Kamis, 07 November 2013

Transformasi Pertanian di Pusaran Impor



Transformasi Pertanian di Pusaran Impor
Adig Suwandi  ;  Praktisi Agribisnis,
Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
SUARA KARYA, 06 November 2013

Salah satu penyebab membengkaknya defisit transaksi berjalan yang berujung melemahnya fundamental ekonomi Indonesia belakangan ini, adalah meningkatnya impor pangan dan produk pertanian primer lain. Besarnya kandungan impor pangan utama dan bahan baku agroindustri telah mengarah dan menjadi perangkap struktural. Tampaknya hingga beberapa tahun ke depan, persoalan tersebut belum akan terselesaikan secara tuntas. Kita belum melihat sinyal adanya kebijakan revolusioner dan terintegrasi sebagai syarat mutlak sebuah transformasi pertanian diluncurkan dalam waktu dekat.

Orang hanya bisa terheran-heran melihat keberlimpahan sumber daya alam Indonesia, tersedianya teknologi, dan kerja keras yang ditampilkan para petani untuk menghasilkan produk bagi kesejahteraan keluarganya tetapi tidak juga berdaulat dalam soal pangan. Bahkan, impor pangan menunjukkan tendensi meningkat dari waktu ke waktu. Setelah krisis bawang putih dan kedelai, bukan tidak mungkin kita akan berhadapan dengan petaka serupa. Selama produksi pertanian dalam negeri lebih rendah dibanding kebutuhan riil, selama itu pula impor menjadi solusi. Krisis tidak juga menjadi pelajaran untuk merestorasi kebijakan.

Impor itu sangat mudah dilakukan, tidak memerlukan diskusi terlalu panjang, eksekusi bisa cepat, dan hasil spektakuler. Tidak mengherankan saat harga produk pangan melejit, otoritas perdagangan langsung menggulirlan desain impor berikut fasilitas kemudahan yang dapat diberikan. Atas nama pembelaan terhadap konsumen dengan jumlah jauh lebih banyak dibanding petani produsen, fasilitas keringanan hingga pembebasan bea masuk berikut kelonggaran bagi perusahaan mana pun yang menginginkan impor pasti diberikan. Cara tersebut sangatlah efektif untuk meredam harga sehingga konsumen bisa tertawa lepas, tetapi dalam jangka panjang berdampak rontoknya animo petani terkait peningkatan produktivitas berkelanjutan. Harga pangan murah lebih banyak menyesatkan dibanding kapabilitasnya menopang sistem produksi berkarakter daya saing lokal kuat.

Pengalaman sejumlah negara yang telah berhasil memasuki basis ekonomi industri dan jasa, menunjukkan penguatan pertanian menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan transformasu struktural. Selain menyediakan bahan pangan dan dukungan bagi teredianya bahan baku industri manufaktur, untuk selamanya pertanian medan perjuangan tanpa akhir. Keterkaitan antara pemanfaatan sumber daya lahan dan komunitas lokal dalam sistem produksi berkelanjutan menjadi landasan kuat bagi tersambungnya peran pertanian sampai kapan pun. Ekspor hasil-hasil indusri dan berkembangnya jasa memang memungkinkan bagi Indonsia membeli bahan pangan dari pasar global. Namun akan sangat berbahaya bagi sebuah komunitas kebangsaan dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta terlalu menggantungkan surplus pangan global, apalagi sumber daya lahan memungkinkan terselenggaranya kegiatan produksi pertanian dengan lebh baik.

Opsi kembali kepada negara, apakah membiarkan ekonomi pertanian berjalan seperti sekarang dengan beragam akibat kronisnya ataukah muncul kesadaran kolektif dan kemauan politik (political will) untuk menata ulang platform salah kaprah tadi. Keterpurukan dialami petani menyusul berlanjutnya pembiaran terhadap marginalisasi dan polarisasi. Perubahan iklim (climate change) yang membuat petani tidak bisa lagi menggunakan formula klasik dalam bertani juga miskin solusi komprehensif. Produksi jatuh bangun, petani menanggung beban ketidakhadiran negara saat mengatasi kondisi karut marut tadi. Harga dasar yang diharapkan menjadi landasan menghitung sisa hasil usaha minimal juga tanpa garansi. Sementara investor yang berniat membantu akselerasi peningkatan produksi menuju swasembada juga tersandung sejumlah kendala seperti pembebasan lahan berikut over-lapping kepentingan, keterbatasan infrastruktur fisik, dan ketidakjelasan tata ruang kawasan budidaya. Koordinasi lintas-kementerian hanya mudah diucapkan, tetapi implementasinya tetap saja jauh panggang dari api.

Keterpaduan

Ekspektasi publik menunjukkan hasrat kuat dan desakan kepada negara untuk mengambil peran lebih besar, berfikir cerdas, bertindak kreatif, dan melihat kepentingan jangka panjang yang bila tidak diselesaikan bakal menjadi bahaya laten yang jauh lebih dahsyat dampaknya tergadap kelangsungan hidup bangsa. Persoalan pangan dan pertanian tidak bisa dianggap enteng, apalagi solusinya hanya dilakukan dari rapat ke workshop. Penguatannya menjadi pendobrak kelambanan yang terjadi.

Sampai di sini petani dan pelaku agribisnis tidak hanya memerlukan kebijakan proteksi dan promosi selama masa transisi menuju implementasi liberalisasi ekonomi, melainkan juga nyata apa yang bakal digulirkan untuk menyakinkan mereka bahwa pertanian memang urgen. Revitalisasi pertanian sudah beberapa tahun lalu dikumandangkan, tetapi nyaris tak terdengar menyusul ketidakhadiran negara di sana. Posisinya bahkan kalah pamor dibanding isu suap rekomendasi impor daging sapi. Impor seharusnya dilihat sebagai pelengkap selama kurun tertentu untuk pemantik semangat kemandirian lokal. Setelah itu, Indonesia harus menjadi pengekspor produk pertanian handal dengan penguasaan pasar makin tersegmentasikan. Riset inovatif sudah banyak tetapi minim implementasi akibat minimnya insentif diberikan dan terputusnya jalur komunikasi antara petani versus petani.

Kesadaran akan pentingnya transformasi pertanian sejalan paradigma baru dalam pembangunan milenium yang menempatkan pentingnya aspek peningkatnan daya dukung, keberlanjutan, dan kesejahteraan dalam semangat demokrasi ekonomi merupakan konsep yang memerlukan keseriusan dan kehadiran negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar