Dari
“Brain Drain” ke “Brain Gain”
Budi Santosa ;
Guru Besar dan Ketua
Jurusan Teknik Industri ITS dan Reviewer
Beasiswa LPDP
|
KOMPAS,
02 Mei 2014
Isu
brain drain kembali mencuat mengiringi pengiriman secara besar-besaran
sejumlah mahasiswa Indonesia ke luar negeri.
Mereka
dikirim untuk studi master atau doktor dengan dibiayai pemerintah lewat dana
abadi yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Ketakutan akan
terjadinya brain drain—aliran orang pintar untuk bekerja ke luar negeri—bisa
dimengerti karena fakta-fakta sebelumnya menunjukkan banyak orang pintar yang
belajar ke luar negeri akhirnya lebih suka bekerja di negara lain daripada
mengaplikasikan ilmunya di dalam negeri.
Fenomena
brain drain bukan hanya dialami Indonesia. Perlukah dibuat aturan agar para
pemilik otak pintar ini segera pulang seusai sekolah mereka?
Tahun
2013 sedikitnya 300 penerima beasiswa belajar di beberapa universitas Eropa,
AS, Asia, dan Australia dikirim oleh LPDP. LPDP mengelola tidak kurang dari
Rp 16 miliar dana abadi, baik untuk pendidikan, penelitian, maupun pengatasan
bencana. Angka 300 ini masih jauh dari target, yaitu sekitar 2.000 orang per
tahun. Tahun ini sudah ada 26.000 pendaftar untuk mendapatkan beasiswa
sekolah di luar ataupun dalam negeri.
Dengan
begitu, dipastikan tahun ini semakin banyak lagi yang akan dikirim seiring
dengan semakin meluasnya informasi lowongan beasiswa yang dikelola LPDP. Hal
ini belum pernah terjadi dalam sejarah Republik Indonesia, pemerintah
menyediakan dana abadi sebegitu besar untuk beasiswa baik dalam maupun luar
negeri untuk semua kalangan kecuali dosen. Khusus untuk dosen, beasiswa
disediakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Menyongsong
era di mana Indonesia akan masuk kelompok tujuh kekuatan ekonomi dunia pada
2030 serta target mencetak 113 juta tenaga terdidik dari hanya 55 juta
sekarang, pengiriman orang-orang pintar ini menjadi penting. Untuk
mengantisipasi agar target itu tercapai dan tidak terjadi aliran orang pintar
ke luar negeri, LPDP berusaha agar seusai mereka menyelesaikan studi bisa
langsung kembali ke Tanah Air. Salah satu yang termudah dilakukan adalah
menetapkan syarat para penerima beasiswa ini harus segera pulang seusai studi
mereka untuk mengabdi di Indonesia.
Pengalaman
menunjukkan banyak penerima beasiswa pada era Habibie, di akhir 1980-an, baik
melalui BPPT, Batan, maupun IPTN, yang justru tidak mendapat tempat bekerja
di Tanah Air ketika pulang. Negara tidak siap menampung mereka. Kebanyakan
ilmu atau pengetahuan mereka jauh di atas yang bisa diaplikasikan di sini.
Akhirnya mereka meniti karier di banyak tempat di luar negeri.
Belajar dari negara lain
Kekhawatiran
seperti itu sebenarnya berlebihan. Sejarah di tempat lain membuktikan brain
drain biasanya akan segera diikuti arus balik ketika kondisi ekonomi kita
membaik, infrastruktur dibangun, lapangan kerja bertambah, standar upah naik,
dan kenyamanan hidup lebih baik. Kejadian di Tiongkok dan Korea Selatan bisa
menjadi cermin.
Tiongkok
maupun Korea Selatan juga pernah mengirim secara besar-besaran orang-orangnya
belajar di Eropa ataupun AS pada 1980-an. Banyak dari mereka yang kemudian
enggan pulang ke negerinya. Kondisi Tiongkok dan Korea pada saat itu tentu
berbeda dengan sekarang. Negara mereka tentu saja kurang menarik bagi
orang-orang pintar yang baru saja menikmati kehidupan di negara maju.
Beberapa
puluh tahun berlalu ketika Tiongkok atau Korea Selatan mencapai kemajuan
setara dengan negara-negara Barat, orang-orang pintar itu pun mengalir
kembali ke tanah airnya. Aliran balik orang pintar secara alami terjadi.
Mereka yang pulang kembali tentu saja sudah mendapatkan banyak sekali bekal
baik pengalaman di bidang riset, manajemen, pendidikan, maupun pengembangan
produk setelah sekian tahun bekerja di negara maju. Ini keuntungan luar biasa
bagi kedua negara untuk mempercepat pembangunannya.
Bahkan,
Tiongkok dan Korea Selatan melakukan sesuatu yang spektakuler untuk mendapatkan
brain gain. Tiongkok sejak 2006 melalui menteri pendidikannya meluncurkan
Plan 111 untuk meraih brain gain melalui perbaikan mutu pendidikan tinggi.
Bekerja
sama dengan State Administration of
Foreign Experts Affairs, Tiongkok membangun pusat-pusat inovasi (innovation centers) dan mengumpulkan
para ahli kelas satu dunia. Sebanyak 1.000 orang berbakat dari 100
universitas top di dunia diundang ke Tiongkok. Para ahli ini akan bekerja
sama dengan para ilmuwan Tiongkok dengan menciptakan 100 innovation center. Sampai sekarang program itu masih berjalan.
Korea
Selatan tidak mau kalah. Menyadari kekurangannya dalam kepemilikan sumber
daya alam, Korsel menetapkan sumber daya manusia sebagai aset utama untuk
berkompetisi. Kalau dulu banyak tenaga tidak terampil direkrut dari luar
negeri untuk mendukung sektor manufakturnya (termasuk Indonesia), Korea
Selatan kemudian meluncurkan apa yang disebut Contact Korea. Program baru untuk menarik para tenaga kerja
profesional bermutu tinggi bekerja di Korea Selatan. Profesional yang dicari
seperti manajer, peneliti, ilmuwan, insinyur, atau profesional lain di bidang
kesehatan, arsitek, teknologi informasi, metalurgi, dan lain-lain. Tentu
saja, mereka membayar tinggi para ahli dari luar ini.
Melalui
dukungan pemerintah, Korea memberi dukungan untuk perusahaan swasta dan
kantor pemerintah yang ingin merekrut profesional dari berbagai belahan
dunia. Sebagai perwujudan rencana besar ini, Korea membuka 120 kantor Korea Business Center di 82 negara di
Amerika, Eropa, Asia, Timur Tengah, Rusia untuk melakukan perekrutan,
termasuk di Jakarta.
Apa yang
dilakukan Tiongkok dan Korea otomatis memancing para ahli maupun ilmuwan
mereka yang berada di luar negeri untuk kembali pulang kampung. Bagaimanapun
hidup di negeri dengan budaya yang mereka kenali dengan baik akan lebih
menarik dibandingkan di negara lain. Mungkin juga aspek nasionalisme ikut
menjadi pendorong.
Dari
contoh di atas, sebaiknya LPDP jangan membatasi orang pintar yang mereka
kirim harus segera pulang untuk mengabdi di dalam negeri. Justru mereka perlu
diberi kesempatan menyerap sebanyak
mungkin ilmu dan pengalaman di negara maju baik di bidang pendidikan, riset,
manajemen, maupun bekerja di perusahaan multinasional.
Sementara
itu, usaha-usaha untuk menjadikan Indonesia tempat yang nyaman bagi mereka
bisa terus dilakukan sehingga cerita brain drain era Habibie tak akan
terulang. Suatu saat nanti ketika Indonesia menjadi negara yang menarik dari
sisi ekonomi, pelayanan umum, pelayanan pendidikan dan kesehatan, dan standar
upah, orang-orang pintar ini pasti akan rindu kembali pulang kampung. Bahkan, LPDP dengan dana yang dikelolanya
bisa melakukan langkah terobosan seperti apa yang dilakukan Tiongkok dan
Korea.
Tren baru dan langkah terobosan
LPDP
dalam beberapa tahun ke depan bisa memancing orang-orang pintar dari negara
lain untuk bekerja di Indonesia. Kita bisa menawarkan kepada para profesor
bagus dari luar untuk bekerja sebagai pengajar dan peneliti di beberapa PTN
dengan standar gaji yang memadai. Langkah terobosan ini diperlukan untuk
percepatan pembangunan Indonesia, bukan menjadikan Indonesia obyek pemasaran
produk asing atau tempat mengeruk sumber daya alam seperti yang selama ini
terjadi, tetapi harus bergeser ke meraih brain gain. Orang-orang pintar ini
bisa dipancing bekerja di perguruan tinggi atau pusat penelitian.
Di
samping itu, pemerintah (LPDP) harus mulai berpikir akan adanya tren baru
dalam dunia pendidikan/penelitian kita. Seiring dengan semakin banyaknya
dosen PTN bereputasi internasional, mulai banyak permintaan mahasiswa atau
doktor baru yang ingin menjadi peneliti di Indonesia. Dosen kita jelas tidak
punya cukup dana untuk merekrut dan menerima mereka. LPDP bisa mengucurkan dana kepada para
dosen di PTN untuk merekrut tenaga post-doctoral, mahasiswa master, atau
doktor asing untuk bekerja di laboratorium-laboratorium di universitas dan
institut kita.
Jika itu
terjadi, kita tidak harus mengirim sekian ratus atau ribu orang tiap tahun
untuk belajar di luar negeri. Para profesor asing ini bisa menjadi pengajar
sekaligus pembimbing disertasi atau tesis bagi mahasiswa pascasarjana kita.
Tenaga post-doctoral atau mahasiswa pascasarjana asing juga diharapkan
menggairahkan iklim meneliti di universitas. Lebih jauh lagi bisa
menghasilkan publikasi internasional yang berkualitas, penemuan baru,
perbaikan pendidikan, dan kemajuan
teknologi.
Devisa
bisa dihemat, pengetahuan bisa didapat. Dengan begitu, bukan brain drain yang
terjadi, melainkan brain gain. Siapkah kita? Dari sisi dana, LPDP mengelola
uang yang tidak kecil dan itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk
membangun bangsa. Kalau dari infrastruktur dan fasilitas belum siap, kita
bisa mengandalkan keragaman budaya dan seni, keindahan alam, dan keramahan
penduduk untuk memancing mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar