Mengintip
Masa Depan
Hendra Gunawan ;
Guru Besar FMIPA ITB
|
KOMPAS,
02 Mei 2014
Pemilihan
Umum Legislatif 9 April 2014 hasilnya kini telah terpetakan. Karena tak ada
satu pun partai yang meraih suara 25 persen atau lebih, saat ini kita
menyaksikan para pemimpin partai sibuk menjajaki koalisi, entah untuk
membangun kerja sama atau dagang sapi. Pada 9 Juli 2014, rakyat Indonesia
akan kembali ke TPS untuk memilih siapa yang akan jadi presiden Indonesia
periode 2014-2019. Siapa pun yang terpilih tampaknya negara kita akan
dipimpin kabinet pelangi lagi. Itu pertanda lima tahun ke depan panggung
politik kita akan diwarnai banyak drama seperti 15 tahun terakhir.
10-20 tahun ke depan
Apabila
kita kemudian tidak dapat berharap banyak pada pemerintah yang akan datang
karena alasan di atas, kepada siapa kita dapat menaruh harapan bahwa negara
kita akan tetap eksis dan diperhitungkan dunia? Jika potret lima tahun ke
depan masih agak suram, bagaimana nasib bangsa 10-20 tahun ke depan?
Panen
boleh gagal, tetapi selama kita masih memiliki benih kita masih punya
harapan. Dalam konteks pembangunan bangsa, ”lumbung benih” adalah tempat anak
bangsa ditempa dan dibangun kemampuannya, yaitu sekolah dan lembaga
pendidikan lainnya. Dalam konteks peningkatan daya saing bangsa, terlebih di
abad ke-21 ini, lumbung benih itu adalah perguruan tinggi dan lembaga-lembaga
penelitian yang mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek).
Namun,
belakangan ini kita juga tidak melihat adanya titik terang bahwa kita akan
menikmati ”panen” berlimpah 10-20 tahun ke depan. Investasi kita untuk masa
depan itu sangat minim. Andrianto Handojo, Ketua Dewan Riset Nasional,
mengkhawatirkan masa depan bangsa jika tidak ada upaya perbaikan yang segera
dilakukan oleh para pemangku kepentingan (Kompas, 10/4/2014).
Pada
saat bersamaan, Daoed Joesoef, mantan Mendikbud periode 1978-1983, mengajak
kita untuk memikirkan ulang pendidikan sehubungan dengan tidak tumbuhnya
komunitas ilmiah di perguruan tinggi kita (Kompas, 7/4/2014). Ia resah karena
berdasarkan sejarah suatu bangsa bisa maju dalam peradaban hanya jika
subkomunitas ilmiahnya lebih maju daripada subkomunitas lainnya.
Bahwa
kita tertinggal dalam penguasaan iptek, padahal itu yang menentukan apakah
kita sebagai bangsa tetap eksis dan berjaya di abad ini, juga membuat
Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhanas, risau. Menurut dia,
bangsa Indonesia hanya dapat hidup bahagia dan sejahtera jika kita
bergotong-royong mengembangkan iptek modern sesuai tuntutan zaman (Kompas,
7/4/2014).
Tiga
tokoh masyarakat telah menyatakan kerisauannya tentang masa depan bangsa.
Jika saya bongkar arsip saya, masih banyak pernyataan keresahan serupa dari
pemuka masyarakat lainnya. Sebut misalnya Bambang Hidayat, Ketua Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia periode 2007-2008. Di satu sisi ia gelisah dengan
kurikulum nasional, di sisi lain berharap Indonesia dapat turut berperan
dalam arus kemajuan dunia (Kompas, 17/6/2013).
Siapalah
saya jika saya kemudian menambahkan, melalui beberapa tulisan saya
sebelumnya, bahwa kinerja perguruan tinggi di Indonesia selama ini sangat
jauh dari harapan. Sebetulnya apabila kita menengok ke belakang, kesadaran
akan ketidakberdayaan perguruan tinggi dalam mendukung perekonomian negara
telah ada ketika Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997. Di institut
tempat saya mengabdi, saat itu digagas perubahan tata kelola agar institut
kami dapat berkontribusi lebih pada perekonomian negara.
Di tingkat
nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyusun Higher Education Long Term Strategies (HELTS) 2003-2010 dan pada
waktu yang hampir bersamaan meluncurlah tujuh perguruan tinggi BHMN dengan
skema pendanaan berupa block grant.
Sayangnya, dukungan keuangan dari negara yang dinantikan tak kunjung
mengucur. UU Badan Hukum Pendidikan yang terbit pada 2009 bukannya menjadi
solusi, melainkan memicu blunder
dan akhirnya dibatalkan serta menyeret PT BHMN kembali menjadi PTN dengan pola
pengelolaan keuangan BLU yang ruwet.
Pada
2012, UU Pendidikan Tinggi disahkan dan beberapa peraturan pemerintah yang
mengatur pelaksanaannya pun telah terbit. Namun, terlalu naif jika kita
mengganggap produk hukum ini merupakan kunci yang akan mendongkrak kinerja
perguruan tinggi kita dalam pengembangan iptek, sementara kita tahu bahwa
dukungan dana untuk itu tidak memadai.
Menurut
hemat penulis, dana yang tersedia saat ini hanya cukup untuk biaya
operasional penyelenggaraan pendidikan, tidak untuk bersaing dengan negara
lain dalam pengembangan iptek. Baru-baru ini, Mendikbud mengungkapkan alokasi
anggaran tahun 2014 untuk pendidikan tinggi (di seluruh Indonesia) hanya Rp
3,2 triliun. Bandingkan dengan anggaran National University of Singapore pada
2013 yang mencapai Rp 18 triliun.
25-40 tahun ke depan
Jika
nasib bangsa 10-20 ke depan masih suram karena kita ternyata tidak bisa
berharap pada perguruan tinggi kita yang seharusnya berperan sebagai ”lumbung
benih”, kepada siapa lagi kita harus menggantungkan harapan?
Dalam
situasi seperti ini, satu- satunya yang harus kita jaga adalah anak-anak. Ya,
mereka yang saat ini berada di bangku sekolah dasar karena mereka yang akan
mengawal bangsa ini 25-40 tahun ke depan. Pertanyaannya sekarang: apakah yang
akan kita wariskan untuk mereka? Apakah, misalnya, Kurikulum 2013 yang
disusun dengan tergesa-gesa itu merupakan bekal yang mereka perlukan?
Kita
tidak mempunyai ruang lagi untuk berbuat salah kecuali kita tidak peduli jika
bangsa Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa tidak pernah
terwujud, malah punah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar