Senin, 05 Mei 2014

Militer dan Instrumen Politik

Militer dan Instrumen Politik

Munawir Aziz  ;   Peneliti, Alumnus Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
REPUBLIKA,  28 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Hitoriografi politik Indonesia masih kental dengan sejarah militer. Nuansa militer dalam lika-liku kekuasaan dan strategi politik negeri ini menegaskan bahwa warisan psikologis Orde Baru masih bersemayam dalam memori sebagian besar warga Indonesia. Pada ranah kontestasi politik mutakhir, isu militer menjadi instrumen untuk menentukan presiden dan wakil presiden pilihan rakyat. Tentu saja, kajian militer dalam politik Indonesia menjadi menarik pada ruang politik dua dekade mutakhir pasca ambruknya Orde Baru.

Bagaimana memainkan isu militer dalam konstelasi politik saat ini? Apa makna dan dampaknya bagi pertarungan politik, terutama menjelang pemilu presiden pada 9 Juli 2014 nanti? Pada titik ini, militer sebagai sebuah konsep dan kekuatan politik mengalami perebutan makna, karena terpaut dengan memori sejarah dan nuansa masa lalu yang kental.

Politik Indonesia mutakhir adalah proses penyadaran dari politik pencitraan menuju politik kerakyatan. Artinya? Setelah satu dekade rakyat negeri ini mengonsumsi ulang-alik dan akrobat politik yang dimainkan penguasa, dengan jurus politik pencitraan, maka saat nya rakyat mencari nuansa baru dengan politik kejujuran yang akrab dengan keseharian. Hadirnya Joko Widodo (Jokowi) di panggung politik negeri ini menyudahi musim kering kerontang akan harapan pemimpin yang akrab dan merakyat.

Dentuman militer Lalu, bagaimana posisi dan isu militer dalam kontestasi politik Indonesia mutakhir? Dari pemetaan atas hasil pemilu legislatif yang digelar 9 Juni 2014, jelas bahwa kekuatan politik antarpartai sudah dapat dihamparkan. Partai Demokrat, yang mengusung ikon politik SBY, jatuh terpuruk di gelanggang tengah panggung politik. Banjir kasus korupsi, pertentangan politik antarkader, dan perebutan kepentingan di akar rumput menjadi penyebab `kocok ulang' kekuatan partai. PDIP melenggang ke garda depan perolehan suara, sedangkan Partai Golkar relatif stabil. Selanjutnya, PKB memperoleh suara mencengangkan dengan berhasil masuk ke jajaran lima besar.

Pada titik ini, menarik untuk menghitung kekuatan simbol militer empat partai: Gerindra, Partai Demokrat, Partai Hanura, dan PKPI. Dari barisan ikon militer, Letjen (Purn) Prabowo Subianto melenggang dengan mendongkrak perolehan suara Partai Gerindra. Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mampu mengawal posisi Partai Demokrat, dan Jenderal (Purn) Wiranto--meskipun didukung kampanye masif dari gurita media Hary Tanoesoedibjo, hanya berada di barisan tengah.

Ironisnya, Letjen (Purn) Soetiyoso dengan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) berada di urutan buncit perolehan suara pemilu legislatif.
Bagaimana memaknai hal ini? Tentu saja, kampanye masif dan kerja politik sistematis Partai Gerindra, dengan "menjual" ikon Prabowo Subianto sebagai `Macan Asia' berhasil menjadi senjata politik yang intensif. Meskipun, strategi parpol dan gerakan caleg Gerindra tidak dapat dinafikan. Sebaliknya, SBY yang sudah pada akhir dua masa pemerintahan, dengan prahara di Partai Demokrat gagal menyelamatkan suara partai. Faktor kharisma Wiranto tidak sekuat Prabowo dalam mendongkrak suara partai. Faktor ketegasan, rekam jejak, kharisma, dan sentuhan strategi kampanye menjadi instrumen penentu. Sedangkan, Sutiyoso seolah sudah kehilangan sentuhan khas jenderal, dengan kekuatan politik yang berada di baris paling belakang.

Figur militer Pada pertarungan politik menjelang pemilu presiden, isu militer-sipil berembus kencang. Akan tetapi, berbeda dengan Pemilu 2004 atau 2009, jika pada dua pemilu sebelumnya, kharisma Wiranto bertarung dengan citra SBY, kali ini, gesture politik Prabowo menjadi bagian dari isu politik militer.

Dari analisis peta kekuatan antar partai dan perkembangan media, tentu saja pertarungan terpanas hadir dalam konteks Jokowi versus Prabowo. Kedua tokoh ini tampil dalam balutan strategi komunikasi yang berbeda: Jokowi tampil merakyat dengan strategi politik blusukan, sedangkan Prabowo tampil gahar dengan ketegasan dan citra pemimpin kuat yang tanpa ampun menghalau "asing". Jokowi dianggap sebagai representasi wong cilikyang berada pada instrumen sipil, sedangkan Prabowo menggunakan kekuatan barisan militernya sebagai bargaining politik.

Dari kubu PDI Perjuangan, pilihan untuk menempatkan figur yang tepat sebagai wakil Jokowi menjadi diskusi penting. Hal ini disebabkan tingkat populer Jokowi dapat anjlok jika salah memilih pasangan duetnya. Pertimbangan untuk memilih figur dari kalangan militer atau sipil menjadi pertimbangan utama. Pada titik inilah isu militer masih menjadi instrumen untuk menentukan langkah politik.

Penentuan pasangan Jokowi--serta Aburizal Bakrie (ARB)--dan peta kekuatan sipil militer dalam pertarungan calon presiden dan wakil presiden akan menjadi tanda dan manuver politik, pada masa dua dekade politik Indonesia pascareformasi. Akankah pertarungan isu sipil-militer semakin memanas? Kita tunggu saja medan tandingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar