pengebirian,
dengan demikian, tidak hanya gagal mengantisipasi potensi kebahayaan pelaku
yang berlipat ganda, tetapi justru menstimulasi kemungkinan pelaku
mengembangkan aksi-aksi kejahatan dalam variasi lain. Bukan hanya anak-anak
yang menjadi incaran serangan agresif pelaku, siapa pun kemudian berpeluang
mengalami viktimisasi. Atas dasar itulah, seandainya— sekali lagi—hukuman
mati tetap tidak mungkin dikenakan terhadap para pelaku kekerasan seksual
terhadap anak, patut dipertimbangkan untuk memberikan rajah khusus pada
bagian tubuh pelaku yang terbuka.
Juga
patut diberikan kode khusus pada kartu kependudukan pelaku. Langkah-langkah
tersebut memang tidak lantas membuat pelaku berubah watak. Tetapi, inisiatif
sedemikian rupa akan membatasi ruang gerak pelaku, sekaligus mempermudah
masyarakat untuk mengidentifikasi titisan iblis yang bergentayangan di
sekitar mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar