Kamis, 07 November 2013

Politik Dinasti, Apa Itu Salah?



Politik Dinasti, Apa Itu Salah?
Aziz Syafiuddin  ;  PNS di Biro Informasi dan Persidangan Kemenko Kesra RI
SUARA KARYA, 06 November 2013

Wacana 'politik dinasti' tiba-tiba menguat kembali pasca penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (3/10/2013) dan juga adik Gubernur Banten Tubagus Chaery Wardana alias Wawan oleh KPK. Sebelumnya wacana ini memang menggelinding seiring dengan tengah dibahasnya RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di DPR. Penangkapan mereka akhirnya menguatkan wacana publik bahwa politik kekerabatan atau politik dinasti sebagai hal yang keliru, sehingga perlu digeser dari bangunan demokrasi di negeri ini.

Secara sederhana politik dinasti seringkali dipahami sebagai sebuah konsep nepotisme dalam dunia politik atau kekuasaan. Satu jabatan tertentu kemudian tersambung klik politiknya dengan jabatan tertentu lainnya yang (seolah) membentuk lingkaran kekerabatan dalam politik atau kekuasaan. Ada perdebatan yang mengemuka dalam kerangka wacana politik dinasti ini.

Pertama, bagi kalangan yang menolak wacana politik dinasti. Kalangan ini menganggap politik dinasti punya potensi kuat menciptakan kepemimpinan kroni dan nepotis, sehingga itu justru kontraproduktif dengan etika demokrasi yang tengah dibangun. Kalangan pertama ini bahkan telah menyiapkan diri untuk memasang jejaring perangkap bagi tumbuhnya politik dinasti lewat regulasi Pilkada yang saat ini tengah dibahas di DPR. 

Lihatlah Pasal 12 Huruf (p) RUU Pilkada disebutkan, calon gubernur tidak boleh memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu tahun. Sementara dalam pasal 70 huruf (p), calon bupati tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/walikota, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.

Kedua, kalangan yang lebih terbuka terhadap wacana politik dinasti, dalam hal ini mereka menerima wacana ini meski dalam tahap tertentu memberikan catatan. Kelompok ini seolah menyodorkan pandangan objektif bahwa dengan ditolaknya wacana politik dinasti, itu akan mengarah pada pembatasan hak politik warga negara yang secara sah dijamin oleh konstitusi bahwa setiap warga negara punya hak memilih dan dipilih. 

Karenanya, menolak politik dinasti juga ujungnya akan menciderai konsep demokrasi negara. Wacana politik dinasti sejatinya bukan satu hal yang baru. Sejak awal Republik berdiri bahkan jauh sebelumnya, perkara dinasti politik telah ada menjadi perbincangan dan realitas peradaban. Barangkali boleh dikatakan sejak naluri manusia berpolitik ada, perkara dinasti politik telah build in di dalamnya.

Soal politik dinasti juga merupakan hal yang kompleks. Sebab, ini menyangkut perkara hak-hak politik yang dilindungi sistem demokrasi. Mengapa fenomena politik dinasti banyak dikritik namun seolah masih tetap terjadi hingga sampai saat ini? Wartawan dan kolumnus Budiarto Shambazy, sebagaimana dikutip pengamat politik M Alfan Alfian, menjawab pertanyaan tersebut. Suka atau tidak suka, politik dinasti tidak mengenal batas kultur, sistem dan wilayah politik. Kepemimpinan, menurut Budiarto, kerapkali merupakan hal yang bersifat emosional ketimbang intelektual dan teknikal.

Karenanya, fenomena ini juga tak terjadi hanya di satu tempat saja, seperti contoh di atas. Contoh di India, Pakistan, dan negara lain di Asia, bahkan di Amerika Serikat sekalipun mengenal fenomena ini. Di Amerika kita mengenal Presiden George W Bush Jr (2001-2008) yang putra George Herbert Walker Bush (Presiden AS 1989-1993). Di Indonesia, ada dinasti Soekarno dengan sederet nama penerusnya yang masih mengusung ideologi dan ruh Soekarno hingga saat ini. Selain itu, Presiden RI keempat Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dengan Yenny Wahid, putrinya. Begitu juga Presiden RI kedua Soeharto, termasuk Presiden SBY saat ini, juga memiliki sayap dinasti, yang suka tidak suka, mau tidak mau, merupakan gambaran tempat dinasti politik yang masih mengakar kuat di negeri ini.

Bagaimana menilai fenomena tersebut secara arif dan rasional? Tentu, kita tidak bisa menyalahkan fenomena tersebut, meski pada saat yang sama, kita juga musti objektif untuk mengatakan bahwa (dalam beberapa hal) kekuasaan yang mengandalkan trah politik semata juga perlu mendapatkan koreksi dan kritik. Jika mau objektif, tidak semua kepemimpinan politik dinasti itu sepenuhnya berujung pada kegagalan. Ada beberapa di antara mereka yang justru memiliki prestasi dan kepercayaan pemilihnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika unsur nepotisme lebih menonjol dan dikedepankan. Nepotisme ini bisa dinilai ketika tertutupnya kran-kran demokrasi seperti kelembagaan partai politik. Ketika organisasi partai politik sudah tak lagi menjadi sayap demokrasi yang menyalurkan aspirasi rakyat, maka jelas kepemimpinan dinasti telah mengusung ideologis nepotisme.

Lantas, apakah benar politik dinasti yang terjadi di Banten dan juga kota-kota lain sepenuhnya salah? Atau, ada hal-hal yang perlu mendapatkan catatan? Yang penting dilakukan sekarang adalah perlunya pendidikan politik masyarakat secara menyeluruh. Kesadaran terhadap perlunya pemimpin yang cerdas, adil, egaliter dan mengedepankan persamaan, kesetaraan dan tanpa pembedaan juga perlu ditingkatkan.

Dalam memilih pemimpin, rakyat semestinya tak lagi mau dipengaruhi untuk memilih si-A, B atau C dengan iming-iming materi, uang dan sogokan lainnya. Pemilih juga musti sadar betapapun seorang calon pemimpin dalam catatan nasab/trah nya telah memiliki jejaring dan bangunan dinasti politik, harus dipastikan apakah dia tengah memanfatkan politik aji mumpung atau tidak. Wallahu a'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar