Militer
dan Instrumen Politik
Munawir Aziz ;
Peneliti, Alumnus Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
28 April 2014
Hitoriografi politik Indonesia
masih kental dengan sejarah militer. Nuansa militer dalam lika-liku kekuasaan
dan strategi politik negeri ini menegaskan bahwa warisan psikologis Orde Baru
masih bersemayam dalam memori sebagian besar warga Indonesia. Pada ranah
kontestasi politik mutakhir, isu militer menjadi instrumen untuk menentukan
presiden dan wakil presiden pilihan rakyat. Tentu saja, kajian militer dalam
politik Indonesia menjadi menarik pada ruang politik dua dekade mutakhir
pasca ambruknya Orde Baru.
Bagaimana memainkan isu militer
dalam konstelasi politik saat ini? Apa makna dan dampaknya bagi pertarungan
politik, terutama menjelang pemilu presiden pada 9 Juli 2014 nanti? Pada
titik ini, militer sebagai sebuah konsep dan kekuatan politik mengalami
perebutan makna, karena terpaut dengan memori sejarah dan nuansa masa lalu
yang kental.
Politik Indonesia mutakhir
adalah proses penyadaran dari politik pencitraan menuju politik kerakyatan.
Artinya? Setelah satu dekade rakyat negeri ini mengonsumsi ulang-alik dan
akrobat politik yang dimainkan penguasa, dengan jurus politik pencitraan,
maka saat nya rakyat mencari nuansa baru dengan politik kejujuran yang akrab
dengan keseharian. Hadirnya Joko Widodo (Jokowi) di panggung politik negeri
ini menyudahi musim kering kerontang akan harapan pemimpin yang akrab dan
merakyat.
Dentuman militer Lalu, bagaimana
posisi dan isu militer dalam kontestasi politik Indonesia mutakhir? Dari
pemetaan atas hasil pemilu legislatif yang digelar 9 Juni 2014, jelas bahwa
kekuatan politik antarpartai sudah dapat dihamparkan. Partai Demokrat, yang
mengusung ikon politik SBY, jatuh terpuruk di gelanggang tengah panggung
politik. Banjir kasus korupsi, pertentangan politik antarkader, dan perebutan
kepentingan di akar rumput menjadi penyebab `kocok ulang' kekuatan partai.
PDIP melenggang ke garda depan perolehan suara, sedangkan Partai Golkar
relatif stabil. Selanjutnya, PKB memperoleh suara mencengangkan dengan berhasil
masuk ke jajaran lima besar.
Pada titik ini, menarik untuk
menghitung kekuatan simbol militer empat partai: Gerindra, Partai Demokrat,
Partai Hanura, dan PKPI. Dari barisan ikon militer, Letjen (Purn) Prabowo
Subianto melenggang dengan mendongkrak perolehan suara Partai Gerindra.
Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mampu mengawal
posisi Partai Demokrat, dan Jenderal (Purn) Wiranto--meskipun didukung
kampanye masif dari gurita media Hary Tanoesoedibjo, hanya berada di barisan
tengah.
Ironisnya, Letjen (Purn) Soetiyoso
dengan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) berada di urutan buncit
perolehan suara pemilu legislatif.
Bagaimana memaknai hal ini?
Tentu saja, kampanye masif dan kerja politik sistematis Partai Gerindra,
dengan "menjual" ikon Prabowo Subianto sebagai `Macan Asia'
berhasil menjadi senjata politik yang intensif. Meskipun, strategi parpol dan
gerakan caleg Gerindra tidak dapat dinafikan. Sebaliknya, SBY yang sudah pada
akhir dua masa pemerintahan, dengan prahara di Partai Demokrat gagal
menyelamatkan suara partai. Faktor kharisma Wiranto tidak sekuat Prabowo
dalam mendongkrak suara partai. Faktor ketegasan, rekam jejak, kharisma, dan
sentuhan strategi kampanye menjadi instrumen penentu. Sedangkan, Sutiyoso
seolah sudah kehilangan sentuhan khas jenderal, dengan kekuatan politik yang
berada di baris paling belakang.
Figur militer Pada pertarungan
politik menjelang pemilu presiden, isu militer-sipil berembus kencang. Akan
tetapi, berbeda dengan Pemilu 2004 atau 2009, jika pada dua pemilu
sebelumnya, kharisma Wiranto bertarung dengan citra SBY, kali ini, gesture politik Prabowo menjadi bagian
dari isu politik militer.
Dari analisis peta kekuatan
antar partai dan perkembangan media, tentu saja pertarungan terpanas hadir
dalam konteks Jokowi versus Prabowo. Kedua tokoh ini tampil dalam balutan
strategi komunikasi yang berbeda: Jokowi tampil merakyat dengan strategi
politik blusukan, sedangkan Prabowo tampil gahar dengan ketegasan dan citra
pemimpin kuat yang tanpa ampun menghalau "asing". Jokowi dianggap
sebagai representasi wong cilikyang berada pada instrumen sipil, sedangkan
Prabowo menggunakan kekuatan barisan militernya sebagai bargaining politik.
Dari kubu PDI Perjuangan,
pilihan untuk menempatkan figur yang tepat sebagai wakil Jokowi menjadi
diskusi penting. Hal ini disebabkan tingkat populer Jokowi dapat anjlok jika
salah memilih pasangan duetnya. Pertimbangan untuk memilih figur dari
kalangan militer atau sipil menjadi pertimbangan utama. Pada titik inilah isu
militer masih menjadi instrumen untuk menentukan langkah politik.
Penentuan
pasangan Jokowi--serta Aburizal Bakrie (ARB)--dan peta kekuatan sipil militer
dalam pertarungan calon presiden dan wakil presiden akan menjadi tanda dan
manuver politik, pada masa dua dekade politik Indonesia pascareformasi.
Akankah pertarungan isu sipil-militer semakin memanas? Kita tunggu saja medan
tandingnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar