Kamis, 01 Mei 2014

Mengeksploitasi Proletariat Media

Mengeksploitasi Proletariat Media

Triyono Lukmantoro  ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SINAR HARAPAN, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Kamis, 1 Mei 2014, negara secara resmi menerapkan kebijakan libur nasional untuk memperingati Hari Buruh Internasional. Tiap kali ada momentum peringatan Hari Buruh, ingatan yang muncul adalah kaum buruh tekstil, sepatu, dan sejenisnya sedang berarak-arakan menjalankan demonstrasi. Mereka berteriak-teriak menuntut kenaikan upah dan kelayakan tempat kerja.

Ada buruh di sektor lain yang terabaikan ketika demonstrasi digulirkan. Mereka ialah kaum buruh yang bekerja dan mengalami eksploitasi dalam industri media massa. Benar. Mereka adalah buruh media.

Buruh bukanlah entitas yang bersifat tunggal. Apa yang tunggal dalam hidup kaum buruh adalah nasib mereka yang sekadar menjadi suruhan para majikan. Merujuk gagasan Karl Marx (1818-1883), buruh adalah mereka yang harus menjalani hidup dengan menjual tenaga untuk mendapat upah. Mereka tidak punya perangkat-perangkat produksi, seperti modal, tanah, mesin, pabrik, dan seterusnya. Marx menyebut mereka sebagai proletariat.

Sosok proletariat juga hadir dalam jumlah besar dalam industri media. Mereka tidak hanya menjual tenaga, tetapi juga gagasan serta kreativitas. Mereka pun tidak memiliki perkakas-perkakas produksi dalam pusaran industri media, seperti gedung, mesin cetak, pabrik, atau studio-studio penyiaran. Proletariat media inilah yang jarang diungkapkan kehidupannya.

Tiga Alasan

Setidaknya, ada tiga alasan yang mengakibatkan proletariat media amat jarang mendapatkan ekspos. Pertama, proletariat media dipandang sebagai kaum terpelajar yang menduduki jenis pekerjaan yang nyaman. Persyaratan untuk menjadi proletariat media terhitung berkualifikasi tinggi, yakni minimal lulusan diploma tiga atau sarjana strata satu.

Cara berpikir yang mapan adalah pendidikan tinggi otomatis meraih upah tinggi pula. Tidak mungkin orang-orang berpendidikan lebih dari sekolah menengah sudi diberi upah di bawah standar. Itulah cara berpikir yang telah menjadi mitos menyesatkan dalam industri media. Kenyataannya, masih banyak dan terlalu dominan proletariat media yang tidak bisa mendapat upah layak.

Kedua, proletariat media merupakan orang-orang pintar yang bekerja dalam industri kreatif. Pada wilayah perburuhan ini, industri kreatif dibandingkan secara oposisional dengan industri manufaktur.

 Industri kreatif tidak menyedot tenaga berlebihan. Sebaliknya, industri manufaktur sangat menyita tenaga. Konsekuensinya adalah industri kreatif selalu dianggap menyenangkan bagi para pekerja yang berada di dalamnya. Industri manufaktur menciptakan berbagai kesusahan bagi kalangan buruh yang bekerja di sana.

Itulah mitos berikutnya yang keliru besar. Kerja kreatif melibatkan aspek kebertubuhan manusia juga. Rasa letih secara psikologis akan berimbas pula pada kemerosotan kemampuan-kemampuan fisik.

Ketiga, proletariat media merupakan subjek-subjek sosial yang berkemampuan menyuarakan aspirasi rakyat dan pihak lain yang tertindas. Jika pihak di luar proletariat media saja bisa digemakan suaranya, apalagi kepentingan proletariat media sendiri.

Itu merupakan mitos paling besar yang sedemikian salah. Proletariat media ternyata terbungkam (dan memang benar-benar dibungkam!) serta tidak mampu mengemukakan keluh kesahnya sendiri. Jika mereka bisa bersuara, nada-nada yang terdengar pun demikian lirih.

Terlalu banyak proletariat media yang tidak mampu berserikat membentuk organisasi perburuhan. Bahkan, lembaga-lembaga profesi yang menaungi kaum proletariat media kurang mampu dan bahkan tidak maksimal memperjuangkan nasib para proletariat media.

Proletariat media mengalami nasib yang semakin buruk ketika pihak pemilik media, yang selain memiliki bisnis nonmedia, juga terlibat aktif dalam kompetisi politik. Fenomena itu tergambar jelas dalam kasus pengunduran diri (ada yang kerap menyebutnya sebagai “aksi bedhol desa”) beberapa awak redaksi Viva.co.id.

Masalah utamanya adalah iklan Jokowi, yang mempromosikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam Pemilihan Legislatif 2014, diposisikan di tempat yang dianggap “paling keramat” di portal berita itu. Sang Presiden Direktur Viva.co.id,

Anindra Ardiansyah Bakrie, murka karena peristiwa itu. Beberapa redaktur yang dianggap bertanggung jawab, dan dituding sebagai penyusup, diminta mundur dari jabatannya. Kuasa represif pemilik modal yang begitu besar diperlihatkan di sana.

Peristiwa permintaan mundur terhadap jajaran redaksi yang berlangsung di Viva.co.id dapat disebut sebagai puncak gunung es dari kejadian-kejadian serupa. Tentu saja, banyak kejadian sejenis pada level lain yang tidak terungkap atau memang sengaja diredam. Kasus lain ialah mobilisasi karyawan Media Nusantara Citra (MNC) Group dalam kampanye putaran terakhir Pemilu 2014.

Eksploitasi Ganda

Berbagai mitos yang menyelimuti proletariat media menjadikan kaum buruh di sektor informasi ini kurang terungkap dengan baik. Padahal, proletariat media sangat mungkin mengalami eksploitasi ganda. Sebagaimana dijelaskan Vincent Mosco (The Political Economy of Communication: 2nd Edition, 2009), ada dua jenis eksploitasi yang dialami proletariat media, eksploitasi absolut dan relatif.

Hal yang pertama terjadi dengan memperpanjang hari kerja. Misalnya saja, proletariat media dibebani hari dan jam kerja yang sangat panjang sehingga tidak ada waktu untuk beristirahat sejenak. Hak yang kedua berlangsung dengan mengintensifkan proses-proses kerja. Contohnya adalah jenis-jenis pekerjaan yang harus diselesaikan proletariat media tidak hanya satu bidang.

Dalam banyak kasus, misalnya, ada jurnalis yang harus menjalankan liputan untuk tugas utamanya sebagai proletariat media. Namun, selain itu, sang jurnalis diwajibkan mencari iklan untuk pemasukan finansial medianya.

Segala bentuk jenis eksploitasi, baik berkarakter absolut maupun bersifat relatif, hanya membuktikan terjadinya ketimpangan dalam industri media. Eksploitasi, sebagaimana dikemukakan kalangan Marxis, adalah semua bentuk kerja yang menghasilkan surplus (kelebihan) bagi pihak pemilik modal, dengan mengontrol secara ketat ruang gerak kehidupan kaum buruh. Dalam eksploitasi itu, proletariat media mengalami keterasingan.

Keterasingan yang diakibatkan eksploitasi itu semakin dialami kalangan proletariat media, ketika kalangan majikan juga melibatkan diri dalam dunia politik dan secara eksesif memakai medianya untuk berpropaganda. Mereka dieksploitasi dalam jumlah hari kerja. Mereka dieksploitasi untuk menjalankan kerja yang semakin membebani. Puncaknya, proletariat media dijadikan mesin-mesin yang meneriakkan kepalsuan politik dari pemiliknya.

Jika politik dianggap sebagai wilayah tertinggi kehidupan modern untuk menampilkan ekspresi diri terhadap pilihan-pilihan ideologis yang tersedia, yang dialami proletariat media adalah suatu realitas yang menyakitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar