Bangsa
Hebat, Bangsa Pembuat
Ade
Febransyah ; Prasetiya Mulya Business School
|
TEMPO,
22 Mei 2014
Inovasi dipuja; imitasi begitu dihina
Inovasi dirindukan; imitasi begitu dilupakan
Inovasi membuat kita terkesima; sedangkan imitasi
sulit diterima
Dan inovasi adalah sebuah kemahakaryaan; sedangkan
imitasi hasil dari kemalasan
Benarkah
demikian? Silakan lihat di YouTube bagaimana seorang remaja 14 tahun, Tina S.
Cover, memainkan karya sulit milik salah satu dewa gitar, John Petrucci,
personel band Dream Theater. Secara teknik, dia luar biasa, penjiwaannya juga
sudah dapat. Poinnya adalah Tina dan beberapa orang lainnya di luar sana
mampu mengikuti/mengimitasi karya masterpiece seorang maestro.
Teringat
kembali bagaimana ketika tablet Apple generasi pertama diluncurkan Steve Jobs
pada awal 2010. Hanya berselang dua bulan, sudah muncul tablet-tablet serupa
versi Taiwan. Juga lihat apa yang dilakukan oleh pabrikan mobil di Cina.
Terakhir ada Landwind E32 yang merupakan kembaran dari Range Rover Evoque.
Mereka dapat membuat hampir apa saja.
Persaingan
dalam dunia inovasi tidak ubahnya seperti balap F1. Penginovasi dan
pengimitasi berkejaran. Apa pun yang dilakukan oleh penginovasi akan selalu
(dengan mudah) diikuti oleh pengimitasi. Jika penginovasi lengah, pengimitasi
justru bisa mengambil alih posisi.
Jadi,
jangan anggap remeh pengimitasi. Tidak mudah untuk menjadi Tina S. Cover dan
pengimitasi lainnya. Pengimitasi sudah begitu berkeringat untuk membangun
kapabilitasnya yang menyerupai penginovasi. Segala kerja keras mereka juga
perlu diacungani jempol. Selanjutnya, jika mereka cerdas (smart imitator),
dalam artian juga menghasilkan karya orisinal sendiri, mereka dapat pindah
kelas menjadi penginovasi sejati.
Di
tengah kepungan penginovasi global lewat keunggulan berbagai produknya, masih
tersisakah peluang berinovasi untuk pelaku bisnis di Indonesia? Jika para
macan bahkan naga Asia, seperti Korea, Cina, India, dan Taiwan mampu, kita
pun sebenarnya mampu. Mulailah dengan berimitasi, asal dengan cerdas. Itulah
pintu masuk menjadi bangsa pembuat.
Tidak
ada bangsa yang hebat tanpa menjadi pembuat. Dengan membuat, mereka jadi
berdaulat, mampu mandiri, dan tidak selalu bergantung pada pihak luar. Namun
kedaulatan tidaklah gratis, harus dicapai lewat proses berkeringat.
Bagaimana
bisa berdaulat secara ekonomi jika kita tidak setara dengan para penguasa
dunia. Untuk bisa bersanding dengan kepala tegak, tidak ada cara lain selain
terus membangun kemampuan untuk persaingan global. Jika lemah dalam daya
saing, risiko untuk dieksploitasi pihak luar tidak terhindari. Itulah takdir
bagi yang tidak siap dalam globalisasi.
Sekali-sekali,
ada baiknya menengok perjalanan bangsa lain dalam memajukan negaranya. Korea
Selatan misalnya. Siapa pernah menyangka bahwa Korea yang sekarang dulunya
termasuk negara termiskin di dunia. Ya, pada awal 1960-an, mereka bukan
apa-apa. Namun keberanian, keyakinan, dan komitmen yang tinggi dari
pemimpinnya dalam membangun industri nasionalnya akhirnya berbuah manis.
Bagaimana
dengan Indonesia? Tidak dimungkiri berbagai produk made in Indonesia sudah
banyak dijumpai. Namun adakah pelakunya di sini yang termasuk pengimitasi
pintar hingga penginovasi? Silakan lihat pemilik merek lokal. Adakah yang
berhadapan langsung dengan Apple, Samsung, Intel, Google, Amazon.com, dan
perusahaan berbasis teknologi dan telekomunikasi lainnya? Sepertinya belum.
Atau,
adakah pelaku bisnis di sini yang berencana berinvestasi dalam R&D
tentang pengembangan biofuel dari mikroba hasil rekayasa genetika, baterai
lithium-ion untuk menghadirkan mobil elektrik masa depan dengan harga
terjangkau, kabel listrik superkonduktor berkapasitas sekian kali lebih besar
dibanding kabel tembaga konvensional, pembuat mesin DNA sequencing untuk
mendeteksi mikroba dan sebaran virus dalam tubuh, penghasil uap bertenaga
matahari untuk pembangkit listrik, sampai kaus olahraga hasil daur ulang
botol plastik? Masih jauh. Oportunitas inovasi untuk keberlangsungan manusia
pada masa depan masih belum menjadi agenda pelaku bisnis di sini.
Oportunitas
inovasi tidak datang dengan sendirinya. Butuh suatu jejaring penginterpretasi
(network of interpreter) untuk
berinovasi (Verganti, 2009). Adanya
institusi-institusi riset penghasil invensi menjelaskan "iklim
membuat" suatu bangsa. Iklim membuat juga tidak tumbuh jika kebijakan
pemerintah tidak memberi kemudahan bagi penginvensi dan pelaku inovasi. Iklim
membuat juga lesu jika dari pelaku bisnisnya sendiri belum menjadikan inovasi
sebagai strategi perusahaan untuk bertumbuh. Inovasi masih dilihat sebagai
alternatif terakhir. Sesuatu yang mahal, berisiko, dan harus dihindari.
Kesemuanya membuat kelambanan inovasi di Tanah Air. Akhirnya, inovasi hanya
sebatas selebritas, asyik dibicarakan tapi enggan dibumikan.
Menjadi
bangsa hebat adalah sebuah kerinduan bersama yang tidak perlu didebat. Salah
satu upayanya adalah lewat membuat. Apa saja yang membuat bangsa ini
berdaulat. Tidak mudah memang. Hanya pembuatlah yang mengubah dunia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar