Andai
Survei Salah Menyimpulkan
Teuku Kemal Fasya ; Antropolog Aceh
|
KOMPAS,
30 April 2014
SIAPA yang tahu garis sejarah ke
depan? Kenyataannya, semua yang berhubungan dengan masa depan adalah misteri.
Apalagi dalam politik, serba kemungkinan (art
of possibility) sangat terbuka lebar.
Namun, kadang pemikiran ekstrem
harus dimunculkan juga. Salah satu hal ekstrem itu adalah bagaimana jika
akhirnya Joko Widodo (Jokowi) gagal menjadi presiden Indonesia? Bagaimana
jika Jokowi yang telah menggenapkan harapan publik itu kalah dalam Pemilihan
Presiden 9 Juli mendatang?
Tentu yang paling kerepotan
menjelaskan adalah lembaga survei. Hampir semua lembaga survei sepanjang
2013-2014 menempatkan Jokowi sebagai calon presiden ideal dan paling dipilih.
Silakan menilik survei yang
metodologinya benar, bukan model ”survei-surveian” atau survei partisan yang
memang diarahkan untuk tidak menyukai tokoh tertentu.
Ilmiah statistik
Memang survei adalah survei,
tetapi jangan keliru! Survei adalah bagian dari keilmiahan ilmu statistik
yang memiliki metodologi ketat. Meragukan survei, menurut seorang profesor,
sama dengan menolak pengetahuan penelitian untuk menyimpulkan kebenaran atas
sesuatu.
Mode dan metode survei politik
telah dipraktikkan di seluruh dunia. Ini menjadi semacam penanda publik pra
pemilihan. Sebelum Barack Obama benar-benar terpilih sebagai presiden pun, ia
sudah menjadi ”pemenang” dalam survei-survei.
Jika Jokowi kalah, akan jadi keganjilan
tersendiri dan itu akan memenuhi pemberitaan politik di dunia, seorang calon
presiden ideal publik (melalui survei) gagal dalam pemilihan riil.
Tentu saja kejutan politik
mungkin muncul. Kejutan itu bukan karena persepsi publik keliru, tetapi ada
industri politik modern yang memungkinkan Jokowi terpuruk. Termasuk di
antaranya politik propaganda dan kampanye hitam atas pribadi Jokowi.
Bencana lain juga akan menimpa
publik. Publik luas, seperti terbaca melalui pemberitaan atau di media
sosial, sekian lama mengharapkan perubahan arah politik melalui antitesis
pemimpin ”elitis, borjuis-priayi, karismatis, penuh citra, dan birokrasi
kata-kata”.
Jokowi-lah sintesis itu:
”sederhana, proletar, langsung turun ke bawah, bekerja tanpa perlu berwacana,
dan penampilan tak berbeda dengan rakyat kebanyakan”.
Rasa pedih tentu akan dirasakan
publik. Mendorong sosok seperti Jokowi—yang belum ada dalam sejarah presiden
sebelumnya—memerlukan keberanian. Tak mudah memunculkan keberanian di tengah
apatisme dan rasa takut publik Indonesia dengan model elektoralisme yang
semu. Jokowi menumbuhkan keberanian itu.
Kata filsuf Bertrand Russel, ”When I speak of courage as desirable: a
man is courageous when he does things which others might fail to do owing to
fear. …The fears which had been repressed forced their way to the surface in
ways not recognisable to introspection.” Keberanian adalah mengambil
langkah ketika orang lain masih ragu melakukannya karena takut gagal.
Sebelum Jokowi dengan
blusukan-nya, siapa di antara calon presiden sekarang ini yang melakukannya,
bahkan sebagai langkah politik pencitraan? Siapa yang sabar menemui rakyat,
mendengar keluh-kesah mereka, merumuskan kebijakan bersama rakyat, dan
memenangkan hati rakyat sebagai pemilik kebijakan sesungguhnya?
Ketika formula Jokowi sukses
sebagai praktik demokrasi partisipatoris, mulailah calon presiden lain
menirukan.
Namun, karena tiruan, dan tidak
berangkat dari karakter otentik, terasa sekali nuansa imitasinya: memikul
karung sembako dengan aksi fotogenik atau makan bersama petani di atas daun
pisang dengan mimik muka canggung.
”Business as usual”
Kita tentu masih ingat bagaimana
kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan
(ISHG) di bursa efek langsung
menguat ketika Jokowi mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden pada 14
Maret lalu.
Namun, banyak pihak ternyata
panas hati dan kepala. Energi pun ditumpahkan untuk menangkis popularitas
Jokowi.
Ketika Jokowi mendeklarasikan
diri sebagai capres, kegembiraan bukan hanya di kalangan PDI-P. Dari Aceh
hingga Papua deklarasi tim pendukung Jokowi bermunculan. Di media sosial kini
muncul hashtag #JKW4P atau #JKW4President. Sebagian besar pelakunya
nonpartisan: akademisi, seniman, mahasiswa, bahkan aktivis partai politik
lokal di Aceh.
Pelbagai bentuk respons positif
mengikuti pencalonan ”virtual” Jokowi sebagai calon presiden. Ini menunjukkan
harapan menggelinding dengan deras di tingkat arus bawah dan tengah. Apalagi,
jika akhirnya Jokowi benar-benar menjadi calon presiden definitif dan
memenangi Pilpres 9 Juli mendatang.
Mungkin, harapan publik bisa
salah ketika Jokowi tidak bisa menjadi sosok seperti yang diimajinasikan.
Tak apa, kita bisa kembali pada
model politik elitis dan borjuis yang dipraktikkan sebelumnya. Kita tak
kurang calon presiden yang bisa menjalankan peran politik dan pemerintahan
sebagai ”praktik kebiasaan” (business
as usual).
Ketika publik menganggap
idealisme politiknya tak menang, keinginan melawan rasa takut itu harus tetap
nyata.
Seperti dikatakan Russel,
harapan harus tumbuh untuk membunuh rasa takut yang lama menindas akal sehat.
Itu juga renungan kita sebagai bangsa yang selalu mendengungkan perubahan,
tetapi gagal memutus sejarah masa silam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar