Kamis, 01 Mei 2014

Andai Survei Salah Menyimpulkan

Andai Survei Salah Menyimpulkan

Teuku Kemal Fasya  ;   Antropolog Aceh
KOMPAS, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
SIAPA yang tahu garis sejarah ke depan? Kenyataannya, semua yang berhubungan dengan masa depan adalah misteri. Apalagi dalam politik, serba kemungkinan (art of possibility) sangat terbuka lebar.

Namun, kadang pemikiran ekstrem harus dimunculkan juga. Salah satu hal ekstrem itu adalah bagaimana jika akhirnya Joko Widodo (Jokowi) gagal menjadi presiden Indonesia? Bagaimana jika Jokowi yang telah menggenapkan harapan publik itu kalah dalam Pemilihan Presiden 9 Juli mendatang?

Tentu yang paling kerepotan menjelaskan adalah lembaga survei. Hampir semua lembaga survei sepanjang 2013-2014 menempatkan Jokowi sebagai calon presiden ideal dan paling dipilih.

Silakan menilik survei yang metodologinya benar, bukan model ”survei-surveian” atau survei partisan yang memang diarahkan untuk tidak menyukai tokoh tertentu.

Ilmiah statistik

Memang survei adalah survei, tetapi jangan keliru! Survei adalah bagian dari keilmiahan ilmu statistik yang memiliki metodologi ketat. Meragukan survei, menurut seorang profesor, sama dengan menolak pengetahuan penelitian untuk menyimpulkan kebenaran atas sesuatu.

Mode dan metode survei politik telah dipraktikkan di seluruh dunia. Ini menjadi semacam penanda publik pra pemilihan. Sebelum Barack Obama benar-benar terpilih sebagai presiden pun, ia sudah menjadi ”pemenang” dalam survei-survei.
Jika Jokowi kalah, akan jadi keganjilan tersendiri dan itu akan memenuhi pemberitaan politik di dunia, seorang calon presiden ideal publik (melalui survei) gagal dalam pemilihan riil.

Tentu saja kejutan politik mungkin muncul. Kejutan itu bukan karena persepsi publik keliru, tetapi ada industri politik modern yang memungkinkan Jokowi terpuruk. Termasuk di antaranya politik propaganda dan kampanye hitam atas pribadi Jokowi.

Bencana lain juga akan menimpa publik. Publik luas, seperti terbaca melalui pemberitaan atau di media sosial, sekian lama mengharapkan perubahan arah politik melalui antitesis pemimpin ”elitis, borjuis-priayi, karismatis, penuh citra, dan birokrasi kata-kata”.

Jokowi-lah sintesis itu: ”sederhana, proletar, langsung turun ke bawah, bekerja tanpa perlu berwacana, dan penampilan tak berbeda dengan rakyat kebanyakan”.
Rasa pedih tentu akan dirasakan publik. Mendorong sosok seperti Jokowi—yang belum ada dalam sejarah presiden sebelumnya—memerlukan keberanian. Tak mudah memunculkan keberanian di tengah apatisme dan rasa takut publik Indonesia dengan model elektoralisme yang semu. Jokowi menumbuhkan keberanian itu.

Kata filsuf Bertrand Russel, ”When I speak of courage as desirable: a man is courageous when he does things which others might fail to do owing to fear. …The fears which had been repressed forced their way to the surface in ways not recognisable to introspection.” Keberanian adalah mengambil langkah ketika orang lain masih ragu melakukannya karena takut gagal.

Sebelum Jokowi dengan blusukan-nya, siapa di antara calon presiden sekarang ini yang melakukannya, bahkan sebagai langkah politik pencitraan? Siapa yang sabar menemui rakyat, mendengar keluh-kesah mereka, merumuskan kebijakan bersama rakyat, dan memenangkan hati rakyat sebagai pemilik kebijakan sesungguhnya?

Ketika formula Jokowi sukses sebagai praktik demokrasi partisipatoris, mulailah calon presiden lain menirukan.

Namun, karena tiruan, dan tidak berangkat dari karakter otentik, terasa sekali nuansa imitasinya: memikul karung sembako dengan aksi fotogenik atau makan bersama petani di atas daun pisang dengan mimik muka canggung.

”Business as usual”

Kita tentu masih ingat bagaimana kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan 
(ISHG) di bursa efek langsung menguat ketika Jokowi mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden pada 14 Maret lalu.

Namun, banyak pihak ternyata panas hati dan kepala. Energi pun ditumpahkan untuk menangkis popularitas Jokowi.

Ketika Jokowi mendeklarasikan diri sebagai capres, kegembiraan bukan hanya di kalangan PDI-P. Dari Aceh hingga Papua deklarasi tim pendukung Jokowi bermunculan. Di media sosial kini muncul hashtag #JKW4P atau #JKW4President. Sebagian besar pelakunya nonpartisan: akademisi, seniman, mahasiswa, bahkan aktivis partai politik lokal di Aceh.

Pelbagai bentuk respons positif mengikuti pencalonan ”virtual” Jokowi sebagai calon presiden. Ini menunjukkan harapan menggelinding dengan deras di tingkat arus bawah dan tengah. Apalagi, jika akhirnya Jokowi benar-benar menjadi calon presiden definitif dan memenangi Pilpres 9 Juli mendatang.

Mungkin, harapan publik bisa salah ketika Jokowi tidak bisa menjadi sosok seperti yang diimajinasikan.

Tak apa, kita bisa kembali pada model politik elitis dan borjuis yang dipraktikkan sebelumnya. Kita tak kurang calon presiden yang bisa menjalankan peran politik dan pemerintahan sebagai ”praktik kebiasaan” (business as usual).

Ketika publik menganggap idealisme politiknya tak menang, keinginan melawan rasa takut itu harus tetap nyata.

Seperti dikatakan Russel, harapan harus tumbuh untuk membunuh rasa takut yang lama menindas akal sehat. Itu juga renungan kita sebagai bangsa yang selalu mendengungkan perubahan, tetapi gagal memutus sejarah masa silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar